"Biv, gawat Biv!" Aku baru saja membuka mata, kesadaranku belum penuh, tapi suara Ala langsung membuat mataku terbelalak kaget. Ia menelponku pagi-pagi buta, dan baru kuangkat setelah panggilan ke-lima.
"Ha? Apa?" Kataku malas-malas, hari ini adalah hari libur, aku ingin nenas dari memikir pekerjaan, aku ingin bangun siang. Tapi sungguh sial, aku lupa tidak mengaktifkan mode pesawat sebelum tidur tadi malam. Jadilah, aku tetap harus bangun pagi.
"Semalam Ghulam mengetahui kalau aku kemarin ke rumah ayahnya. Dia sudah tahu, Biv!" Ala berseru, mataku langsung membelalak. "Kok bisa?" Kataku.
"Dia mempunyai salah satu teman baik yang tinggal tidak jauh dari rumah Pak Sadetil, aku lupa tentang hal ini. Orang itu kemudian bertanya pada Ghulam apakah dia pulang kampung, mengapa dia melihat aku di depan rumah ayahnya. Bagaimana ini, Biv?"
Aku diam sambil berpikir dan mencerna kalimat Alana. Seharusnya dia lebih teliti lagi, batinku menggerutu.
"Terus bagaimana respon Ghulam?"
"Semalam kami sampai rumah pukul delapan, kukira dia tak akan curiga apa-apa. Tapi begitu melihat aku datang, dia langsung memasang muka tidak enak. Dan begitu Kavya tidur, dia murka, dia tidak minta penjelasan apakah aku dari rumah ayahnya atau tidak, dia langsung marah-marah, meneriaki mukaku, membanting pintu dan pergi ke ruang kerjanya, dan mengurung diri hingga kini. Aku harus bagaimana, Biv?
Ala berkata panik. Sebenarnya aku juga panik, ini memang resiko, tapi aku tidak menyangka jika resiko ini akan sepelik ini.
"Tenanglah, ketika dia sudah keluar dari kamarnya, cobalah meminta maaf, lalu katakan ini rencanamu untuk pergi kesana, katakan Bivi yang akan menjelaskan. Teruslah bersikap baik, layani dia, siapkan makanan dan semua kebutuhannya. Dan satu, jangan terpancing, jangan ikut emosi."
Aku mengintruksikan apa yang harus dilakukan Ala, aku tahu, pada prakteknya semua menjadi sangat menantang, tapi paling tidak, Ala memiliki pegangan apa yang harus ia lakukan. Ini bisa memberinya ketenangan.
"Baiklah, Biv. Jika dia sudah mulai tenang, nanti kuminta dia menemuimu untuk mendapatkan penjelasan, begitu kan? Maaf sudah mengganggumu di akhir pekan sepagi ini."
Ala menutup teleponnya. Dia sudah meminta maaf telah merusak akhir pekan pagiku, tapi dia tidak bisa mengembalikan kenyamanan tidur pagi hari karena kantukku sudah lenyap.
Aku segera bangun, melompat dari kasur, dan mandi. Salah satu yang membuatku termotivasi mandi adalah karena khawatir Andrew bisa saja tiba-tiba datang tanpa mengabari terlebih dahulu dan tanpa diundang.
Selesai mandi, aku mencari ibu, pukul enam pagi, ibu sudah menghilang dari seluruh penjuru rumah, mungkin beliau keluar membeli makanan, batinku. Dan ternyata benar, semenit kemudian, ibu tampak masuk ke dalam rumah dengan menenteng dua kotak nasi. "Nasi uduk!" Seru ibu menunjukkan tentengannya. Aku segera menyambut beliau.
"Ada rencana pagi ini?" Tanya ibu, beliau memberikan sendok kepadaku. Belakangan ini, ibu membawa kotak nasi sendiri dan memesan makan sendok atau sedotan. Sekarang, ibu punya life style zero waste, aku bangga pada ibu.
