Keesokan paginya, Shana terbangun karena mendengar samar-samar suara alarm entah dari ponsel salah satu temannya. Berhubung yang punya ponsel justru masih tertidur pulas, akhirnya Shana lah yang bangkit berdiri dan mencari asal suara alarm itu.
Setelah mematikannya, Shana pun mengambil jaket dan berjalan keluar tenda. Ia ingin melihat keadaan di luar tenda.
Pagi ini, keadaan di luar cukup sepi. Belum banyak yang beraktivitas di luar tenda.
Jadilah Shana memilih kembali masuk ke dalam tendanya. Dan saat Shana sudah berada di dalam tenda, ia melihat Seva sudah terduduk di atas kasur.
Seva bertanya, "Tadi alarm gue bunyi ya, Sha?"
Shana menganggukkan kepala sembari menjawab, "Iya, Sev. Udah gue matiin. Lo emang mau bangun pagi atau gimana?"
Seva mengiakan. Ia pun bangkit berdiri dan bersiap-siap akan keluar tenda. Ia kemudian bertanya, "Gue mau lari pagi, Sha. Lo mau ikut?"
Shana tampak menimbang-nimbang sebentar. Ia sudah lama tidak berolahraga. Sepertinya tak ada salahnya jika ia ikut lari pagi dengan Seva.
"Boleh," putus Shana. Gadis itu pun mengikat rambutnya dan mengenakan sepatu lari. Setelah beres, Shana menyusul Seva yang sudah lebih dulu pemanasan di halaman di depan tenda.
Beberapa saat kemudian, setelah pemanasan dirasa cukup, Shana dan Seva pun memulai lari pagi mereka. Mereka berlari menyusuri pantai. Seva yang sepertinya sudah terbiasa berolahraga tampak biasa-biasa saja, sementara Shana cukup terlihat terengah-engah kelelahan.
"Lo kalau capek udahan aja nggak apa-apa, Sha," kata Seva sembari melambatkan laju larinya.
Shana hanya menganggukkan kepala. Tapi ia masih tak ingin menyerah. Jadi lah, meski dengan susah payah, ia tetap melanjutkan larinya.
***
Sementara di lain tempat, Agatha yang baru terjaga dari tidurnya tampak kebingungan melihat keadaan sekitar. Ia hanya melihat Indi di dalam tenda. Sedangkan Shana dan Seva sudah tidak tampak batang hidungnya.
Agatha mencoba mencari keluar tenda. Namun tetap saja, sejauh mata memandang, ia tak melihat kedua orang itu.
Akhirnya karena khawatir, Agatha membangunkan Indi. Siapa tahu, Indi mengetahui keberadaan Shana dan Seva.
"Gue juga nggak ngerti, Tha," jawab Indi saat Agatha menanyakan keberadaan Shana dan Seva. Ia melanjutkan, "Gue aja baru bangun."
Agatha mengembuskan napas panjang. Ia pun menggumam, "Terus mereka pergi ke mana?"
"Mau gue temenin cari Shana sama Seva?" Indi menawarkan diri.
Agatha tampak berpikir sebentar. Sebenarnya ia sendiri cukup malas keluar tenda. Ia masih ingin berada di dalam tenda dan melanjutkan tidurnya.
Tapi mengingat kejadian aneh di hari kemarin, Agatha jadi takut kalau sobatnya itu kenapa-kenapa. Alhasil, ia pun mengiakan, "Boleh, deh, temenin gue ya."
"Oke," balas Indi. Gadis itu pun ikut bersiap-siap untuk keluar tenda.
Saat keduanya sudah selesai bersiap, keduanya pun mulai melangkah keluar dari tenda. Mereka lantas bergerak mencari-cari di sekitar tenda terlebih dahulu dan memperluas pencarian hingga ke arah aula.
Namun bukannya bertemu Shana dan Seva, mereka justru berpapasan dengan Arthur dan Verrel. Saat ditanya mereka dari mana, keduanya mengatakan bahwa mereka baru saja dari ruang kesehatan.
"Kalian sendiri mau ke mana atau habis dari mana?" Verrel balik bertanya.
Agatha menjawab, "Kami lagi nyari Shana dan Seva. Kalian lihat mereka?"
Verrel dan Arthur kompak menggelengkan kepala. Tapi guratan ekspresi cemas tampak jelas di wajah Arthur.
"Lagi lari pagi kali. Tadi gue lihat banyak peserta yang olahraga di pinggir pantai." Hea mendadak nimbrung ke dalam pembicaraan. Setelah itu, ia meminta waktu untuk bicara dengan Arthur.
