"Kamu udah yakin betul pilihan yang kamu ambil ini?" Tanya Zahra, dia menatap mataku dengan serius. Aku mengangguk mantap.
"Sebenarnya aku sudah lama mulai mikirin ini. Tapi belum ada keberanian, dan kemarin, sebuah kejadian membuatku yakin dan akhirnya berani.
Aku akhirnya menceritakan semua peristiwa kemarin, tentang kemarahan Kaizan, kepada Zahra. Termasuk akhirnya, pagi tadi, setelah meminta pertimbangan ibu, dengan membaca basmalah aku membuat surat pengunduran diri. Ya, aku memilih resign dari Hizi.
"Apa nggak sayang? Berbagai pengalaman, gaji gede, dikelilingi orang-orang positif, masih bisa disambi kerja di sini lagi." Zahra berupaya mengetes keyakinan ku, aku tersenyum melihatnya.
"Aku sudah yakin seratus persen, Zahra. Uang dan pengalaman tidak hanya datang dari sana. Tapi saat ini, aku butuh menjaga hatiku dengan tegas." Kataku mantap, lalu berdiri meninggalkan Zahra.
Hari ini, aku tidak ada janjian dengan siapapun. Seharian aku di kantor mengisi waktu dengan kegelisahan. Pertama, gelisah karena nanti sore akan menyerahkan surat resign, entah bagaimana tanggapan Kaizan dan teman-teman tentang ini. Kedua, karena siang nanti, Andrew akan menjemputku untuk makan siang. Bukan Andrew yang membuat gelisah, tapi aku tidak enak dengan teman-teman kantor, aku belum pergi keluar di jam kantor, meskipun saat istirahat, dan di jemput laki-laki lagi.
Bagaimana tanggapan Pak Malik, Pak Ruslam? Hufftt ngapain aku jadi memikirkan itu. Tapi sampai sekarang, aku belum membalas pesan Andrew, bingung mau balas bagaimana.
Handphone yang kutaruh di meja bergetar, panggilan dari Alana.
"Halo, Ala." Kataku begitu telepon terhubung.
"Hallo, Biv. Ini aku sedang dalam perjalanan." Terdengar suara bising diantara suara lembut Alana.
"Kalian kemana?" Tanyaku.
"Ke rumah kakek." Jawab Ala riang, "ini aku bersama Kavya dan Mak Semi." Tambahnya.
"Ghulam?"
"Dia tentunya di rumah. Aku tidak jujur kami mau pergi kemana, hanya kubilang berwisata."
"Semoga selamat sepanjang perjalanan, Ala. Salam untuk Pak Sadetil dan istri."
Aku menutup telepon dengan perasaan lega, salah satu upayaku mengalami kemajuan. Mertua dan menantu menjadi dekat, yah meskipun permasalahan mereka belum selesai. Baru saja kutaruh handphoneku bergetar lagi. Andrew?
"Hai, Andrew." Sapaku.
"Hallo, Biv. Kita jadi makan siang dimana?" Dia langsung to the point.
"Memang kita mau makan siang bersama?" Godaku.
"Jadi kamu nggak bisa?"
"Emm gimana ya.." Aku sengaja menarik ulur agar tidak kelihatan langsung mau.
"Harus bisa, harus mau, haha." Andrew tertawa.
"Baiklah."
"Jadi kamu mau makan apa nanti, ini aku mau reservasi. Steik, seafood, Japanese, Chinese, Korean?"
"Aku mau nasi bebek aja gimana? Kamu suka suka nggak?"
"Ooh nasi bebek sambel mangga pak Jumadi mau?" Andrew menyebut salah satu rumah makan terkenal.
"Mau." Jawabku.
"Tapi lumayan jauh dari kantor kamu, tidak apa-apa telat?"
"Tidak apa-apa, aku sedang tidak kerjaan dan janji dengan siapapun, di sini free, tidak seperti di Hizi." Aku tertawa, Andrew juga.
Beberapa saat kemudian, jam makan siang tiba. Zahra datang menenteng kotak bekalnya ke ruanganku, mungkin dia mau mengajak makan bersama.
"Makan yuk!" Katanya riang.
"Sorry, udah ada janji." Kataku sambil menyatukan tangan meminta maaf.
"Janji? Sama siapa?" Zahra mendelik penasaran.
"Andrew." Jawabku santai.
"Ckckckck semakin intens saja ini pendekatannya." Zahra berdecak menggodaku sambil berjalan pergi, aku tertawa.
Begitu Zahra pergi, aku berjalan ke lobi menunggu Andrew, dia ternyata sudah duduk di sofa lobi. Tapi sialnya, dia sedang duduk dan mengobrol dengan Pak Malik. Ngapain bapak tua itu?
"Hey, Bivi. Jadi ini pacara kamu?" Seloroh Pak Malik begitu melihatku datang, aku mendengus lalu menggeleng. Kenapa harus ada bapak tua ini sih, malu-maluin!
"Yukk!" Aku langsung mengkode Andrew agar mengacuhkan Pak Malik, percuma orang itu dilayani. Andrew langsung berdiri.
Kami langsung berjalan dan masuk mobil Andrew yang terparkir tepat di depan lobi kantor. Pak Malik masih memperhatian kami. Aku yakin, dia pasti sedang mengumpulkan bahan gosip untuk disebarkan ke rekan kantor yang lain.
Andrew tertawa melihatku kesal karena Pak Malik. "Santai dong!" Katanya lalu tertawa lagi. Andrew seperti biasa, berpakaian sangat santai, bahkan dia hari ini memakai celana kargo dan kaos polo, dan sepatu kets, seperti hendak pergi outbound. Tapi anehnya, semua itu cocok saja dipakainya.
Kontras sekali dengan aku yang selalu formal dan tidak lepas dari celana kulot dan blazer. Itulah outfitku sehari-hari, hanya beda di main warna saja, atau terkadang memakai rok panjang atau rok pendek selutut.
Kami pun sampai di tempat rumah makan nasi bebek pak Jumadi. Aku sudah sering kesini bersama ibu, menunya memang semua enak, apalagi sambal pencit atau mangga mudanya, juara. Kalau Andrew mengaku belum pernah, tapi dia tahu karena sering lewat.
"Kok mau aja padahal belum pernah?" Tanyaku begitu kami turun dari mobil dan berjalan masuk.
"Kan aku tanyanya pendapat kamu, jadi aku ikut aja. Bagiku semua makanan pasti enak kok, aku dari kecil selalu suka makan."
Begitu kami tiba ditempat yang sudah dipesan Andrew, ternyata beraneka hidangan sudah tersedia dan berjajar rapi di atas meja. Ada bebek bumbu hitam, bumbu ijo, bebek goreng, bebek bakar, bebek kuah pedas, dan sesambelannya. Tidak lupa pula ada kerupuk dan es buah ukuran jumbo.
"Drew, ini tidak bercanda kan makan berdua pesan sebanyak ini?" Kataku terkejut.
"Nanti kalau tidak habis kita bungkus ya, habis aku nggak tahu mana favorit kamu, daripada tanya-tanya terus kan mending aku pesan semuan. Yukk mulai makan." Andrew tertawa melihatku bingung.
Kami makan dengan lahap karena memang rasanya lezat sekali. Andrew pun sempat minta tambahan nasi. Aku fokus di bebeknya, nadiku belum habis. Dan ternyata, kekhawatiran ku akan kemubadziran itu tidak terbuktikan, semua yang Andrew pesan hanya tersisa piring dan tulang. Kami makan pakai tangan dengan puas dan tanpa memperdulikan table manner. Sekarang, kami tinggal menikmati es buah yang ukuran besar dengan pelan-pelan karena perut sebenarnya sudah penuh.
"Kamu pernah makan kayak gini?" Tanyaku sambil menikmati menyeruput es buah. Es buahnya enak sekali, paduan s**u dan sirup nanas yang alami sepertinya homemade dan buah-buahan yang melimpah membuat lidah nggak berhenti.
"Kayak gini gimana?" Tanyanya.
"Bar-bar." Aku tertawa kecil, Andrew juga.
