Karena tidak mungkin untuk Daren mengantar Iris ke rumah Eden secara langsung, maka pria itu hanya mampu menurunkan Iris di dekat rumah gadis itu. Lebih tepatnya di belokan yang jarang dilewati oleh keluarga Eden dan Milly. Tentu saja Daren tak ingin tertangkap basah oleh rekan kerjanya itu.
"Om, aku pulang dulu, ya," pamit Iris dengan senyum manisnya.
Daren menoleh, pandangannya jatuh pada bibir merah muda gadis itu. Sial, bibir itu seperti candu untuknya. Dia ingin mencicipinya lagi. Daren segera menggelengkan kepalanya dan mengenyahkan pikiran gila itu. Iris mengernyit melihat tingkah pria ini.
"Kenapa, Om? Om Daren nggak ijinin Iris pulang?" tanyanya Iris dengan polos. Daren kemudian menggeleng cepat.
"Keluarlah dan segera masuk ke rumah sebelum ada yang menyadari mobilku di sini," kata Daren terdengar seperti sebuah pengusiran di telinga Iris. Gadis itu mendengkus kesal ketika menyadari nada bicara Daren yang berubah lagi. Padahal mereka baru saja terlihat sangat dekat.
Dengan keadaan kesal, Iris pun keluar dari mobil dan langsung menutup pintu dengan keras. Daren berjengkit kaget sembari memijit pelipisnya. Pandangannya tertuju kepada Iris yang mulai berjalan kaki untuk menuju ke rumahnya sendiri. Daren akan menunggu di sana untuk memastikan jika gadis itu sampai di rumah dengan selamat.
Iris mendapat pandangan bingung dari penjaga di rumahnya yang memang disediakan di dekat gerbang. "Apa lihat-lihat? Nggak pernah lihat gadis cantik dan imut kayak Iris ya?" sembur gadis itu dengan nada kesalnya. Sang penjaga pun tak menjawab dan hanya ada kerutan di dahinya. Iris semakin kesal ketika tidak mendapat respon dari penjaga. Dia pun menghentakkan kakinya sepanjang masuk ke dalam rumah.
Milly yang kebetulan ada di rumah pun langsung menutup majalah fashion yang dia beli tadi. "Iris. Ke sini, Sayang," perintahnya sembari menepuk pelan tempat yang ada di sebelahnya.
Iris mengembuskan napas berat dan langsung menuju ke tempat Milly berada. "Kenapa wajahmu cemberut seperti itu?" tanya wanita itu dengan penuh perhatian.
Iris sekali mengembuskan napas beratnya, ini terasa seperti beban hidup gadis itu sungguh berat. Sembari menyandarkan kepalanya di bahu Milly, gadis ini mulai bertanya banyak hal.
"Ma. Dulu bagaimana pertemuan Mama dan Papa pertama kali?" tanya Iris random.
Milly tertawa di tempat. Tumben sekali putrinya bertanya. "Mama dan Papa bertemu tanpa sengaja. Dan cinta tumbuh perlahan di hati kami," singkat Milly. Tidak mungkin dirinya bercerita tentang masa lalu mereka mengenai pernikahan pura-pura.
"Ma ... apakah jatuh cinta itu sulit?"
Milly paham, pasti putrinya sudah merasakan benih-benih cinta di hatinya. "Cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Sebentar, Mama ingin bertanya, apakah kamu tau apa itu cinta?"
Iris menegakkan tubuhnya. Dia menatap Milly dengan bingung. "Cinta? Emm, nggak tau, Ma," jawabnya asal.
Milly tertawa ringan di tempatnya. "Cinta itu adalah ketika kita melihatnya, kita merasa bahagia. Ketika dia ada di dekat kita, kita juga bahagia. Segala hal yang ada di dirinya terasa sempurna di mata kita. Apa yang dilakukan bersama semakin menguatkan perasaan kita. Cinta sebenarnya tidak harus didefinisikan antara pria dan wanita. Cinta terhadap keluarga dan teman juga termasuk dalam kategori cinta," terang Milly. Iris pun mengangguk paham.