"Belum." Kataku sambil menyuapkan sesendok nasi uduk.
"Ke rumah Tante Nanik yuk, ibu kemarin ditawari bunga, lho!" Ibu sangat bersemangat mengajak, tapi aku sama sekali tidak. Mengapa aku harus melewatkan akhir pekanku untuk berburu bunga, batinku. "Mau apa enggak?"
"Bivi anterin aja ya, Bu?"
"Kamu nggak mau?" Tanya ibu, aku menggeleng.
"Nggak usah, ibu pesan ojek online saja, kamu pengen rebahan, kan?"
Aku segera mengangguk kencang, ibu tahu sekali bagaimana diriku, aku sebenarnya tipe orang malas gerak, hanya terpaksa gerak karena kewajiban, kerja misalnya, sehingga jika tidak kerja, aku akan banyak menghabiskan waktu di atas kasur.
Jadilah menjelang agak siang, mungkin pukul sepuluh, ibu berangkat ke rumah temannya, untuk berburu bunga. Aku seperti cita-citaku, merebahkan diri di atas kasur sambil berselancar di media sosial. Libur adalah kesempatan bermain media sosial, di luar itu, aku tidak sempat.
Dari kemarin, sebenarnya aku ingin stalking media sosialnya Andrew. Aku ingin tahu, dunia dia seperti apa. Ternyata aku cukup sulit menemukan Andrew di f*******: atau i********:. Nama Andrew begitu banyak, dan aku tidak tahu nama panjangnya. Tapi aku ingat, aku baru saja mem-follow Pak Wayan beberapa waktu lalu, mereka pasti masih ada keterkaitan.
Memang benar, Pak Wayan sering memposting foto keluarga, tapi Andrew tidak ditandai, bahkan kakak Andrew saja ditandai. Mengapa misterius sekali laki-laki itu. Kucoba mengecek media sosial kakak perempuannya yang bernama Lorenzia. Dan hasilnya pun sama. Aku heran, masak Andrew tidak bermain media sosial?
Di saat aku sedang asyik bermain medsos, terdapat panggilan masuk ke handphone ku. Hah, dari Kaizan? Untuk urusan apa dia menelpon, batinku. Aku menimbang-nimbang sebelum mengangkat, mencoba menarik nafas panjang, dan mengembuskan dalam-dalam.
"Halo." Kataku singkat, aku sengaja tidak menyebut namanya untuk membatasi diri.
"Halo, Biv. Mengapa tidak datang ke sekretariat, bukan kah hari ini ada meeting?" Dengan santai Kaizan bertanya begitu.
"Untuk apa? Bukan kah aku sudah terlepas kontrak kerja di sana?" Jawabku tenang, tapi merasa aneh juga.
"Siapa bilang? Bagian kepegawaian belum meng-acc surat pengunduran dirimu. Kamu masih terikat kerja di sini."
"Apa? Mana bisa seperti itu?"
"Keluar dari sebuah perusahaan itu ada prosedurnya, Bivi. Tidak asal kirim surat lalu keluar." Kaizan tertawa kecil, nadanya terdengar seperti ejekan, aku mendengus.
"Tapi bagaimana kalau aku sudah tidak ingin?"
"Kamu akan kehilangan kredibilitas di mata perusahaan dan tentunga kehilangan pesangon."
Aku tidak peduli pesangon, tapi untuk kredibilitas, aku butuh itu. Hizi masih sering menjalin kerjasama dengan lembagaku, jangan sampai karena ulahku, lembagaku terbawa-bawa. Dan aku, tidak enak juga dengan Pak Wayan, jika kasus ini sampai terdengar ke telingan beliau. Aku mendengus lagi. Arggghhh.
"Baik, untuk hari ini aku izin, untuk besok akan aku upayakan datang. Tapi, sampai kapan aku harus menunggu suratku disetujui?"
"Aku tidak tahu, itu urusan bagian kepegawaian."
Kaizan menutup teleponnya. Entah kenapa aku jadi sangat kesal, mengapa dia seperti mempermainkanku. Benar atau tidak, untuk resign di Hizi harus melalui prosedur seperti ini? Apalagi jangka waktunya tidak jelas.
Setelah menyerahkan surat pengunduran diri, aku langsung keluar dari grup w******p tim Hizi untuk Indonesia, tapi Kaizan memasukkan aku kembali, aku tidak tahu maksudnya apa. Sehingga, aku tahu jika sebenarnya hari ini dan besok ada meeting, tapi aku sengaja tidak datang. Kan, sudah bukan urusanku. Tapi Kaizan seperti mengancamku, jika tidak datang kredibilitas ku dipertaruhkan. Karena merasa dibingungkan oleh hal ini, akhirnya aku menelpon Rindani untuk meminta kejelasan.
"Halo, Rin."
"Iya, Biv. Apa kabar?"
"Aku baik, Rin. Kamu juga baik kan? Mau tanya nih."
"Aku baik, Alhamdulillah. Tanya apa, Biv?"
"Apakah benar kalau kita resign, baru dinyatakan berhenti ketika surat pengajuan pengunduran diri kita disetujui bagian kepegawaian?"
"Benar."
"Terus, kapan persetujuan itu akan keluar, Rin?"
"Biasanya hari yang sama, Biv. Cepat kok! Tidak sampai satu hari kerja."
"Kok punyaku belum, ya."
"Masak, sih? Coba kamu tanyakan bagian kepegawaian."
Aku terkejut dengan jawaban Rindani, jika biasanya surat approve tidak sampai satu hari kerja, mengapa punyaku belum keluar? Padahal aku sudah mengajukan sekitar tiga hari lalu.
Sebenarnya aku sudah sangat penasaran kenapa ada masalah dengan surat pengunduran diriku. Tapi hari ini libur, jadi terpaksa aku harus menunggu sampai Senin. Padahal, besok Kaizan memintaku datang rapat.
Di sela-sela pusing dengan urusan surat pengunduran diri. Kudengar suara ibu sepertinya pulang dari rumah teman sayup-sayup kudengar. Eh, tapi sepertinya beliau sedang mengobrol. Aku menajamkan telinga, mencoba mendengarkan suara ibu yang sepertinya sedang bercakap-cakap, ibu bercakap-cakap dengan siapa?
Aku segera melompat turun dari kasur, berjalan melewati meja makan, ruang tengah, dan ruang tamu. Aku mengintip di jendela kaca, di teras tampak ibu sedang mengobrol dengan seseorang. Siapa itu? Aku menyipitkan mata, mengamati sosok yang duduk di depan ibu. Hah? Apakah itu Andrew?
Aku segera membuka pintu, Andrew dan ibu kompak menoleh. "Andrew? Sejak kapan di sini?" Tanyaku to the point, Andrew bukanya menjawab malah menoleh menatap ibu.
"Tadi ibu diantar Andrew pulang." Kata ibu.
"Lho, kok bisa?" Aku berjalan mendekati mereka.
"Iya tadi aku kebetulan lewat di jalan HR. Muhammad, ibu kamu sedang menunggu taksi, aku awalnya tadi ragu, apakah benar ibu kamu atau bukan, terus aku tanya, ternyata benar. Lalu kutawari untuk kuantar pulang."
"Kok bisa?" Lagi-lagi aku hanya bisa mengatakan itu.
"Ya, aku juga tidak tahu, sudah diatur sama Tuhan." Andrew tertawa melihatku bingung.
"Sudah ya, ibu masuk dulu, Nak Andrew tadi mau minum apa? Jus melon apa jus mangga?"
"Jus melon Tante, tidak usah pakai s**u ya Tan. Hehe." Andrew cengengesan menjawab tawaran ibu, sama sekali tidak sungkan, bahkan seperti sedang berbicara dengan ibu sendiri.
