#62 Surat Resign

1490 Kata
Bukan Andrew kalau tidak nyeleneh. Hari ini, untuk pergi makan siang, kami harus melalui perjalanan kurang lebih satu jam. "Kita mau kemana? Kok belum sampai juga?" Awalnya aku menikmati perjalanan, tapi lama kelamaan aku jadi bertanya-tanya juga. "Udah bosen ya?" Andrew berkata tanpa menolehku, tetap dengan lagak senyam-senyum tidak jelas. "Ya bukan bosan sih, cuman bertanya-tanya aja, kita mau kemana?" "Sabar ya…bentar lagi sampai, kok." Andrew sudah mengatakan kalimat ini ketiga kalinya. Tapi nyatanya, kami juga tak kunjung sampai. Hingga akhirnya, aku tidak bertanya lagi dan memilih diam. Mobil Andrew belok di perkampungan. Ya, kami sudah lewat batas kota. Aku geleng-geleng sendiri tidak mengerti. Kami melewati rumah-rumah penduduk, kandang, sawah, sungai, dan belok ke sebuah rumah makan di tepi sawah. Rumah Makan Gubug Sawah. "Turun yuk!" Kata Andrew, aku masih bengong mengamati apa yang ada di hadapanku. Jadi sejauh ini kita pergi untuk makan siang. Seenak apa makanan di sini, batinku. Aku mengangguk lalu segera turun mengikuti Andrew. "Kamu sudah pernah makan di sini?" Tanyaku sambil mensejajarkan langkah dengan Andrew, dia menggeleng. "Belum?" Kataku kaget. Kita pergi sejauh ini untuk mencoba-coba? Andrew meresponku dengan tawanya yang khas. "Iya, aku baru lihat beberapa hari lalu dari i********:, makanya tadi aku pakai Google map, kamu nggak tahu ya?" Aku memang tidak menyadari di mana dia meletakkan handphone untuk penunjuk jalan. Tapi aku lebih fokus pada kata "i********:" yang ia ucapkan, kemarin kecari-cari dia Instagramnya apa, tapi tidak ketemu. Ah, tapi mana mungkin juga aku tanya tentang ini. Kami segera masuk, daftar, lalu mengambil buku menu. Ternyata, kami pengunjung yang mendapat tempat terakhir. "Kita masih beruntung nih, aku tadi belum sempat reservasi, ternyata tempatnya sisa satu." Kami berjalan menuju gubuk dua puluh. Jadi rumah makan ini cukup unik, jadi kami memesan makanan di depan, lalu berjalan menuju gubug yang lumayan jauh, apalagi kami mendapat nomer dua puluh. Kami berjalan melewati pematang, menggunakan sepatu. Aku bersyukur tidak memakai wedges atau hak tinggi. Di sekitar kami sawah-sawah dengan tanaman padi sejauh mata memandang yang mulai menguning. Siang-siang begini memang terasa panas, tapi juga sejuk karena angin semilir. Ketika berjalan, kami melewati gubug lain yang sudah terisi pengunjung. Rata-rata mereka berombongan, jarang yang hanya berdua, seperti aku dan Andrew. Setelah berjalan lumayan lama di atas pematang sawah yang sempit, akhirnya sampai juga kami di sebuah gubug. Gubug yang dimaksud adalah seperti sebuah rumah panggung, terbuat dari kayu dengan atap jerami, dan gubug kami tepat di tengah sawah, jauh dari gubug-gubug yang lain. Aku heran, mengapa aku baru tahu sekarang tempat seperti ini. Gubug ini lumayan luas, kira-kira tiga kali tiga sentimeter, sepertinya memang didesain untuk rombongan, sehingga cukup luas untuk kami tempati berdua. Kami menunggu sekitar setengah jam untuk sampai makanan diantar, ku jadi membayangkan betapa repotnya penjaga restoran mengantarkan makanan yang harus melalui pematang sawah. Pantas, tadi di buku menu sekilas harganya kulihat diakali lipat dari biasanya. Karena Andrew menyerahkan padaku, jadi akulah yang memilih semua menu. Awalnya aku hanya memesan gurame bakar, cumi balado, dan cah kangkung. Kupikir itu memang cukup untuk kami, tapi kata Andrew kurang banyak, jadi aku tambah