"Jadi ... putri Mama sedang jatuh cinta dengan siapa sekarang?" tanya Milly. Gadis itu melotot, dengan cepat dia menggeleng dan langsung berdiri dari duduknya.
"Ma. Iris baru ingat jika ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan besok. Aku ke kamar dulu ya, Ma," elak gadis itu. Milly pun tersenyum, putrinya masih malu-malu saja. Iris pun langsung berlari ke kamarnya. Bisa gawat jika Milly tahu bahwa Iris menyukai Daren.
Daren sudah kembali ke rumah mewahnya. Rumah mewah yang sepi dan hanya ditinggali olehnya dan beberapa pekerja. Dulu ketika Daren dan Fris baru menikah, dia berharap rumah ini akan ramai dan diisi oleh suara tawa dan tangis anak-anak mereka. Akan tetapi, itu hanyalah sebuah harapan yang bahkan tidak bisa terwujud sekarang.
Daren baru saja akan memasuki kamarnya. Namun, ponsel yang ada di saku jasnya tiba-tiba berbunyi. Dengan segera pria ini pun menggeser tombol hijau dan menempelkan benda persegi panjang itu di telinganya.
"Halo."
"Halo, Daren. Ini aku, Eden."
Tubuh pria ini langung menegang. Dia mencoba melihat nomor di ponselnya. Seingatnya dia menyimpan nomor Eden.
"Maaf, aku menghubungimu pakai nomor baru. Daren, bisakah nanti malam kau datang ke rumahku?" perintah Eden.
"Maaf, Ed. Aku--"
"Ayolah. Kau sudah aku anggap seperti bagian dari keluarga kami. Aku perlu bicara serius denganmu. Ini mengenai Arvie dan Cinta," potong Eden cepat. Daren menutup kedua matanya sebentar.
"Baiklah. Aku akan ke sana nanti," putus Daren akhirnya. Eden pun menutup panggilannya, begitu juga dengan pria ini. Daren menatap ponsel pintar miliknya itu. Baru saja dia lepas dari Iris, nanti malam dia akan kembali bertemu dengan gadis itu. Entah takdir apa yang sudah Tuhan permainkan untuknya.
Malam pun tiba. Seperti biasa Iris akan turun ke bawah untuk melakukan makan malam. Namun, makan malam kali ini berbeda. Di sana tidak ada sosok Arvie. Tentu saja sejak kemarin kakak dari Iris itu sibuk menemani sang tunangan. Meja makan hanya diisi tiga orang saja kali ini. Akan tetapi, Iris mengernyit ketika kursi di samping tempatnya yang biasa Arvie tempat terisi peralatan makan dan minuman.
"Ma, bukannya Kak Arvie tidak ikut makan malam dengan kita, ya?" tanya Iris. Gadis ini menggunakan gaun selutut sederhana dan rambut yang sengaja ia kuncir. Menurutnya udara akhir-akhir ini terasa panas dari pada biasanya.
"Itu tempat untuk Om Daren."
"Uhuk. Uhuk."
Iris buru-buru menenggak minumannya. Milly dan Eden memandang tingkah putrinya dengan bingung. Iris merutuki kebodohannya. "Maaf, Ma, Pa. Tadi makanannya nggak sengaja tersangkut di tenggorokanku," ungkap Iris cepat.
"Sepertinya itu suara mobil Daren. Aku akan mengeceknya," sela Eden yang langung berjalan menuju ke pintu keluar. Iris memandang bajunya nanar. Dia hanya memakai baju sederhana dan tanpa make up. Bagaimana dia bisa menghadapi Daren sekarang? Iris segera mengenyahkan pikirannya, bukankah dia sedang dalam mode kesal karena perlakuan Daren tadi sore? Ya, dia harus bersikap acuh kepada pria itu.
Daren dan Eden pun memasuki area meja makan. Milly menyambut pria itu dengan ramah dan langsung memintanya duduk di kursi. Iris sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari piring. "Iris, beri salam kepada Om Daren," tegur Milly langsung.
Iris mengumpulkan kegugupannya. Kepalanya ia tolehkan sembilan puluh derajat ke arah pria 35 tahun yang sudah duduk tepat di sampingnya ini. "Selamat malam, Om," sapanya dengan penuh keterpaksaan dan senyuman di sana.