"Kalau sama bapak dan mama nggak pernah, tapi kalau sama teman-teman sering. Sekarang gantian aku yang tanya, kamu nyaman nggak sih, makan bareng keluarga aku?"
"Nyaman, mereka ramah, dan makanannya enak." Jawabku.
"Mau lagi?" Tanya Andrew. Aku diam saja, fokus paa es ku, dan bingung mau jawab gimana.
"Kayaknya nggak mungkin deh." Jawabku akhirnya. "Aku mau resign dari Hizi, mungkin aku nggak akan diundang lagi makan malam bersama direktur Hizi." Tambahku.
"Kamu mau resign?" Andrew terkejut dengan pernyataan, dia menghentikan aktivitasnya dan fokus menunggu jawabanku. Aku mengangguk.
"Kenapa? Nggak nyaman?" Tanya Andrew lagi.
"Bukan tidak nyaman, tapi aku kesulitan membagi waktu. Pekerjaan utamaku adalah psikolog, dan aku mencintainya. Aku sudah menghabiskan waktu dari pagi hingga sore di lembaga, hanya tersisa sedikit waktu untuk ibuku. Ketika aku di Hizi, hampir tidak ada waktu untuk ibuku. Beliau sudah tua, butuh waktu lebih banyak denganku."
Aku tidak mungkin mengatakan alasan sebenarnya pada Andrew. Tapi, alasan yang kukatakan ini juga menjadi alasan kedua mengapa aku yakin untuk resign. Aku tidak tega sering meninggalkan ibu.
"Hati kamu mulai sekali, Biv." Kata Andrew menatapku, jujur membuatku jadi salah tingkah.
"Eh jangan gitu, dong! Kamu pasti juga akan melakukan itu jika di posisi aku."
"Tapi, kamu keluar dari Hizi, pertemanan kita tetap lanjut ya." Andrew mengacungkan jari kelingkingnya, persis seperti anak SMA mengikat janji dengan sahabatnya, aku tertawa dan balas mengaitkan jariku pada jarinya. "Kita berteman bukan karena Hizi, kan?"
Kami tertawa bersama. Bersama dengan Andrew memang menyenangkan. Tapi aku memang belum berharap dan belum merasakan getar apa-apa. Tapi, dia teman yang baik dan pandai membuat nyaman.
Setelah makan, dia mengantarkanku kembali ke kantor. Tapi tiba-tiba, dia berhenti di sebuah toko kue. Dia memintaku menunggu di mobil untuk masuk sebentar. Ternyata dia membeli kue. Dia membeli lima kotak kue untuk dibagikan teman kantorku.
"Kamu nggak perlu repot-repot kayak gini." Kataku merasa tidak enak.
"Aku tidak repot kok, aku hanya beli." Andrew menjawab santai sambil tertawa.
Jadilah aku kembali ke kantor dengan membawa tentengan tas plastik berisi kotak kue. Dan betapa terkejutnya aku, setelah aku turun dari mobil Andrew dan dia langsung balik, aku berjalan masuk kantor, ternyata semua orang sedang di lobi. Mungkin semua diantara mereka penasaran dengan Andrew, tapi sayang Andrew tidak turun. Pasti ini ulah Pak Malik, batinku.
Kulihat semua orang tiba2 terlihat sibuk ketika aku datang. Ada yang menata dokumen di sofa lobi, ada yang mengobrol dengan Laila. Dan Zahra dengan polosnya dadah-dadah melambaikan tangan menyambutku.
"Kalian lagi apa? Ngapain semua kumpul di lobi."
"Ahh engaak kita lagi ini nyusun dokumen psikotest." Bu Ervina yang biasanya cuek jadi ikut-ikutan.
Kulihat Zahra tertawa cekikikan melihatku menginterogasi mereka. Pak Ruslam bahka ada di lobi, beliau pura-pura mengobrol dengan Laila.
"Ini ada oleh-oleh untuk kalian." Aku menaruh kotak-kotak kue di atas meja Laila. Empat kotak kue, dan yang satu kubawa masuk ruang kerjaku, aku masuk dan Zahra mengikutiku.
"Andrew yang beliin?" Tanya Zahra penasaran, aku mengangguk. "Waah jadian, nih!" Godanya lagi.
"Ngawurr!"
"Tapi Biv, Andrew sosok yang baik banget, dan nggak sombong. Kalau sombong, mana mau dia main sama kamu, pasti maunya sama cewek-cewek kaya anak konglomerat juga."
Zahra mengunyah cake cokelat dengan lahapnya. Dia terus saja bicara, aku tidak minat ikut makan karena perutku sudah penuh.
"Kalian kemana tadi?"
"Makan nasi bebek."
"Berdua aja?"
"Enggak, sama satu kampung."
Zahra tertawa ngakak mendengar jawabanku yang sewot. Aku tahu, dia pasti ingin bertanya lebih banyak lagi, tapi segera kucemberuti. Aku masih gerah dengan ulah teman-teman kantor yang kepo mengintip di lobi tadi.
***
Pukul setengah empat, aku maju mundur mau keluar dari ruang kerja. Perasaanku gelisah, dilema, dan bimbang. Surat pengunduran diri itu sudah di tangan, tapi hatiku jadi gamang.
Gamang jika nanti aku menyesal bagaimana? Apakah Kaizan akan marah? Nanti aku tak bisa bertemu dengan teman-teman tim Hizi lagi? Dan banyak hal lain yang kucemaskan.
"Enggak pulang?" Zahra berdiri di depan pintu ruang kerjaku yang terbuka. Aku menggeleng.
"Bingung nih." Aku mengangkat surat resign itu dan kutunjukkan padanya.
"Sebuah keputusan memang kadang harus dipaksain, beb." Kata Zahra bijak, dia terkadang memang muncul menjadi sosok yang bijaksana. Aku mengangguk. "Kalahkan ketakutanmu, kamu akan baik-baik saja. Kamu sudah berpikir panjang, insyaAllah tidak akan menyesal." Tambah Zahra lagi, dan aku hanya mengangguk-angguk menanggapinya.
"Baik, duluan ya!" Zahra berlalu sambil melambaikan tangan.
Kulangkahkan kakiku pelan ke mobil. Aku tidak perlu buru-buru, aku tidak ikut rapat, aku akan berhenti dari sana. Padahal beberapa projek terbaru kami sangat menarik, jiwaku tertantang untuk ikut, mataku berbinar semangat. Tapi apa daya, lebih baik aku memang mengundurkan diri.
Aku menjalankan mobil dengan pelan-pelan. Sambil menyusun kalimat apa yang tepat untuk kukatakan pada Kaizan. Bagaimana kalau dia menduga aku minta berhenti karena perlakuannya kemarin. Ya, memang ada benarnya, tapi tidak seratus persen karena itu.
Aku juga berpikir, nanti bagaimana Rindani. Siapa yang akan mengantarnya pulang, terutama jika kegiatannya hingga larut malam. Ah, tapi dia sudah terbiasa bekerja di sana, bahkan jauh sebelum bertemu aku. Dia akan baik-baik saja. Lalu Pak Wayan bagaimana? Apakah beliau akan kecewa? Pasti beliau bertanya-tanya, apalagi aku baru saja menghadiri makan malam di rumahnya.
Ketika memasuki halaman kantor Hizi, detak jantungku semakin berantakan, keringat dingin mulai mengucur, dan tanganku tiba-tiba gemetar. Rasanya aku lemas dan tak kuat berjalan. Aku mengambil nafas dalam-dalam, dan kuhembuskan panjang-panjang, aku selalu melakukan ini jika grogi.
Aku keluar mobil dengan langkah pelanku. Memasuki lobi, berjalan dalam koridor menuju lift, berjalan di koridor lagi, dan kini aku tepat berdiri di depan ruang sekretariat Hizi untuk Indonesia. Ruang sekretariat itu di pintunya terdapat simbol kami, melihatnya membuatku terharu sendiri. Hampir tiga bulan ini aku berjibaku di sini, bersama teman-teman yang sudah mulai akrab satu sama lain. Dan sekarang, aku hendak mengundurkan diri, yang mungkin tidak akan menginjakkan kaki di sini lagi.
Sekarang pukul empat lebih sepuluh, terdengar dari luar rapat sudah di mulai. Kulihat handphone, ada pesan dari Rindani menanyakan mengapa aku belum datang, aku tidak membalas apa-apa karena bingung.
Kuketuk pintu sekretariat dan ku dorong pintunya pelan-pelan. Semua orang yang sedang duduk di kursi rapat yang melingkar langsing menoleh ke arahku.
"Maaf, aku terlambat." Kataku lirih. Kutatap Kaizan, dia mengangguk lalu mempersilakan aku duduk. Aku duduk di sebelah Rindani, tepatnya diantara Rindani dan Kaizan. Hanya satu itu kursi kosong yang tersedia. Aku tidak bisa memilih. Rindani menatapku curiga.
"Ada apa?" Bisiknya begitu aku duduk, aku menggeleng.
Rapat tetap berjalan sebagaimana mestinya. Suasana sore itu sangat seru, tapi aku hanya bisa diam saja. Itu bukan urusanku lagi. Banyak hal menarik untuk proyek terbaru ini, tapi aku hanya bisa ikut menyimaknya. Hingga akhirnya, tibalah sesi pembagian tugas dan pembentuk panitia. Di sini, tanganku semakin dingin, bagaimana caranya menyampaikan jika aku hendak resign?
"Kenapa sih, dari tadi diam saja?" Rindani menyenggolku lagi. Dia yang paling sadar dengan ketidakbiasaan yang terjadi pada diriku.
"Sekarang, lansung saja kita tunjuk ketua proyek kita. Saya langsung tunjuk, hal ini karena agar bergantiam saja, biar semua pernah merasakan sebagai ketua proyek. Dan kali ini, Raka yang bertugas." Suara Kaizan menggelegar, disambut tepuk tangan teman kami yang lain, Raka tampak memegang kepala dengan kedua tangannya, iku ikut tepuk tangan.
"Dan, wakilnya adalah.." Kaizan menggantung kalimatnya, dia menatapku, semua jadi ikut menatapku. Gawat, janga-jangan aku wakilnya, batinku dalam hati.
"Silakan Raka yang memilih." Lanjut Kaizan, huftt aku menghela nafas lega.
"Jadi kamu memilih siapa, Ka?" Tanya Lintang.
"Siska dong!" Jawab Raka mantap yang langsung disambut riuh cie cie. Ya Allah, suasana ini hangat sekali. Apakah nanti aku akan merindukan suasana ini?
"Baik, selanjutnya, biar Raka dan Siska yang menyusun tugas susunan tim." Kata Kaizan memecah keriuhan, semua menjadi hening kembali. "Sudah adzan magrib, kita lanjutkan setelah istirahat, sholat dan makan malam.
Aku pergi sholat magrib dengan Rindani, jalan menuju masjid lumayan jauh, masjid terletak di kawasan parkir yang artinya hampir di dekat gerbang. Sehingga, kami memiliki waktu yang cukup untuk mengobrol sambil berjalan.
"Aku mau mengajukan pengunduran diri, Rin." Kataku mengawali percakapan, Rindani langsung menghentikan langkahnya, dan menarik lenganku. "Serius?" Tanyanya terkejut, aku mengangguk.
"Kenapa, Biv? Gara-gara Kaizan?"
"Sttt…" aku meminta Rindani untuk tenang, di belakang dan depan kami ada anak-anak atau pegawai Hizi yang lain.
"Bukan, kok. Ini udah aku pertimbangkan ini matang-matang. Aku ingin punya waktu lebih untuk ibu. Lagian, aku sudah bekerja dari pagi hingga sore di lembaga."
"Jadi bukan karena Kaizan kemarin?"
"Ya, mungkin juga karena itu, tapi tidak semata-mata karena itu. Kamu paham kan?"
Aku tentu tak bisa berterus-terang terhadap Rindani, dia temanku, tapi dia juga teman Kaizan dan bagian dari tim kami. Perasaanku biar masih menjadi rahasiaku dan orang terdekatku, yaitu ibuku dan Zahra.
"Yah, Biv. Kita bakalan nggak bisa sering-sering bertemu dong!" Rindani menghentikan lagi langkahnya, beberapa orang mendahului kami, dia tampak mellow.