memesan lagi belut goreng, bandeng kremes, kentang goreng, dan onion ring. Untuk minumnya, Andrew request es degan dengan buah kelapa utuh. Seperti biasa, kami makan dengan lahap pakai tangan dan sambil mengobrol. Makanan sebanyak tadi, ternyata ludes di depan kami berdua. "Mau nambah?" Tanya Andrew. "Gila apa?" Andrew tertawa mendengar jawabanku. Tanpa ku tahu, ternyata Andrew memesan gurame dan nila bakar madu untuk oleh-oleh ibu. Sekilas aku berpikir, orang ini perhatian sekali dengan orang lain, kapan hari teman kantorku yang dapat oleh-oleh, sekarang ibuku. Kami pulang dengan perasaan senang dan perut yang sangat kenyang, capek perjalanan pulang pergi hampir enam puluh kilo terbayarkan. *** Inilah hari Minggu yang paling membingungkan, kata Kaizan, aku masih harus ke kantor karena belum resmi mengundurkan diri. Tapi aku sudah merasa resmi mundur. Aku juga sudah tidak mau bertemu dengannya, takut perasaanku goyah. Aku meminta pertimbangan Rindani, tapi dia tidak memberikan solusi, dia mengatakan terserah aku, ya kalau terserah kan untuk apa aku tanya, tapi ya mungkin dia juga bingung. "Bu, bagaimana ini? Enaknya aku berangkat atau tidak?" Ibu yang sedang menyiram tanamannya tampak tak meresponku, ibu mungkin bosan menjawab. "Jawaban ibu masih sama." Kata beliau. "Berangkat kalau hatiku menginginkannya? Ya, tapi masalahnya hatiku sendiri bingung menentukan." Gerutuku kesal. Ibu juga tidak peduli, masih lebih peduli dengan satu biji rumput yang mulai tumbuh di pot bunga kesayangannya. Akhirnya aku pun menghitung kancing kemeja, persis seperti ketika ujian dan otakku buntu harus menjawab apa. Dan kancing bajuku jatuh pada berangkat. Ya, kancing baju menyuruhku berangkat. Aku pun akhirnya berdiri. "Rin, aku jemput ya." Tangan kiriku memegang handphone tangan kananku menyetir, aku baru saja keluar dari pagar rumah. "Waduh, aku dah persen ojek nih." Jawab Rindani. "Cepat, batalin!" Seruku. "Oke! Oke!" Paling tidak, dengan berangkat bersama Rindani, aku tidak begitu canggung lagi. Apalagi kalau harus bertemu Kaizan. Entah kenapa, perasaanku tidak enak ketika hendak bertemu dengannya, ada dua kubu di hatiku, yang terus mengingatkan hatiku agar waspada dan jangan kelepasan, satunya lagi menyemangati untuk terus menarik perhatiannya. Sesampainya di kantor Hizi, nyaliku mendadak ciut, aku takut ke atas, takut masuk ke sekretariat, aku takut ketemu Kaizan. Aku sempat mencari-cari alasan, ingin cari minum dulu, tapi Rindani bilang ada minum di kulkas ruang sekretariat, aku lupa soal itu. Rindani menggenggam tanganku erat, "Kamu nggak usah ciut menghadapi Kaizan, dia tidak berani memarahi kamu lagi, kamu sudah menggertak dia dengan mengundurkan diri. Aku tahu, justru dia yang ciut makanya dia seperti menghalangi kamu resign." Aku mengangguk, Rindani benar, aku tidak perlu takut, tapi masalahnya adalah hatiku sendiri. Hatiku tidak bisa biasa saja. Aku menarik nafas panjang dan mengikuti langkah Rindani berjalan masuk kantor. Kaizan belum kelihatan ketika kami datang, aku menghela nafas lega dan berharap semoga dia tidak datang, tapi sepertinya harapan itu sia-sia karena sejurus kemudian, dia tampak berjalan bersama Raka masuk ke ruang sekretariat. Dia menatapku, dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Aku mengalihkan pandangan, tidak berani beradu tatapan mata dengannya. "Bivi, tolong pimpin rapat siang ini!" Kaizan memerintahku seperti seorang bos. Bagaimana bisa dia seenak itu menyuruhku, apalagi