Setelah berganti pakaian menjadi pakaian renang, Shana dan Agatha kemudian menunggu Arthur dan Verrel untuk datang ke tenda mereka. Sambil menunggu itu, Shana dan Agatha sempat membicarakan ke mana perginya teman satu tenda mereka.
"Iya, mereka kok nggak balik ke sini, sih?" Agatha bertanya-tanya. "Di aula tadi gue juga nggak lihat mereka."
Shana mengangguk sepakat. Dia juga tidak melihat kedua teman setenda mereka di aula. "Apa mereka udah beres makan terus langsung balik ke tenda? Jadi sebelum kita sampai, mereka udah di sini. Sekarang udah pergi lagi."
"Ya, bisa jadi, sih. Cuma rada aneh aja, gue sama sekali nggak lihat mereka," balas Agatha dengan gaya rumpinya.
Baru Shana akan bicara lagi, namun Arthur justru sudah melongok ke dalam tenda. Pemuda itu mengedikkan kepala, memberi isyarat agar Shana dan Agatha segera keluar dari tenda.
"Verrel mana?" teriak Agatha karena yang dia lihat hanyalah Arthur saja.
Shana yang sudah lebih dulu keluar pun menjawab, "Ada, Tha, itu berdiri di sana."
"Oke!" Agatha pun menyusul Shana keluar dari tenda. Berhubung ia mengenakan pakaian yang sangat terbuka, sinar matahari langsung menyengat kulitnya. "Aduh-aduh panas," katanya.
Shana juga merasakan hal yang sama. Akhirnya, ia dan Agatha berlarian menuju ke tempat di mana mereka bisa berendam tanpa kepanasan.
Sementara Arthur dan Verrel tetap berjalan dengan gaya cool mereka. Keduanya membiarkan Shana dan Agatha pergi lebih dulu.
Lima menit kemudian, mereka sudah berada di tempat yang Arthur maksud. Ketiga kawan Arthur tampak memberi tepuk tangan pada Arthur karena pemuda itu tahu bagian-bagian yang oke seperti ini.
"Cuma kebetulan lewat waktu itu. Jadi ingat aja kalau di sini ada spot yang aman buat berenang," ujar Arthur mengundang gelengan-gelengan takjub dari ketiga sobatnya.
Selanjutnya, mereka sudah sibuk menceburkan diri ke air. Mereka berenang di bagian yang cukup dalam dan bermain-main di area yang dangkal.
Saling mencipratkan air pun tak lagi terelakkan. Kejar-kejaran sambil berenang membuat Shana dan Agatha jejeritan. Selain itu, mereka juga bertaruh untuk siapa yang paling lama sanggup menahan napas di dalam air.
"Yang kalah, ambil kelapa muda buat kita-kita!" seru Agatha saat mereka akan kembali bertanding.
Verrel tampak mencibir. "Siapa takut," katanya.
"Halah, tadi elo yang naik pertama, kan?" ucap Arthur dengan sangat jujur.
Verrel meneguk ludahnya. "Iya juga! Ya, tapi nggak apa-apa. Kali ini gue nggak akan kalah."
"Awas tapi kalau curang," ancam Shana dengan gayanya yang dibuat kejam, "nanti hukumannya ditambah."
Verrel mendengkus geli. Ia menepuk dadanya dua kali sambil menyombongkan diri, "Gue bohong? Sorry, Sha, itu nggak ada di kamus cowok macho kaya gue."
"Bacot," tukas Arthur. Ia kemudian bertanya, "Jadi nggak ini lombanya?"
"Jadi-jadi," kata Agatha. Gadis itu kemudian mencolek Shana dan bertanya, "Kurang jatah atau gimana, Sha? Marah-marah mulu nih cowok lo."
"Lah, dari dulu kan emang gitu orangnya," balas Shana sambil mengedikkan bahu acuh tak acuh.
Akhirnya setelah basa-basi yang tak akan ada habisnya kalau Arthur tidak menyela, mereka pun memulai perlombaan itu. Namun baru saja mereka memasukkan kepala ke dalam air, mereka merasakan ada ramai-ramai orang di sekitar mereka.
Alhasil, Verrel yang sebenarnya masih kuat menahan napas tapi tidak kuat menahan rasa penasarannya pun buru-buru naik ke permukaan air. Ia mengusap air yang membanjiri wajahnya agar bisa melihat dengan jelas siapa yang datang.