"Malam, Iris," balas Daren mencoba senormal mungkin. Meskipun sejak tadi dirinya salah fokus dengan leher jenjang milik Iris yang terpampang jelas di sana. Selain bibir, bagian itu ternyata mencoba mengganggu pikiran Daren sekarang. Makan malam pun dilanjutkan tanpa adanya obrolan. Ya, karena Eden tahu jika Daren tak suka mengobrol ketika makan.
Setelah makan malam, semua orang pun menuju ke ruang tamu untuk mengobrol banyak hal. Iris ikut juga, padahal dia ingin masuk ke kamar saja. Ingat ya, dia sedang dalam mode tak berbicara dengan Daren sekarang.
Dalam pembicaraan ini ternyata Eden dan Milly ingin meminta pendapat mengenai pernikahan Arvie dan Cinta yang diadakan lebih cepat dari pada rencana. Mereka mempertimbangkan keadaan Cinta yang drop. Tidak yakin untuk melakukan pernikahan di saat seperti ini.
Daren pun memberi mereka nasihat untuk bicara dengan Arvie secara langsung. Ini mengenai masa depan pemuda itu. Jika Arvie mau menanggung resiko terburuknya, maka biarkan saja. Itu sudah menjadi pilihan anak itu. Tentu Iris yang mendengarnya menjadi sedih. Jika memang Cinta tak bisa diselamatkan, maka Arvie akan menjadi duda di usianya yang masih muda. Apakah ada wanita yang mau memandangnya setelah itu?
Ketika obrolan berlangsung, beberapa kali Daren melirik tempat duduk Iris. Gadis itu hanya diam saja sejak tadi. Beberapa kali timbul kernyitan di dahi dan ekspresi sedih di wajahnya. Tapi, lagi-lagi pakaian gadis ini membuat Daren mencoba bersabar. Iris menggunakan baju selutut yang mana ketika duduk akan sedikit tersingkap ke atas dan terlihat semakin pendek. Itu akan memperjelas kaki jenjang gadis itu.
"Baiklah, Daren. Terima kasih banyak untuk nasihat yang kau berikan. Aku harap kau masih mau membantu kami dalam beberapa hal," ucap Eden. Daren pun mengangguk.
"Ma, Pa. Iris ijin ke kamar duluan, ya. Iris ngantuk banget," sela gadis ini sembari mengucek mata kirinya. Dia tidak bohong, dirinya memang sudah mengantuk sekarang. Padahal ini masih jam delapan.
"Baiklah. Kamu tidur saja duluan, Mama dan Papa akan menemani Om Daren," kata Milly.
Iris mengangguk. Dia pun berdiri, tetapi sebelum pergi dia berpamitan lebih dulu kepada Daren. "Om, aku permisi masuk kamar dulu. Selamat malam."
"Selamat malam, Iris," balas Daren seperti biasanya. Iris menatap nyalang mata pria itu. Dia benar-benar kesal.
Iris berbalik dan langsung pergi. Ditatap seperti itu membuat Daren mengernyit bingung. "Ed, bolehkah aku meminjam kamar mandimu?" tanya Daren menatap langsung temannya ini.
"Oh, boleh. Kau tinggal belok ke arah kanan dan kamar mandinya ada di sebelah kiri," jelas Eden seperti biasanya. Daren mengangguk dan dengan cepat menuju ke arah yang Daren intruksikan.
Namun, dia tidak sedang ingin ke kamar mandi sebenarnya. Dia ingin menemui gadis itu. Di belokan yang tadi kebetulan dia melihat siluet Iris yang baru masuk ke salah satu pintu. Baiklah, sepertinya itu adalah kamar Iris.
Kamar mandi berada di dekat kamar Iris. Daren mengetuk pintu milik gadis itu sebanyak tigas kali. Iris yang baru saja masuk dan duduk di atas tempat tidur pun tampak kesal karena mendapat gangguan.
"Ada ap--"
Belum juga dia selesai protes, Daren langsung membawanya masuk ke dalam dan menutup pintu itu agar Eden dan Milly tak melihat keduanya. Mata Iris membola ketika tahu Daren mengujungi kamarnya. Daren meletakkan telunjuknya di bibir, mengisyaratkan agar Iris berbicara lebih pelan.