Ibu masuk ke dalam untuk membuatkan kami minum. Sekarang, tinggal aku dan Andrew berdua duduk di teras.
"Buat apa kesini?" Tanyaku bingung. Andrew senyum.
"Ngantar ibu kamu tadi, ngomong-ngomong aku nggak nyariin kamu kok."
Aku terbelalak mendengar jawaban Andrew, sungguh laki-laki ini adalah tipe cowok ngeselin. "Enggak, enggak, canda." Lanjutnya lalu tertawa, wajahku sudah kadung kesal.
"Jujur, tadi aku nggak berniat kesini. Tapi sama Tuhan digerakkan kesini." Kata Andrew dengen manis. Dia itu sepertinya jago sekali ngomong dengan perempuan. Huftt aku menghela nafas, entah kenapa detak di dadaku mulai berantakan saat Andrew bicara dengan nada serius.
"Udah makan siang belum?" Tanyanya lagi, aku menggeleng. "Makan, yuk! Ajak ibu sekalian."
"Ajak ibu?" Aku masih tidak yakin dengan tawarannya.
"Iya, atau kamu hanya ingin pergi berdua?" Andrew menggodaku sambil tertawa kecil.
"Hisshh. Aku tanya ibu dulu." Kataku sambil berdiri dan berjalan ke dapur.
Ibu sedang menyiapkan salad buah, di samping tangan beliau, dua gelas jus melon sudah siap angkut, aku menjelaskan maksud Andrew yang mengajak kami makan siang di luar.
"Ah, ngapain ibu ikut?" Tanya ibu kaget. "Kalian pergi berdua saja ya. Ibu capek, dan banyak PR tanaman kudu segera dipindah ke dalam pot." Tambah ibu lagi.
"Yaudah ibu jelaskan, nanti dia salah paham."
Ibu segera ke depan dengan membawa baki berisi gelas jus dan aku membawa baki berisi mangkok salad buah. Andrew terlihat santai sekali, dia sedang melihat layar handphonenya. Anak ini percaya dirinya tinggi sekali, batinku. Dia sangat bisa membawa diri, baik dengan ibu atau dengan aku.
"Maaf ya Nak Andrew, ibu sepertinya tidak bisa ikut. Ibu capek ingin tidur siang dan nanti sore lanjut tanam menanam. Maaf ya, semoga lain kali bisa." Kata ibu sambil menurunkan gelas-gelas jus.
"Iya, Bu. Tidak apa-apa, tapi saya izin mengajak Bivi ya?"
Sangat gantle dan sopan. Aku jadi semakin penasaran dengan Andrew, apa maksud dia memperlakukan aku begini, memangnya dia belum punya pacar?
"Iya, tapi jusnya diminum dulu ya."
Aku dan Andrew mengangguk, kami segera meraih gelas-gelas jus dan mulai menyeruputnya.
Setelah jus dan salad buah ludes, kami pergi berdua untuk makan siang. Sebelum berangkat, aku hanya minta izin untuk berganti baju, memakai bedak dan lipstik, itu saja. Tidak ada yang istimewa, karena aku sendiri juga bingung hendak dandan seperti apa jika pergi dengan laki-laki.
Hari ini Andrew sedikit lebih formal, dia memakai kemeja dengan rompi rajut dan celana kain. Ia sepertinya baru saja bertemu dengan orang penting. Tapi, aku tidak mungkin dong menyamainya dengan menggunakan blazer, aku tidak dari mana-mana dan baru saja rebahan. Jadi aku hanya memakai celana kulot dan kaos reeb lengan panjang, ini sudah cukup kasual bagiku.
"Ibu kamu pengertian ya." Kata Andrew sambil mulai menjalankan mobil.
"Maksudnya?" Tanyaku.
"Tau banget kalau kita ingin pergi berdua saja." Jawab Andrew dan setelah itu langsung melirikku, melihat responku. Aku ternganga, terbelalak mendengar jawabnya. Dia tertawa.