Shana kemudian menyusul Verrel. Gadis itu sudah tidak kuat berada di dalam air dan memilih menyerah saja.
Barulah, Agatha dan Arthur menyusul keluar dari air. Mereka masih sibuk menyeka air di wajah dan menyibak rambut mereka.
Sementara itu, Shana sudah berbisik-bisik dengan Verrel. Lebih tepatnya, Shana menanyakan siapakah sosok ketiga pemuda yang baru datang itu.
"Gue juga nggak tahu," jawab Verrel kemudian.
"Tapi mereka peserta makrab, kan?" Shana memastikan. Karena cukup bikin was-was kalau ternyata di pulau yang katanya disewa untuk makrab dan dalam posisi dikosongkan itu ternyata berpenghuni selain peserta makrab.
Verrel menganggukkan kepala dengan yakin. "Iya, Sha, peserta makrab ini."
Shana ber-oh-ria. Di belakangnya, Arthur dan Agatha terlihat curi-curi dengar.
"Udahan aja gimana?" tanya Shana mendadak.
Agatha tentu menggelengkan kepala. Hadis itu belum puas bermain-main di sana.
"Ada orang lain. Jadi nggak bisa bebas kaya tadi," keluh Shana.
Verrel menimbrung, "Namanya juga tempat umum, Sha. Otomatis siapa aja bisa pakai."
"Nah, iya, maka dari itu aku mau udahan aja," ujar Shana sembari berjalan semakin ke tepi. "Eh, Rel, lo kan kalah, jangan lupa ambilin kelapa muda."
Melihat Shana yang melipir pergi, Arthur pun mengikutinya. Rupanya Shana menuju ke sun lounger yang memang mereka gunakan untuk meletakkan barang-barang.
"Lho, kok lo udahan juga?" tanya Shana saat Arthur menjatuhkan bokongnya ke sun lounger di sebelahnya.
Arthur hanya menggerakkan alisnya. Benar-benar respons yang sangat kecil. Pemuda itu kemudian merebahkan diri di sana dan menutupi matanya dengan tangan.
Shana hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia pun ikut merebahkan diri. Meski yang ia lakukan kemudian adalah tidak tidur seperti Arthur tetapi justru bermain ponsel.
Bayangkan, Shana sudah tiga hari ini tidak bisa mengakses internet. Di sana benar-benar tak ada sinyal hingga ponselnya itu seolah-olah sedang dalam posisi koma saking tidak ada aktivitas yang bisa dilakukan olehnya.
Shana menghela napas saat ia tak sengaja membuka media sosial dan hasilnya nihil. "Lupa kalau nggak bisa akses," gumamnya sambil menepuk ringan dahinya.
Karena tak tahu juga harus melakukan apa, Shana pun berniat mematikan ponselnya dan ikutan tidur siang seperti Arthur. Karena memang tidur sehabis berenang itu nikmatnya tiada tara.
Namun sayang, rencana Shana digagalkan Agatha. Sobatnya itu berteriak-teriak minta difoto.
"Sumpah, Sha, sekali aja, please!" Agatha memohon dari kejauhan sana.
Shana mendengkus lelah. Gadis itu menggelengkan kepala dan pura-pura pergi tidur saja.
Namun yang namanya Agatha, mana ada kata menyerah di kamusnya? Ia tetap meneriaki Shana dengan suara delapan oktafnya. Sampai-sampai Shana tak bisa lagi untuk pura-pura pergi tidur.
"Satu kali aja!" seru Shana sembari melangkah dengan menghentakkan kaki, tampak tak begitu ikhlas menuruti permintaan Agatha.
Agatha membalas, "Iya, satu aja. Yang bagus tapi."
"Udah buruan. Gue hitung ya," kata Shana tergesa-gesa, "satu, dua, tiga."
Shana melihat hasil jepretannya. Bukan foto yang cukup bagus karena selain menangkap gambar Agatha dan Verrel, ada tiga pemuda yang ikut jadi pemeran figuran di foto itu.
"Bagus, Sha?" tanya Agatha.
Shana mengangguk. Gadis itu berbohong, "Bagus. Eh, itu tolong dong, Verrel disuruh cepetan ambil kelapa mudanya. Haus banget, nih!"
"Siap, Bu Bos," kata Verrel sambil bersiap-siap keluar dari air.