Sebelum berbalik pergi mengikuti Hea, Arthur berpesan pada Agatha untuk tetap mencari Shana dan memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.
"Gue ikut cari Shana sama Seva aja, ya? Males mau balik lagi ke tenda," ujar Verrel yang tentunya langsung diiyakan oleh Agatha.
Seperti yang dikatakan Hea sebelumnya, banyak peserta yang berolahraga di tepi pantai. Mereka mencoba peruntungan dengan mencari Shana dan Seva di sana.
Setibanya mereka di tempat itu, tetap saja Shana dan Seva tidak diketemukan. Sampai-sampai Agatha merasa kesal karena ponsel tidak berfungsi di sana dan mereka tidak bisa saling bertukar pesan dan berkabar.
"Kita tunggu dulu aja gimana?" saran Verrel, "duduk-duduk di sana dulu tuh. Siapa tahu mereka masih lari dan bentar lagi balik ke sini."
"Boleh tuh, gue setuju," balas Indi.
Jadi lah, Agatha menurut saja. Ia ikut duduk-duduk di tempat yang Verrel maksud.
Beberapa saat ditunggu, akhirnya Shana dan Seva terlihat juga. Kedua gadis itu tampaknya memang baru saja lari pagi.
"Woi, Sha," panggil Agatha sambil melambaikan tangannya ke arah Shana.
Shana juga balas melambaikan tangan. Ia dan Seva pun menghampiri Agatha, Verrel, dan Indi.
Dengan polosnya, Shana kemudian bertanya, "Kalian ngapain di sini?"
Agatha mendesis sambil mengangkat tangannya, siap memukul Shana tapi tak jadi karena Shana berhasil menghindar. "Gue sama mereka nyariin elo tau."
Shana dan Seva saling bertukar pandang. Lantas keduanya terkekeh.
"Malah ketawa," kesal Agatha, "lo pikir gue bercanda apa?
Shana pun berhenti tertawa dan berujar, "Sorry, bukan gitu maksud gue. Lagian ngapain sih kalian sampai nyariin kami?"
"Soalnya kalian ngilang gitu aja." Kali ini, Indi yang bicara. "Kami cari-cari kalian dan nggak kunjung ketemu."
"Iya, maaf-maaf," kata Seva.
"By the way, sarapan masih lama, ya?" tanya Shana mengalihkan topik agar ia dan Seva terhindar dari amukan masa.
Giliran Verrel yang menjawab, "Tadi sih gue lihat-lihat, panitia masih sibuk masak di dapur. Sebentar lagi paling. Mau ke aula aja?"
Shana mengangguk-anggukkan kepala. "Ya udah, kita tunggu di sana."
Akhirnya kelima orang itu berjalan menuju ke aula. Saat berjalan menuju aula dan mereka kembali melewati ruang kesehatan, Agatha bertanya pada Verrel, "Tadi lo sama Arthur ke sini?"
Shana menoleh dan ikut bertanya, "Ngapain?"
"Oh, tadi si Hea nyuruh Arthur buat liat kondisi si cewek yang alergi sama cewek yang semalem gantung diri," jawab Verrel dengan entengnya.
Sontak saja, Agatha langsung menggeplak lengan Verrel. "Enteng banget kalau ngomong."
"Loh, bener, kan?" tanya Verrel tanpa merasa ucapannya salah.
"Ya, bener sih," desis Agatha, "tapi apa nggak apa-apa kalau Seva sama Indi tau soal kejadian semalam? Gue aja nggak cerita-cerita kalau semalam itu ada orang yang gantung diri."
Verrel lantas meringis. Ia berkilah, "Gue kira orang-orang udah tau soal itu. Ternyata belum ya?"
"Dasar," ujar Agatha sambil melayangkan pukulan ringan ke lengan Verrel lagi.
"Aduh-aduh, sakit, Tha," kesal Verrel. Pemuda itu pun berkata, "Kekerasan dalam rumah tangga ini namanya."
Agatha melotot terkejut. "Heh, emang kita udah berumah tangga? Ngaco aja!"
"Lah emang lo nggak mau berumah tangga sama gue?" Verrel balik bertanya. "Nanti gitu maksudnya."
Mendengar itu, Agatha jadi senyam-senyum tidak jelas. Dan tingkah Agatha yang tidak jelas itu membuat Shana, Seva, dan Indi hanya bisa memandang dengan tatapan ngeri.