aku kemarin tidak hadir, apa dia sengaja memojokkanku. "Maaf, saya tidak bisa." Jawabku dengan nada suara yang kutenang-tenangkan. Rindani melirikku, mungkin maksud dia memberikan dukungan. "Kenapa tidak bisa?" Kaizan mengejar. "Karena kedepannya, saya tidak di sini lagi." Aku justru terpaksa mengumumkan pengunduran diriku, ini semua gara-gara Kaizan. Aku mendengus, apa maksudnya? "Saya tidak bicara masa depan, masa depan tidak ada yang tahu, saya bicara tentang hari ini." Hatiku berdegup kencang, apa maksud Kaizan mengatakan itu, akhirnya aku mengangguk, "baiklah." Kataku, tidak mau berdebat, Kaizan tersenyum. Rapat berjalan sangat lama, aku ingin segera hengkang dari ruangan itu. Hatiku seperti tertekan di sana. Aku takut, pikiranku mengembara macam-macam tentang Kaizan. Berangan-angan dan berharap sesuatu yang semu. Misalnya, seperti bertanya-tanya, apa maksud Kaizan mengatakan bahwa masa depan tidak ada yang tahu tadi? Huftt segera kubuang jauh pikiranku yang bandel. Pukul setengah enam, aku sudah mengomando notulen untuk menyampaikan kesimpulan, Kaizan meminta rapat diperpanjang untuk membahas hal lain, tapi aku minta maaf karena tidak bisa. Akhirnya dapat disepakati dilanjut besok. "Biv, kamu pengen mengecek progres surat di bagian kepegawaian?" Rinda menarik tanganku, kamu sudah hendak masuk lift, tapi tidak jadi "Emang bisa?" Tanyaku menanggapinya. Rinda mengangguk. Rinda membawaku memasuki ruang kerja staf, diantara jajan meja dan kursi dengan komputer di depannya. Semua kosong, ada beberapa orang yang memang lembur. Menurut Rindani, salah satu staff kepegawaian hari ini lembur. Aku beruntung Rindani cukup mengenalnya jadi aku tak lerlu berbasa-basi. "Aku ingin melihat progres surat pengunduran diriku." Kataku pada seorang laki-laki, dia sedang serius dengan layar laptopnya dan sepertinya sedang malas diganggu. "Atas nama siapa, Kak?" Tanyanya sopan, padahal dia buka customer service. Aku lalu menyebutkan namaku, dia mengecek dokumen masuk, segala persuratan, mengecek di file komputer. "Tidak ada surat masuk atas nama Bivisyani." Terangnya, aku ternganga. Lalu suratku dimana? "Kakak menyerahkannya pada siapa?" Tanya laki-laki itu lagi. "Kaizan." Jawabku. "Pak Kaizan kemarin hanya membawa satu surat izin cuti salah seorang staff HRD, dan bukan atas nama Bivisyani." "Apakah Mas tidak salah lihat atau salah cari?" Tanyaku memastikan, laki-laki itu menggeleng. "Coba Mbak tanya lagi kepada Bapak Kaizan, mungkin dia lupa." Aku menggeleng, Kaizan tidak mungkin lupa. Dia sangat ingat, bahkan dia yang memberitahuku kalau suratku belum disetujui dan aku harus tetap ke kantor. Tapi mengapa? "Maaf Mbak, apa ada yang lain yang bisa saya bantu?" Laki-laki staff kepegawaian itu membuyarkan lamunanku, aku segera menggeleng. "Ah, tidak Mas." Jawabku, lalu segera berjalan menjauh dari ruang kepegawaian. "Jadi suratku dimana" Kataku bertanya lada diri sendiri. Sekarang kami sudah di dalam mobil dan siap melaju. "Apakah masih dibawa Kaizan?" Kata Rindani, aku menolehnya. Iya, bisa saja itu terjadi, tapi untuk apa? Mengapa dia selalu membuatku salah paham? "Tapi mengapa, Rin? Buat apa?" "Mungkinkah dia masih berat melepaskan kamu dari tim kita?" Rindani menjawab cepat. Perkataannya sangat menghujam jantungku. Itu yang kupikirkan sedari tadi, Kaizan seolah mempersulit aku untuk resign. Tapi kenapa? Mengapa dia selalu saja membuatku salah paham?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN