Nindy berdiri dengan penuh percaya diri di atas panggung, sorotan lampu menerpanya dari berbagai arah. Ia tak ragu, tak gemetar sedikit pun ketika menyebut nama Khalil secara terang-terangan. "Saya ingin Bapak Khalil ikut naik ke panggung untuk bisa membuka acara ini bersama saya." Ucapan itu meluncur begitu saja, ringan, seolah bukan permintaan besar. Tapi jelas terdengar oleh semua tamu undangan yang memadati ruangan utama hotel malam itu. Semua mata langsung menoleh ke arah yang sama: tempat di mana Khalil berdiri. Sementara Khalil tetap berdiri tenang, ekspresinya tak berubah sedikit pun, seolah kalimat tadi bukanlah sebuah manuver mengejutkan. Ia tahu ini jebakan halus—atau setidaknya ujian ego. Sebagian besar orang di ruangan mungkin menganggap itu murni sebagai bentuk apresiasi d

