"Jadi Bapak dan Ibu sudah di hotel?"
Sore itu, sepulang kerja, baru saja sampai rumah, baru saja menyelonjorkan kaki di sofa ruang tamu, Bu Ulaimi menelponku.
"Sudah, Mbak. Sudah dari tadi jam tigaan, ini bapak lagi tidur tapi, kayaknya beliau capek banget, maklum belum terbiasa bawa mobil jauh. Mohon kirim alamat ya, nanti malam kami mau silaturahim." Suara Bu Ulaimi lembut sekali terdengar dari seberang.
"Iya, Bu. Nanti saya kirimkan alamatnya, ya. Tidak usah makan malam dulu, nanti makan malam di sini bersama kami." Kataku sambil celingukan mencari ibu. Sejak pulang, aku belum bertemu ibu, gawat kalau ibu tidak ada di rumah dan aku sudah mengundang seseorang untuk makan malam di rumah.
"Waah, ngrepotin Mbak."
"Nggak, papa."
"Baik, Mbak, sampai nanti ya."
Begitu Bu Ulaimi menutup telepon, aku segera mencari ibu. Dan kutemukan beliau sedang menanam bibit tanaman cabe di belakang rumah.
"Ibu…." Teriakku dari jauh, ibu tetap meneruskan aktivitasnya tidak mengacuhkan ku. "Ibuu nanti malam Pak Sadetil dan istrinya mau main kesini." Tambahku ketika sudah dekat dengan ibu.
"Ohya! Bagus dong. Perlu ibu masakin apa?" Ibu paham betul apa yang kumaksud, ketika ada temanku yang datang ibu memang selalu memasak makanan spesial.
"Yang ada di kulkas aja deh, Bu. Biar ibu nggak repot, Bivi bantu ya."
Aku dan ibu segera sibuk di dapur. Di kulkas hanya tersedia ayam tempe dan terong. Akhirnya ibu mempunyai ide untuk masak ayam Taliwang dipadukan dengan tempe sambal kemangi dan dan sop tahu udang.
Selepas magrib kami sudah rampung. Lalu aku izin ibu untuk mandi. Tapi baru sebentar masuk kamar mandi, ibu sudah mengetuk pintu kamar mandi dan mengatakan supaya aku cepat-cepat karena pak Sadetil dan istrinya sudah datang. Aku pun secepat kilat segera siap-siap dan segera bergabung ke ruang tamu.
Ternyata Zahra juga sudah datang, dia memang sengaja aku undang ke rumah untuk makan malam bersama karena dia juga kenal dengan Pak Sadetil dan istri. Hari ini mereka tampak lebih rapi, Pak Sadetil memakai kemeja dan celana jeans, nampak lebih muda daripada sebelumnya. Bu Ulaimi tampil memakai gamis dan hijab syar'i, tampak lebih anggun, cantik dan dinamis. Bahkan bagiku, ia pantas jadi kakaknya Alana.
Mereka datang membawa banyak sekali oleh-oleh. Kue-kue kering, cake, buah-buahan seperti nanas dan belimbing sampai ikan air tawar segar yang katanya mereka beli di pasar ikan dekat rumah mereka.
Kami makan malam bersama dengan suasana yang hangat dan akrab. Ternyata bakat tersembunyi Pak Sadetil selain dalam seni, ia juga pandai melawak. Kami pun banyak tertawa dibuatnya.
"Terimakasih atas makan malamnya, Mbak, masakannya enak sekali." Kata Bu Ulaimi kepada ibuku ketika berpamitan, mereka tampak berpelukan.
"Kata Bivi, masakan sampean juga enak." Jawab ibuku, kuyakin ibu mencari-cari kalimat untuk ikut menyanjung tamunya.
"Sampai ketemu besok, Bapak, Ibu." Kataku lalu salim kepeda mereka.
Mereka pun pergi meninggalkan rumah kami. Aku dan ibu mengantar sampai jalan, sampai mobil Pak Sadetil menghilang di belokan ujung jalan.
"Mereka sangat baik, semoga acara pertemuan dengan Alana dan Kavya besok berjalan sesuai harapan mereka." Kata ibu sambil berjalan masuk rumah.
***
Pagi ini, aku harus menyelesaikan beberapa urusan di kantor sebelum siangnya, harus izin dinas luar menemani klien mediasi, dan sorenya aku ada acara dengan tim Hizi, membicarakan program baru.
Aku sudah memesankan tempat untuk makan siang Ala dan Pak Sadetil, sengaja memilih tempat yang privat dan jauh dari keramaian. Lesehan tempat makan malam dengan Ala pertama kali dulu, memang menyediakan tempat seperti itu.
