Setelah prosesi perpisahan dengan Pak Sadetil dan Bu Ulaimi, aku masih harus mengantarkan mereka ke toko oleh-oleh sebelum akhirnya mereka pulang. Tidak apa, waktu masih menunjukkan pukul tiga, ada sekitar satu jam lagi sebelum jadwalku pertemuan di kantor Hizi.
Alana menyelipkan amplop di sakuku, dan ketika kutanya untuk apa, dia mengatakan agar tolong dibayarkan untuk oleh-oleh yang dibeli mertuanya. Ya, baiklah.
Tugasku selesai pukul setengah empat, dan aku langsung menuju kantor dengan sedikit buru-buru karena jarak toko oleh-oleh dengan kantor Hizi Corp. lumayan jauh.
Entah kenapa begitu hendak memasuki gerbang kantor Hizi Corp. jantungku berdetak tak tentu. Ada rasa takut, ada rasa khawatir, dan ada gugup yang aneh. Aku seperti tidak ingin bertemu Kaizan, belum siap. Huftt...aku menghela nafas panjang untuk membuang perasaan tidak jelas ini.
Pukul empat kurang lima, aku sudah di masuk ruang sekretariat. Aku cukup rindu dengan teman-temanku di sini. Hapir dua pekan kami vakum karena memang tidak ada agenda. Rindani langsung berdiri menyambutku begitu melihat aku datang.
"Biv, kangen banget." Katanya sambil memelukku. Ketika berpelukan dengan Rindani, kulihat sekilas ada Kaizan sudah duduk manis di kursinya. Dia sedang melihatku, segera kualihkan pandanganku.
"Lama banget nggak anterin kamu pulang, Rin. Nanti pulang bareng ya." Kataku sambil melepas pelukannya.
Kami tak berlama-lama melepas rindu, karena rapat pun akan segera dimulai. Hari ini, tim kecil membahas tentang rencana membangun sekolah alam Hizi. Jadi, ini salah satu ide Pak Wayan, dimana kami para freelancer Hizi untuk Indonesia akan menjadi pengelola sekolah alam ini. Untuk yang pertama, kami akan membuka di ujung Jawa timur yaitu kabupaten Banyuwangi.
Konsep sekolah alam ini nantinya akan digunakan sebagai salah satu bakti sosial Hizi untuk Indonesia. Jika kegiatan sebelumnya masih berunsur promosi, kali ini murni pengabdian masyarakat.
Sore ini, kami merancang kurikulum, perekrutan relawan setempat, siapa saja yang berkak ikut sekolah, output yang diinginkan, dan bagaimana manajemen yang akan kami lakukan.
Program ini bagiku seru sekali, bahkan ketika Kaizan menjelaskannya, aku tidak fokus pada Kaizan, tapi pada apa yang ia bicarakan. Kuakui, ide Pak Wayan kali ini sungguh cemerlang.
Sekolah alam yang dimaksud adalah sekolah untuk mengangkat kearifan lokal menjadi lebih berdaya. Mengangkat dan menggali proyek wirausaha tersembunyi menjadi potensi besar Bangga dengan kebudayaan setempat, dan meningkatkan kepemimpinan dan rasa percaya diri pemuda desa setempat.
Kami akan merekrut para mahasiswa atau lulusan terbaru untuk menjadi mentor, akan kami beri pelatihan dasar dan kesejahteraan yang baik sehingga hasilnya bisa maksimal.
Nantinya, output dari sekolah alam ini diharapkan akan mampu mencetak wirausaha muda yang mandiri dan berdaya guna. Mengangkat produk lokal mereka menjadi lebih unggul karena dikemas modern. Dan, pembelajar sekolah alam akan memiliki kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang memadai.
Aku tahu, bukan hanya aku yang bersemangat, kami semua bersemangat. Bahkan hingga pukul sembilan malam kami rapat, tidak terasa. Energi kami masih penuh saja. Tapi jam malam kami (tim Hizi untuk Indonesia) adalah pukul sembilan, jadi selesai tidak selesai harus diakhiri.
"Rin, jadi bareng kan pulangnya?" Tanyaku pada Rindani selepas rapat ditutup. Kali ini aku tidak duduk dekat Rindani, karena dia duduk dekat Kaizan. Aku tidak mau duduk dekat Kaizan.