"Dah lah, bubar yuk," ujar Shana sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Gadis itu paling malas kalau melihat tingkah Verrel yang memang berbakat jadi buaya dan Agatha yang kadang-kadang mentalnya kurang sehat.
Seva dan Indi tampak terkekeh. Keduanya lantas mengekori Shana untuk melanjutkan langkah mereka menuju ke aula.
Tetapi sebelum sampai di aula, Shana melihat Arthur yang melambaikan tangan ke arah mereka. Gadis itu pun memberitahu teman-temannya.
"Guys, itu Arthur kayanya manggil kita deh. Kalian mau ke aula atau mau ke Arthur?" tanya Shana.
Seva dan Indi tampak ingin ke aula saja. Itu mengingat Seva ingin istirahat setelah lari tadi. Sementara Verrel dan Agatha tentu tak ingin ketinggalan berita. Makanya kedua orang itu ikut menemui Arthur. Akhirnya mereka berlima pun berpencar.
Shana, Agatha, dan Verrel menghampiri Arthur. Tanpa bertele-tele, Shana langsung bertanya setibanya ia di hadapan Arthur, “Habis dari mana, Ar?”
“Hati-hati, lho, Sha,” ucap Agatha sedikit memancing perselisihan, “Hea nempelin Arthur terus, tuh.”
“Emang iya?” Shana mengerutkan keningnya.
Sementara Arthur hanya bisa garuk-garuk kepala. Bingung juga harus membela diri dengan cara apa. Karena biasanya, semakin ia ngotot, maka semakin Shana tidak mempercayainya.
Agatha tertawa terbahak-bahak. Gadis itu pun berujar, “Bercanda kali, ah! Gih, gih, Arthur mau ngomong apa tadi?”
“Ini, tadi gue sama Hea udah bicara soal identitas cewek yang semalam kita selamatkan. Namanya Manda. Teman akrabnya bilang dia baru aja putus sama pacarnya, tepat sebelum berangkat makrab,” jelas Arthur.
“Jadi kesimpulannya apa?” Agatha menaik turunkan alisnya. “Dia berusaha bunuh diri karena frustrasi gitu?”
Arthur mengembuskan napas dengan berat sembari menganggukkan kepala. “Bisa jadi.”
“Jadi itu alasannya semalem dia nangis kejer. Dia kecewa karena rencananya kita gagalin?” Verrel ikutan bicara.
“Kasihan,” gumam Shana. “Seharusnya ada orang yang lebih perhatian ke dia buat ngasih support di saat-saat sulit kaya gini. Kalau dia sampai mikir buat bunuh diri, pasti perasaannya benar-benar kacau. Tapi bener bunuh diri karena kemauan sendiri atau gimana, nih? Jangan-jangan ada orang yang mempengaruhi dia.”
“Itu juga yang masih Hea cari tahu. Dia udah bolak-balik ke ruang kesehatan buat berusaha nanya ke Manda. Tapi sama sekali nggak dapat hasil apa-apa,” balas Arthur.
“Ya iya lah, kan lehernya sakit. Mana bisa jawab, Ar,” celetuk Verrel.
Arthur diam-diam memutar bola mata. Kalau itu sih, ia juga tahu. Ia pun meluruskan lagi maksud ucapannya. “Maksud gue, Hea tanya dan dia udah nyiapin kertas kalau-kalau Manda mau jawab tapi nggak bisa ngomong. Jadi bisa dia tulis aja gitu.”
“Oh, paham-paham.” Verrel berujar sembari meringis.
Agatha pun mengatai Verrel, “Kelihatan kan stupid-nya!”
“Halah, palingan tadi lo juga sempat mikir kaya gue, kan?” Verrel membalas seperti biasa.
Shana yang sudah bosan dengan perdebatan antara Verrel dan Agatha pun memilih menggandeng Arthur dan menjauh dari kedua sobatnya itu. “Bye, guys, gue duluan!”
“Yah, kok ditinggal sih!” protes Agatha.
***
Arthur menurut saja ketika Shana membawanya ke ruang kesehatan. Meski pemuda itu tak tahu apa tujuan Shana pergi ke sana.
“Nggak apa-apa kan kalau gue ke sini?” tanya Shana sebelum masuk ke dalam ruangan itu.
Arthur tampak mengangguk kecil. Ia pun membukakan pintu dan membiarkan Shana masuk.
Di dalam sana, kebetulan hanya ada satu panitia yang tugasnya berada di bagian kesehatan. Ia pun langsung menyapa Arthur, “Hai, Ar, ke sini lagi? Emang belum ada kegiatan?”
“Iya, belum ada,” jawab Arthur singkat. Saat pemuda itu melirik ke arah Shana dan mendapati gadis itu tengah menatap Arthur dengan penuh tanya, Arthur terpaksa memperkenalkan keduanya, “Sha, ini Karenina. Karenina, ini Shana. Nggak apa-apa kan kalau Shana mau lihat-lihat?”
“Oh, iya-iya, silakan,” balas Karenina. Ia kemudian berujar, “Malah kalau kalian nggak keberatan, gue titip ruangan ini sebentar gimana? Gue mau nyusul Susan buat cuci muka sama gosok gigi. Ya bersih-bersih sedikit lah.”
Shana mengiakan dengan senang hati. Tentu saja, itu karena ia akan merasa bebas jika tidak ditunggui oleh pemilik ruangan itu.
Demikian juga dengan Arthur. Ia tak keberatan jika hanya menunggui ruangan itu. Jadi ia tak masalah jika Karenina menitipkan ruangan itu padanya.
Akhirnya, Karenina pun pergi dari sana sembari menenteng daypack-nya. Dengan begitu, tinggallah Shana dan Arthur saja bersama kedua pasien di ruangan itu.
Shana berjalan ke arah Widya. Ia melihat kondisi gadis itu sudah cukup baik. Meski masih ada bekas-bekas kemerahan yang mungkin saja itu adalah efek alergi yang belum hilang sejak kemarin.
“Gimana kondisi kamu sekarang?” tanya Shana dengan hati-hati.
Widya tampak tersenyum kecil. “Udah rada mendingan.”
Shana juga balas tersenyum. Ia lantas bertanya pada Arthur, “Setelah kejadian kemarin, terus Widya makan apa, Ar?”
“Roti,” jawab Arthur, “buat jaga-jaga, siapa tahu ada bahan makanan yang nggak bisa Widya konsumsi lagi.”
“Selain Widya, ada lagi nggak yang juga punya reaksi alergi kalau makan-makanan tertentu?” Shana kembali mengajukan pertanyaan.
Arthur menjawab dengan sabar. Ia tahu kalau Shana memang orangnya sangat mudah penasaran. “Sebenarnya panitia udah bikin daftar soal itu. Dan yah, tentu aja bukan cuma Widya yang punya alergi soal makanan. Baik itu makanan laut, sayur, buah, telur, kacang-kacangan, dan sebagainya. Makanya panitia udah menyingkirkan itu semua dari menu makanan selama makrab ini. Tapi kebetulan, kayanya hanya Widya yang benar-benar punya alergi separah ini. Makanya, kemarin juga ada yang ngeluh kalau dia gatal-gatal setelah makan pagi dan dia sama kaya Widya, punya alergi sama jenis makanan yang berasal dari ikan dan seafood lainnya. Cuma ya syukurnya, reaksi alergi dia nggak separah Widya.”
Shana tampak mengangguk-anggukkan kepala. Ia pun kembali bicara pada Widya, “Kamu nggak merasa perlu dirujuk ke rumah sakit?”
“Sebenarnya aku takut kalau alergiku makin parah. Cuma kata Hea, kita susah keluar dari sini karena nggak ada perahu,” jawab Widya, “untungnya aku juga udah siapin obat-obatan. Aku rasa itu cukup untuk beberapa waktu ke depan.”
Shana menghela napas. Ia turut prihatin pada keterbatasan yang membuat Widya tidak dapat ditangani oleh tim medis yang benar-benar mengerti keadaannya.
“Semangat ya, Wid. Lekas sembuh,” kata Shana memberikan dukungan.
“Makasih,” balas Widya.
Selanjutnya, Shana beralih ke Manda. Gadis itu tampak memunggungi Shana dan Arthur. Ia meringkuk menghadap ke tembok.
Arthur mencekal lengan Shana. Pemuda itu menggelengkan kepala perlahan, seolah memberi isyarat agar Shana tidak serta merta mendekati Manda yang defensif itu. Arthur berusaha bernegosiasi dengan Shana, “Sha, kita ke sini lagi setelah sarapan nanti, ya? Habis ini kalau Karenina udah balik, kita ke aula dulu.”
Shana berniat keras kepala. “Tapi, Ar, ini—”
“Sha,” sela Arthur dengan nada mohon Arthur. Dan dengan begitu, Shana mengurungkan niatnya untuk tetap ngotot pada keinginannya.
“Oke, fine, nanti aja,” ujarnya sambil bergerak menjauh dari Manda.
***