Pukul sebelas, aku sudah meminta Laila untuk menutup segala urusan denganku karena aku tidak mau terlambat. Entah kenapa, pertemuan antara Ala dan Pak Sadetil ini, bagiku sangat sakral dan aku tidak boleh melewatkan setiap momentnya. Aku bahkan ingin datang terlebih dulu untuk memastikan tempat sesuai pesanan. Aku juga bingung dengan diriku sendiri, bagaimana bisa konselor sepeduli ini dengan kehidupan kliennya, tapi ini memang hasratku merasa harus melakukannya.
Pukul setengah dua belas, aku sudah sampai lesehan. Aku sudah mewanti-wanti Ala agar jangan terlambat, padahal aku tahu, tidak usah kuwanti-wanti juga Ala adalah orang tepat waktu. Aku sudah memesan menu-menu kesukaan mereka, pokoknya aku berusaha agar makan siang ini berjalan maksimal.
Pukul dua belas, aku menelpon Pak Sadetil untuk bertanya apakah mereka sudah siap, dan mereka bilang sedang check out hotel dan akan segera berangkat. Lalu ku telepon Ala, dan dia bilang sudah dekat dengan Lesehan. Baik, aku tinggal bersantai menunggu mereka.
Beberapa saat kemudian, Ala datang bersama Kavya. Seperti biasa, dia cantik sekali, memakai kulot warna cream dan blouse lengan pendek warna army. Dan Kavya, lucu sekali, dia berkucir dua dan memakai jumper sepanjang lutut, poni di dahinya bergerak-gerak ketika dia berjalan.
"Biv, terimakasih sudah menyiapkan semuanya. Nanti aku yang membayar bill-nya, cukup kebaikan kamu menyiapkan saja." Ala begitu datang langsung memelukku, kubalas pelukannya dengan hangat sembari berharap semoga lancar bertemu dengan mertuamu.
"Apakah mereka sudah berangkat dari hotel?" Tanya Ala lagi, matanya celingukan melihat makanan yang sudah berjajar di meja. Kami duduk di lantai beralas karpet tebal dan duduk di bantal mengelilingi meja.
"Mungkin sebentar lagi sampai." Kataku menenangkannya. Belum sampai satu menit aku bicara begitu, Pak Sadetil kulihat tampak berjalan dari kejauhan. Melalui koridor buatan yang alami menuju gazebo tempat yang sudah kami pesan. Tadi memang aku sudah memberitahu lewat pesan SMS nomer gazebo yang kami pesan. Begitu melihatku, Pak Sadetil langsung tersenyum, Bu Ulaimi melambaikan tangan.
"Itu... Pak Sadetil?" Kata Ala lirih, dia terus menatap dua orangtua yang sedang berjalan ke arah kami. Tanpa kusadari, Kavya juga terus menatap mereka, mungkin karena mengikuti kami. "Biv...aku harus bagaimana.." Ala berkata sangat lirih, aku bisa mendengar perkataannya karena kami sangat dekat.
"Ayah!" Ala berkata sambil meneteskan air mata, ia berjalan mendekati Pak Sadetil yang memang jaraknya sudah dekat. Ia segera memberikan salam takzim dan mencium tangan bapak mertuanya.
Dan ketika dengan Bu Ulaimi, dia berpelukan lama sekali. Lama sekali sampai kami semua terbengong menunggu menyaksikan mereka berpelukan dan seperti tak berkesudahan. Bahkan mbak-mbak penjaga restoran hendak mengantarkan minum pun dibikin bingung atas kejadian itu. Bu Ulaimi dan Alana sama-sama menangis. Kavya menarik-narik baju ibunya, mungkin maksudnya agar ibunya berhenti berpelukan.
"Ini cucu kakek?" Pak Sadetil berjongkok menghadap Kavya, Kavya tidak mau menghadap beliau, dia merapat pada ibunya yang masih berpelukan.
"Ini kakek sayang, ini nenek. Kakek Kavya. Ayo salim dulu." Kata Ala begitu menyadari Kavya menarik bajunya. Kavya menggeleng.
"Oh tidak salim, tidak apa-apa, kalau toss mau nggak?" Pak Sadetil berusaha membujuk Kavya, beliau mengangkat tangannya untuk ber-toss, tapi Kavya tetap menolak, dia menggeleng kecil.
"Oh tidak toss tidak apa-apa, tapi coklat mau ya?" Pak Sadetil mengeluarkan dua buah kinder Joy dari waistbagnya. Kavya langsung mengangguk.
"Bilang apa? Terimakasih kakek." Ala menuntun Kavya mengucapkan terimakasih.
"Aacih." Kata Kavya malu-malu.
Kami pun segera masuk ke dalam gazebo dan duduk melingkari meja. Semua menu yang kupesan sudah lengkap. Nasi liwet, sambal kecobrang, oseng cumi pete, ayam goreng lengkuas, daging sapi balado, dan sambal goreng hati kentang. Untuk minumnya, aku memesan es oyen untuk kami semua.
Kami makan bersama dalam suasana hangat, memang masih ada sedikit kecanggungan, tapi kelucuan Pak Sadetil mencairkan suasana. Bahkan sekarang Kavya sudah mau duduk di pangkuan kakeknya itu. Kami sama sekali belum membahas Ghulam, mungkin karena sama-sama sadar, jika membahas itu hanya akan menghilangkan suasana hangat.
Baru setelah kami selesai makan, selesai minum dan suasana sudah kondusif untuk cerita. Aku mulai membuka pembahasan tentang itu. Mengapa aku? Karena akulahbyang menginisiasi tujuan utama pertemuan ini adalah menyambung kembali hubungan Ghulam dan ayahnya.
"Maaf, Ala, Ibu dan Bapak." Kataku hati-hati, semua yang ada di gazebo langsung memperhatikanku, aku yakin mereka sebenarnya juga menunggu moment ini. Aku melanjutkan kata-kataku. "Maaf jika saya menyela, sebelumnya saya mengucapkan terimakasih untuk kesediaan kalian semua berkumpul di sini. Saya tahu, masing-masing dari kita punya sisi lemah, dan akan sulit menerima kelemahan itu. Tapi hari ini, masing-masing dari kita mencoba menekan ego, mengesampingkan ketakutan hingga tercipta pertemuan yang begitu harmonis.
Tapi pertemuan ini masih kurang, karena ayahnya Kavya belum hadir di sini. Ayahnya Kavya lah seharusnya menjadi penyambung hubungan ini. Tapi situasi sedang belum berpihak padanya. Dia sedang dikuasai oleh perasaan yang mungkin ia sendiri sulit mengendalikannya.
Sehingga tujuan utama kita di sini sekarang ini adalah, bagaimana caranya agar Ghulam bisa bergabung bersama kalian. Dengan perasaan ringan, dengan hati yang ikhlas dan Ridha dan suka cita.
Aku di sini adalah orang lain. Tapi sejak Alana mengontrak ku jadi konselor pernikahannya, aku sekarang ikut memiliki tanggungjawab untuk itu. Besar harapanku agar keluarga Ala dan Ghulam kembali utuh, dan hubungan ayah dan anak akan kembali harmonis. Saya ulangi, Itulah tujuan kita hari ini."
Ketika aku bicara begitu, semua orang terdiam, bahkan Kavya juga. Gadis kecil itu seperti sangat paham ia sedang dalam suasana serius.
"Terimakasih, Nak Biv. Terimakasih atas segala kebaikanmu. Bapak tidak tahu dengan apa membalasnya, mungkin hanya Allah yang pantas memberi balasan setimpal.
Bapak juga mengucapkan terimakasih pada Alana, menantuku dan cucuku. Terimakasih kalian sudah Sudi menemuiku. Aku tahu kesalahanku di masa lalu mungkin sangat menyakitkan ayahnya Kavya, menghancurkan suamimu, Alana. Tapi aku hanya berharap maaf yang besar dari kalian. Dan izinkan, orangtua ini memperbaikinya.
Nak Bivi benar, tujuan utama kita adalah mengembalikan Ghulam agar utuh bersama kita. Menghadirkan ampun dari hatinya yang tulus untuk Bapaknya ini. Sekarang, kita serahkan pada Alana bagaimana caranya. Dia lebih tahu kondisi suaminya, dia paling kenal suaminya."
Pak Sadetil sudah memerah mukanya seperti hendak menangis. Aku sengaja tak berlama-lama menatapnya agar tak ikut menangis. Alana juga hanya menunduk.
Pembicaraan kami saat ini sangat kontras dengan suasana beberapa menit yang lalu yang begitu akrab. Sekarang kami sangat tegang, kaku dan formal. Tapi tidak masalah, memang ini inti dari pertemuan ini. Kami saling bergantian bicara. Sekarang giliran Alana, dia juga sudah tampak berkaca-kaca.
"Aku sangat berterimakasih pada Bivi. Inilah idenya, inilah prakarsanya. Dialah yang menyadari ada yang tidak beres dengan hubungan kami, juga mental suamiku yang tidak baik-baik saja. Aku tidak tahu jika Tuhan tak mempertemukan ku dengan Bivi. Mungkin kami sudah berpisah. Bivilah yang banyak berjuang menyatukan kami. Terimakasih, Biv." Ala tak kuasa menahan tangisnya. Aku terharu atas apa yang ia katakan. Kebetulan aku duduk di sampingnya, aku tidak bisa meresponnya dengan kata-kata, hanya bisa kuelus-elus pundaknya. Ia kembali melanjutkan perkataannya.
"Dan ayah, dan ibu. Seharusnya Alana yang datang menghadap kalian." Alana berhenti bicara, dia terisak-isak, tersedu-sedu. Aku mendekat merangkulnya, dan mengambilkan tisu makan dari meja. "Seharusnya Ala yang minta maaf kepada kalian, tapi Ala tidak berdaya apa-apa. Ala tidak tahu persis seperti apa masa lalu yang pernah terjadi di antara ayah dan Ghulam. Tapi Ala yakin, seorang ayah tidak akan hilang cinta untuk anaknya. Terimakasih ayah dan ibu sudah berkenan hadir di sini, bertemu Ala dan Kavya." Ala kembali tersedu, Bu Ulaimi juga. Pak Sadetil hanya menunduk.
"Sekarang, Ala rasa, kita persering saja pertemuan kita. Besok, gantian Ala dan Kavya yang akan ke rumah ayah. Tidak apa meskipun tanpa Ghulam. Kita dekatkan dulu Kavya dengan kakeknya, seperti rencana yang pernah di jelaskan Bivi.
Ghulam sangat mencintai putrinya, suatu saat nanti, aku yakin, hatinya akan terbuka jika di hati putrinya saja ada rasa cinta yang besar kepada kakeknya, masak dia sebagai ayah tidak ada kepada ayahnya juga."
Sekarang Ala lebih tenang, ia sudah tidak menangis, tapi matanya masih berair dan hidungnya memerah.
"Tapi, Nak." Kata Bu Ulaimi tiba-tiba, sejak tadi beliau hanya diam, "maaf jika ibu menyela, tapi harus ada yang membuka pikiran Ghulam, harus ada yang menuntunnya." Lanjut Bu Ulaimi.
"Ibu benar, dia harus diarahkan. Bapak memang salah, tapi demi kebaikan dia sendiri, dia harus memaafkan masa lalunya agar hidupnya tentram." Pak Sadetil membenarkan istrinya.
"Dia tidak acuh jika aku yang bicara, bahkan kami cenderung bertengkar. Satu-satunya orang yang paling didengar pendapatnya adalah Bivi. Ya, dia percaya sekali dengan Bivi." Kata Ala sambil melihatku.
"Iya, tapi kemarin aku gagal meyakinkannya perihal ayahnya."
"Mungkin dia perlu dibuka hatinya lebih dalam." Tambah Pak Sadetil, "kumohon, Nak. Kami sangat berharap dan bergantung padamu." Beliau menyatukan tangannya memohon kepadaku, aku jadi tidak enak. Aku diam sebentar sambil memikirkan cara.
"Baiklah, akan kucoba lagi dan kupikirkan cara terbaik. Kita tidak akan berhenti mencari jalan keluar." Kataku kemudian.
Pembicaraan kami selanjutnya lebih santai, Ala memesan beberapa cemilan agar semakin asyik pembicaraan kami dan Kavya semakin betah.
"Nak, ibu ada oleh-oleh terimalah." Kata Bu Ulaimi mengeluarkan sebuah kotak besar, setelah dibuka di dalamnya terdapat beberapa kotak kecil. Pertama dia memberikannya pada Alana.
"Apa ini, Bu?" Tanya Alana, dia langsung membuka kotak itu dan terperanjat melihat isinya, sebuah kalung emas.
"Ini untuk Kavya." Bu Ulaimi menyerahkan sebuah kotak yang sudah terbuka berisi gelang emas kecil yang lucu, ada permatanya. Ala menggeleng menerimanya.
"Dan ini untukmu, Nak." Terakhir Bu Ulaimi menyerahkannya padaku, aku menggeleng.
"Tidak, Bu. Saya tidak pantas menerima ini." Kataku sambil mendorong lembut kotak itu ke arah Bu Ulaimi. Beliau ganti yang menggeleng.
"Ini hadiah dari ibu yang tidak boleh ditolak." Bu Ulaimi menyodorkan kotak itu lagi padaku. Aku masih menggeleng. "Anggap saja ini kenang-kenangan, yang akan tetap kalian ingat meskipun suatu saat nanti kita terpisah."
"Ah, ibu, ini sangat berarti." Kataku, lalu aku dan Alana mendekat untuk memeluk beliau, kami pelukan bertiga. Dan menjadi spesial ketika Kavya mendekat dan ikut bergabung.
Sore ini, aku telah dipertemukan oleh Allah dengan orang-orang baik yang dipisahkan karena keadaan yang terjadi tanpa sadar. Kesalahan-kesalahan memang tetaplah kesalahan, tapi mereka selalu menemukan cara untuk memperbaiki, untuk saling memaafkan dan bertumbuh bersama.
Baru kali ini aku sangat terlibat secara emosional dengan klienku, bahkan aku seperti berjanji dengan diriku sendiri bahwa aku akan membantu keluarga ini sampai titik darah penghabisan.