"Jadi, dong! Sambil ngobrol-ngobrol melepas rindu kitaa." Jawab Rindani riang sambil mengemasi barangnya.
Saat itu, aku tidak tahu kalau Kaizan masih di sana, masih duduk pada tempatnya dan memperhatikan kami. Sampai dia akhirnya bicara,
"Biv, aku mau ngomong berdua sebentar." DEG. Itulah yang muncul pertama kali sebagai respon. Jantungku langsung berdetak kencang begitu mendengar suara Kaizan berkata demikian. Aku hanya mengangguk.
"Aku tunggu di luar ya, Biv." Kata Rindani kemudian, dia pergi meninggalkan kami hingga hanya tersisa aku dan Kaizan di ruangan itu.
"Kamu sama Andrew pacaran?" Lugas, tegas dan tepat sasaran. Itulah pertanyaan Kaizan begitu Rindani pergi.
"Tidak." Jawabku berupaya santai.
"Kenapa pergi berdua?" Kaizan seperti sedang menginterogasiku, matanya tidak beralih dan menatap mataku, dadaku sesak.
"Itu bukan urusanmu." Jawabku dengan suara tercekat. Aku tidak menyangka diriku bisa seberani itu.
"Itu urusanku, aku ingin tahu." Kata Kaizan tegas. Aku semakin bingung kenapa dia ngotot.
"Kamu tidak perlu repot mengurusi hubungan orang lain, terutama ketika kamu sudah memiliki tunangan."
Kaizan menatapku tajam, matanya seperti berkilat. Dia kenapa? Kenapa dia seperti marah ketika aku mengatakan itu? Apakah dia cemburu. Huss..huss...aku segera membuang pikiran tidak jelas ini. Dan aneh sekali, setelah menatapku tajam beberapa saat, dia langsung membuang muka, lalu pergi. Tanpa pamit, tanpa memberi salam. Bahkan Rindani sampai menyusulku ke dalam melihat dia pergi dengan cara seperti itu.
"Kaizan kenapa? Kenapa dia seperti marah?" Tanya Rindani panik sambil mendekatiku. Aku hanya mengangkat bahu karena tidak mengerti.
"Aku juga nggak tahu." Jawabku masih merasa aneh dengan perlakuan Kaizan padaku barusan.
"Kalian bicara tentang apa?" Tanya Rindani lagi, dia tampaknya penasaran. Aku hanya bisa menatap Rindani sambil menggeleng.
"Nanti aku cerita di mobil ya."
Aku berjalan ke mobilku dengan perasaan tidak karuan. Masih merasa aneh dengan perlakuan Kaizan. Selama ini, dia sosok yang paling pandai mengelola emosi, bijaksana dan pintar membuat orang nyaman. Tapi kali ini, dia seperti kehilangan semua itu. Dia emosi karena bertanya tapi tidak kujawan, dia mengurusi urusan pribadiku seperti seorang perempuan kepada temannya. Ya, dia kepo, dan dia marah ketika tidak mendapat apa yang ia cari.
Kegelisahan ku tertangkap oleh Rindani, mungkin karena tiba-tiba, aku jadi diam seribu bahasa. Bahkan ketika Rindani banyak mengajak bicara hanya kujawab ya, oh, ohya, dan tidak.
"Biv, kamu nggak papa kan? Kamu nggak dimarahi Kaizan, kan?" Rindani memegang lenganku yang sedang menyetir. Aku menggeleng.
"Aku hanya merasa aneh, Rin. Kenapa Kaizan marah padaku."
"Memangnya kalian membicarakan apa?" Mata Rindani tertuju pada mataku, sepertinya dia sangat penasaran, dia menunggu penjelasanku, aku diam sejenak. Menimbang-nimbang, sebaik cerita atau tidak ya tentang Andrew. "Biv, kok malah ngelamun?" Rindani mencolekku lagi.
"Ceritanya panjang, Rin. Dan mungkin saja kamu nggak percaya dengan apa yang terjadi padaku, karena kaya di dongeng."
"Wah, Biv. Kamu bikin aku semakin penasaran."
Aku melihat waktu di jam tangan sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Jika aku cerita malam ini, pasti tidak selesai, tapi jika tidak, Rindani pasti terus mengejarku.
"Baiklah, aku telepon ibu sebentar ya, mengabari kalau mungkin aku pulang telat."
Rindani mengangguk, aku menepikan mobil, menelpon ibu. Dan ternyata ibu juga masih di luar, di pengajian mushola dekat rumah. Aku lega, dan mulai menjalankan mobil dengan pelan-pelan.
Lalu kuceritakan semua pada Rindani, setelah sebelumnya kuminta dia berjanji tidak menceritakan ini pada siapapun. Aku percaya Rinda bukan orang ember, dia teman yang bisa dipercaya.
Kuceritakan jika aku dan Kaizan mendapat undangan makan malam di rumah Pak Wayan. Tentang ban mobilku yang bocor, tentang tawaran Kaizan, dan aku akhirnya diantar pulang oleh Andrew. Bahkan tentang naik mobil impianku untuk yang pertama kali.
Rindani menyimak dengan antusias, bahkan hingga ia duduk bersila di atas kursi penumpang menghadapku, bukan menghadap depan, dia melepas sabuk pengamannya.
Kuceritakan pula pagi itu, selepas kemarinya keluar kota menyetir untuk keperluan bertemu keluarga klien. Kuceritakan secara detail bagaimana aku sedang malas keluar untuk makan pagi. Hingga akhirnya Andrew datang bahkan saat aku belum cuci muka atau gosok gigi dan masih pakai piyama.
Tentang Andrew mengajakku makan di penjual makanan dengan mobil pickup di pinggir jalan, tentang aku yang membayar karena Andrew lupa tidak membawa uang cash. "Dia lupa apa sengaja?" Seloroh Rindani sambil tetawa kecil, aku menggeleng.
Tentang kami pergi ke mall pinggir kota untuk melihat bazar buku. Tentang belanjaan buku yang banyak dan dibayar oleh Andrew dengan cara sudah bikin perjanjian dulu dengan kasir, dan terakhir, tentang pertemuan aku dan Andrew dengan Kaizan.
"Kalian ketemu Kaizan?" Rindani seperti tidak menyangka dengan apa yang kukatakan. Aku mengangguk.
"Mereka tampak sangat akrab, Andrew mengajaknya gabung bersama kami untuk makan pizza. Tapi dia tidak mau. Ku kira ini bakal terlewat begitu saja. Tapi ternyata dia tadi bertanya apa hubunganku dengan Andrew. Kujawab aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan dia, dia bertanya mengapa kami pergi berdua, lalu kujawan bukan urusannya berkata begitu. Dia langsung marah, mengapa dia marah, Rin? Itu memang bukan urusannya, kan?" Tanyaku sambil terus menatap depan. Tak terasa gang rumah Rindani tinggal beberapa meter lagi, aku siap-siap menepikan mobil.
"Kamu benar, itu bukan urusannya untuk tahu."
"Tapi kenapa dia marah?"
"Apakah dia cemburu, Biv?"
Aku segera menoleh Rindani, kutatap lekat matanya. Dia orang yang mewanti-wanti agar jangan sampai aku terbawa perasaan dengan Kaizan, mewanti-wanti bahwa Kaizan memang baik kepada semua orang. Tapi kali ini dia bilang Kaizan cemburu padaku.
"Tolong, Rin. Kamu jangan katakan itu." Kataku semakin dalam menatap matanya.
"Aku tidak tahu, tapi mengapa Kaizan memperlakukan kamu seperti itu. Seperti orang yang cemburu kepada orang dicintainya."
Kalimat Rindani semakin menusuk hatiku, rasanya dalam sekali. Sedari tadi, aku sudah menepis dan menyangkal kata hatiku sendiri, bahwa Kaizan memang cemburu. Tapi kini, perkataan Rindani malah membumbui perasaanku.
"Lalu aku harus bagaimana, Rin?" Mobilku sudah menepi sempurna di depan gang rumah Rindani. Rindani menggeleng.
"Aku tidak tahu, Biv." Katanya, dia mengangkat bahu. Lalu memegang pundaku. "Meskipun begitu, pesanku masih sama. Tolong jaga dirimu, dia bisa melakukan apa saja, bisa jadi dia memang mencintaimu. Tapi kamu terlalu berharga untuk mendapatkan cinta orang yang sudah terikat dengan orang lain. Jangan pernah mencoba-coba menjajaki perasaan yang belum pasti."
Rindani berkata serius, mimik mukanya meyakinkan. Aku menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk mengiyakan. Semua perkataan Rindani terlihat tulus dan benar, dia benar-benar ingin aku hati-hati.
"Sudah malam, hati-hati ya, terimakasih sudah mengantarkanku. Salam untuk ibumu." Rindani lalu segera turun setelah itu, dia melambaikan tangan ke arahku dan segera berjalan cepat memasuki gang rumahnya.
Aku melajukan mobil memecah gelap malam. Pukul sepuluh malam, kota kami masih cukup ramai. Aku masih berani pulang jam segini. Biasanya jam segini pula, aku dan ibu pulang dari belanja di supermarket. Mungkin saat ini juga ibu pulang dari mushola.
Dan benar dugaanku, ibu masih di depan rumah dengan kostum khas pengajian yaitu setelan gamis dan hijab putih. Ibu segera berlarian membuka pagar begitu melihat mobilku menepi. Beliau masih secekatan itu membuka dan menutup pagar.
"Capek?" Itulah kata pertama yang diucapkan ibu begitu aku keluar dari mobil. Aku menggeleng, "tidak begitu." Jawabku sambil merangkul ibu.
"Ibu, hari ini banyak sekali cerita." Kataku sembari berjalan mensejajari ibu.
"Ceritakan besok ya, sekarang sudah malam." Kata ibu. Aku menggeleng, "tapi aku ingin cerita sekarang." Kataku, ibu tersenyum mendengarnya.
"Kamu sudah makan?" Ibu malah mengalihkan pembicaraan. Beliau mengecek di bawah tudung saji, kami sudah duduk di meja makan, masih ada beberapa potong ayam goreng di sana.
"Sudah Bu, tadi dapat nasi kotak saat rapat. Bu, hari ini aku mengalami peristiwa yang berwarna-warna. Ada yang haru, ada yang entah apa namanya."
Hasratku bercerita pada ibu sudah tak tertahan. Aku memang begitu, dan ibu selalu menjadi pelampiasan mendengar ceritaku. Beliau mendengarkanku dengan sabar.
"Yang haru apa?" Tanya ibu.
"Pertemuan Ala dengan mertuanya. Mereka sangat bahagia bisa bertemu. Mereka mengucapkan sangat berterimakasih padaku. Bahkan sebagai rasa terima kasih, Bu Ulaimi menghadiahi aku ini."
Aku mengeluarkan kotak perhiasan, dan membukanya memperlihatkan pada ibu. Ibu langsung ternganga melihatnya.
"Ini pasti mahal banget, Biv." Kata ibu, mengambil kotak itu dari tanganku. "Tapi kamu pantas mendapatkannya. Kamu sudah berjuang untuk mereka. Simpanlah sebagai kenang-kenangan." Tambah ibu. Aku mengangguk.
"Sudah ya, ibu masuk kamar ya, ibu mulai ngantuk, nih." Ibu berdiri hendak masuk kamar, aku segera memegang tangan ibu.
"Tunggu, Bu. Ada cerita lain yang ingin kukatakan." Kataku memohon ibu untuk tetap tinggal.
"Apa?" Ibu kembali duduk. Maafkan anakmu Bu, tapi cerita ini sudah mendesak ingin disampaikan padamu.
"Kaizan tadi bertanya apa hubunganku dengan Andrew, apakah kami berpacaran?"
"Lalu kamu jawab bagaimana?" Tanya ibu.
"Tentu saja kujawab tidak. Tapi dia terus mengurus mengapa kami pergi berdua. Dan tanpa sadar aku meresponnya dengan mengatakan, bahwa itu bukan urusannya. Dan dia marah padaku, Bu. Dia keluar ruang sekretariat dalam keadaan marah meninggalkanku sendirian."
Ibu terdiam mendengar ceritaku, matanya menatap lekat pada mataku. "Apa arti semua itu, Bu?" Tanyaku lagi. Ibu menggeleng.
"Rindani bilang dia cemburu. Apakah benar itu?" Aku mendekat ibu dengan pertanyaan, ibu masih diam saja.
"Kita tidak bisa terlalu cepat menyimpulkan, sayang. Kamu belum mengenal Kaizan dengan baik. Dia tidak mengatakan apa-apa. Kemarahannya melihatmu dengan orang lain memang bisa jadi cemburu, tapi bisa memiliki makna lain juga, iri misalnya, khawatir sebagai teman misalnya. Banyak hal bisa terjadi.
Ibu tahu, ini membuat perasaanmu tidak karuan. Ibu tahu kamu masih menyimpan perasaan untuk Kaizan. Tapi perasaan itu bukan untuk dipelihara, karena tidak pada tempatnya. Selain itu, jauh di belahan bumi yang lain, seorang perempuan lebih berhak mendapatkan cinta Kaizan secara utuh. Dia mungkin tidak kamu kenal, tapi dia tetaplah perempuan seperti kita, hatinya lembut, bayangkan jika orang kamu cintai ternyata berpaling, bayangkan bagaimana rasanya, bagaimana patah hatinya. Perempuan itu tunangannya. Mereka sudah memiliki janji bersama.
Dan seseorang yang mengkhianati perempuannya, di masa depan, akan besar kemungkinan dia juga akan mengkhianatimu. Dan ibu tidak mau itu.
Bivi, putri ibu yang cantik, pintar, mandiri dan berhati lembut. Kamu memang belum pernah dibikin jatuh cinta dengan seseorang. Tapi bukan berarti kamu tidak akan jatuh cinta. Banyak laki-laki baik, sopan, berhati lembut, dan memuliakan perempuan di luar sana. Kamu akan menemukan salah satu diantara mereka.
Kaizan memang terlihat sempurna, tapi ingatlah tidak ada manusia yang diciptakan sempurna oleh Allah. Kaizan terlihat sempurna karena kamu belum melihat sisi kurangnya. Dan jika tahu sisi kurangnya, perasaanmu belum tentu sama.
Sekarang, ibu harap, karena Kaizan tidak bisa diajak bekerja sama untuk menjaga perasaanmu, maka kamu harus kerja sendiri. Kamu harus tegas untuk memangkas tunas-tunas perasaan yang mungkin tumbuh setiap hari. Rasanya mungkin sakit, tapi ini sakit yang membawa kabaikan."
Ibu memelukku mengakhiri kalimatnya. Aku menangis di pelukan beliau, inilah wejangan yang kuharapkan tadi. Mengapa aku keukeuh minta bicara pada ibu malam ini juga. Karena perasaanku sudah tidak menentu dan harus segera diluruskan. Dan hanya kalimat ibu yang mampu menenangkan hatiku yang bergejolak.
Ibu benar, semua yang dikatakan beliau adalah kebenaran. Maka besok, aku harus memutuskan sesuatu penting. Secara tega, secara paksa, suka atau tidak
"Sekarang tidurlah, sudah malam. Besok kamu harus tetap bangun pagi, bagaimana pun perasaanmu, harus tetap bekerja. Itulah perempuan tangguh putri ibu. Aku mengangguk. Kubiarkan ibu pergi berjalan masuk kamar, aku masih termenung duduk di kursi makan. Lalu berjalan gontai menuju kamar, dan merebahkan diri dengan keras ke kasur.
Aku malas cuci muka, gosok gigi dan yang lain. Kepalaku penat, aku ingin langsung tidur saja. Tapi baru saja aku memejamkan mata, handphone di tangan bergetar, masuk sebuah pesan. Dari Andrew.
"Selamat malam Bivi, besok makan siang yuk. Aku jemput di kantor ya. Tidak usah dibalas, have nice dream."
Pesan Andrew diakhiri dengan emoticon senyum. Membuatku ikut senyum juga. Senyum yang tulus sejak peristiwa sore tadi di kantor. Aku jadi berpikir, apakah Andrew orangnya, yang akan mengalihkan perasaanku dari Kaizan? Aku jadi senyum-senyum sendiri mengingat Andrew.