"Kita bisa atur jadwal ketemu. Aku bisa main ke rumahmu, kita bisa pergi makan, atau aku bisa mengunjungi kalian di sekretariat." Kataku meyakinkan. Rindani memanyunkan bibirnya.
"Tapi aku tetap nggak rela, Biv. Aku itu terlanjur cocok sama kamu. Kita selalu barengan, kan? Apalagi kamu selalu anterin aku pulang, aku pasti kehilangan banget." Rindani kali ini benar-benar mellow, matanya berair, dia tetap diam berdiri, kulihat dari jauh, jamaah shalat magrib sudah dimulai.
"Yukk! Nanti kita telat lho." Kutarik tangan Rindani, "tenang, kita bakalan tetap temenan, kok." Janjiku.
Malam itu, aku shalat magrib dengan perasaan haru. Besok-besok lagi, aku belum tentu bisa shalat di sini, bersama karyawan yang masih tersisa hingga lepas magrib.
Pun ketika kami kembali dari sholat, Rindani banyak diam, dia seperti marah padaku, dia tidak rela aku resign. Kami makan bersama di ruang sekretariat, makan pun aku dalam keadaan haru. Bisa jadi, ini makan bareng terakhir kali bareng tim Hizi, besok belum tentu aku bisa seperti ini.
Selepas makan, rapat dilanjutkan membahas persiapan proyek baru. Tidak seperti kemarin, pukul delapan kami sudah selesai, Kaizan sudah menutup rapat, dan teman-temanku segera berkemas dan buru-buru pulang atau menuju urusan yang lain.
Aku dan Rindani masih bertahan di dalam sekretariat, Kaizan juga masih di tempat duduknya. Aku toleh Rindani, dia memegang tanganku sambil menggeleng, aku menyatukan tangan memohon. Kukerjakan segala kekuatanku berjalan mendekati Kaizan. Begitu aku bergeser, sebenarnya aku tahu, Kaizan sudah sadar aku hendak mendekatinya, tapi dia pura-pura tetap fokus pada laptopnya.
"Zan." Kataku pelan.
"Iya." Jawabnya tegas. Kuserahkan surat pengunduran diri itu, dia menerimanya dengan ragu-ragu. "Apa ini?" Katanya.
"Bacalah."
"Kamu mengundurkan diri?" Mimik muka Kaizan jelas sekali terkejut. Aku mengangguk. "Alasannya apa?" Tanyanya lagi.
"Aku ingin memiliki lebih banyak waktu bersama ibuku. Aku sudah meninggalkan beliau untuk bekerja dari pagi hingga sore, beliau sudah cukup tua, aku takut aku menyesal tidak menghabiskan waktu lebih banyak dengannya."
Kaizan menatap mataku, seperti mencari-cari kebenaran. Dia lalu menoleh Rindani yang sedari tadi memperhatikan kami.
"Bukan karena kejadian kemarin?" Tanya Kaizan lirih. Aku menggeleng. "Aku minta maaf untuk kejadian kemarin. Aku terlalu mencampuri urusanmu."
"Tidak apa-apa, aku mengerti."
"Baiklah, besok aku sampaikan dulu bagian dengan bagian kepegawaian, kamu bisa langsung resign atau menunggu dulu sampai kontrak habis."
"Hah?" Aku terkejut, aku hanya menandatangani kontrak masalah salary, tidak ada kontrak kerja mengikat, mengapa Kaizan mencari-cari. "Baiklah," akhirnya kukatakan itu.
"Dan tolong pertimbangkan lagi keputusan ini." Kata Kaizan lagi
"Aku sudah mempertimbangkannya matang-matang. Tak perlu ditanyakan lagi." Lama-lama aku kesal. "Baiklah, aku akan menemui bagian kepegawaian besok." Kataku, lalu menarik diri, mengambil tas dan mengajak Rindani keluar untuk pulang.
"Sepertinya Kaizan menghalangimu." Kata Rindani sambil berjalan di sebelahku. Aku menggeleng.
"Aku tidak tahu." Jawabku singkat.