Iris memberi jarak dengan pria itu sembari bersedekap. "Kenapa Om ke kamarku? Om tidak tersesat, kan?" sindir Iris. Karena dia tahu jika Daren tau di mana letak kamar mandi.
"Tidak. Aku hanya ingin menemuimu dan berbicara denganmu sebentar," jawab Daren.
"Kita sedang ada di rumahku, Om. Apa Om Daren nggak takut Papa dan Mama tau?"
"Mereka ada di depan. Aku beralasan ingin ke kamar mandi," ungkapnya. Iris tersenyum licik, pria ini berani sekali membohongi papanya. "Ayo, sekarang mari kita selesaikan masalah kita. Ada apa denganmu malam ini? Kenapa wajahmu menatap sebal ke arahku? Dan juga kenapa kamu terlihat tak peduli sama sekali?"
Iris berkedip beberapa kali. Dia tak salah dengar bukan? Daren menanyakan hal seperti ini. Tetapi, Iris harus menjaga harga dirinya. Dia ingin Daren meminta maaf atas sikapnya tadi sore.
"Kenapa wajahku? Wajahku baik-baik saja," jawab Iris ketus dan tak berani menatap pria ini yang mungkin bisa meruntuhkan dinding pertahanannya.
Daren mengembuskan napas beratnya. Wanita dengan t***k bengeknya memang tidak cocok untuknya. "Baiklah. Aku mungkin ada salah kepadamu. Maka, sekarang aku akan minta maaf. Maaf jika membuatmu kesal atau marah. Sejujurnya, aku kurang bisa mengendalikan emosiku akhir-akhir ini," ujar Daren dengan sungguh-sungguh.
Iris yang mendengarnya terlihat tak tega. Sudah dibilang bukan kalau Iris selalu lemah jika dengan Daren. Iris dengan berani menatap mata pria ini. "Aku sudah memafkan Om Daren. Aku hanya kesal dengan sikap Om Daren tadi sore. Om Daren terdengar dingin, dan sangatlah berbeda," ungkap Iris langsung.
Daren mengingatnya. Dia sengaja melakukan itu agar tak terus menerus terbawa suasana. Daren menarik pinggang gadis kecil itu dan langsung memeluk tubuh kecil Iris dengan tubuh besar miliknya. Iris tersenyum bahagia di dalam pelukan Daren. Ini benar-benar nyaman.
"Maafkan aku, Iris. Aku janji tidak akan melakukan itu lagi," kata Daren. Iris mengangguk setuju.
Daren melepaskan pelukannya, tatapannya pada Iris kembali menghangat. Atmoster di sekitar mereka kembali berbeda. Daren menarik pinggang dan tengkuk Iris lebih dalam kepadanya. Dan dalam sekejap kedua bibiir itu kembali bertubrukan setelah tadi siang berperang hebat. Daren kembali merasakan bibir manis Iris, begitu juga dengan Iris yang sudah benar-benar jatuh kepada pesona pria ini.
Iris menikmati kegiatan ini. Daren seakan lupa statusnya. Dia membawa gadis itu ke dalam gendongannya dan menempatkan diri di kursi. Posisi sama seperti yang mereka lakukan tadi siang. Mereka kembali melanjutkan aksi masing-masing. Mata Daren membara, dia butuh pelampiasan. Daren kali ini menyerang leher jenjang milik gadis ini. Iris semakin lemah dibuatnya. Dia meremas rambut Daren dengan keras dan suara-suara aneh mulai muncul dari mulutnya dan itu semakin membuat Daren bersemangat.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu menyadarkan kedua insan ini. Bola mata Iris membulat sempurna, dengan cepat dia turun dari pangkuan Daren dan hampir terjungkap ke belakang jika pria itu tak memeganginya sebelumnya. "Tenanglah, aku pastikan mereka tak akan curiga." Kata-kata Daren untuk meyakinkan Iris kala itu.
______
Wah. Wah. Wah. Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi di part ini. Btw, maafkan aku kalau ceritanya begini.