***
Setelah menenggak habis es kelapa muda yang menyegarkan di tengah teriknya matahari, Shana dan Agatha pun pergi ke kamar mandi. Tentu saja, mereka tidak pergi hanya berdua. Ada Arthur dan Verrel yang berperan sebagai pengawal mereka. Karena bagaimana pun, Shana dan Agatha cukup trauma oleh kejadian malam itu.
"Kami juga mau mandi," kata Verrel sambil memutar bola mata saat Agatha meminta Verrel dan Arthur berjaga di depan toilet wanita.
Arthur berdeham. Ia pun buka suara, "Gini aja, kalian mandi, kami juga mandi. Tapi kami janji, sebelum kalian selesai mandi, kami udah stand by lagi di sini. Jadi pas kalian keluar kamar mandi nanti, udah ada kami di sini."
Agatha tampak cemberut. Gadis itu sedikit tak setuju dengan saran Arthur. "Gimana kalau pas kalian mandi terus nggak ada yang jaga di depan sini, ada orang yang macem-macem ke gue sama Shana?"
Shana menarik napas dalam. Kemudian gadis itu mencengkeram bahu Agatha sambil berujar, "Tha, kamar mandi cowok ada di belakang. Aman-aman, deket gini kok! Kalau ada yang mencurigakan, tinggal lo abaikan aja. Jangan dibukain pintu atau gimana."
Agatha mendesah panjang. Setelah menimbang-nimbang, ia pun menganggukkan kepala. Sebelum Verrel dan Arthur berbalik pergi, Agatha berpesan, "Kalian mandinya harus cepetan. Gue mandi cuma sepuluh menit, lho!"
"Halah, lo kalau mandi saking lamanya bisa gue tinggal nyelesain S1 terus lanjut ambil S2." Verrel mencibir.
Agatha melemparkan sandal ke arah Verrel. Namun karena tidak mengenai sasaran, lemparan itu menjadi sia-sia. "Bawa sini," perintah Agatha dengan ketus kepada Verrel.
Shana yang merasa bosa melihat itu pun melipir masuk lebih dulu ke kamar mandi. Sampai-sampai karena sibuk ribut dengan Verrel, Agatha tidak menyadari itu.
Tau-tau saja, Agatha sadar beberapa menit kemudian. Gadis itu buru-buru masuk ke kamar mandi. Sambil membersihkan diri, ia memarahi Shana yang ada di bilik sebelah.
Sementara Shana, samar-samar ia mendengar amukan Agatha. Untung lah, air di kamar mandi mengalir dengan derasnya dan mengurai suara Agatha yang tidak ada tandingannya.
"Sha," teriak Agatha dari kamar mandi sebelah, "lo denger gue nggak, sih?"
Shana memutar bola matanya sambil mengembuskan napas, "Apa sih, Tha? Gue denger kok lo ngomel-ngomel dari tadi."
"Ih, bukan. Gue udah nggak ngomelin lo," jerit Agatha kesal.
Shana menghentikan gerakan menggosok wajahnya, ia pun bertanya, "Terus apa dong?"
"Air yang keluar dari keran air ini kok keruh banget. Mana bau tanah lagi. Lo gini juga?" Agatha tampak ingin menyamakan nasib dengan Shana.
Shana menundukkan kepala. Ia memperhatikan air dari keran yang tertampung di bak mandi. Kemudian, ia menjawab pertanyaan Agatha, "Enggak tuh, bersih banget malah. Seger gini. Gue aja heran, kok bisa ada air tawar sesegar ini padahal kita dikelilingi lautan."
"Anjir, nggak adil banget!" Fiks, mood Agatha sudah berantakan. "Ini kenapa gue kebagian yang kaya gini, sih?"
Melihat Agatha begitu jengkel, Shana jadi penasaran. Gadis itu menyuruh Agatha untuk segera menyelesaikan urusan mandinya.
Karena itu juga, Shana jadi selesai lebih cepat. Ia pun segera keluar kamar mandi dan melipir ke kamar mandi sebelah. "Udah belum? Buruan keluar, keburu airnya berubah bening kalau yang kotor lo habisin semua."
Lima menit kemudian, Agatha keluar dari sana. Gadis itu tampak terburu-buru sampai semua barangnya masih berceceran dan belum ditata.
"Kotor dan keruh kan airnya? Kaya ada lumpur atau tanah gitu," ujar Agathayang berdiri di belakang Shana.
Shana menganggukkan kepala. "Iya, beda banget sama air di kamar mandi gue barusan. Tapi tunggu, deh, ini apa?"
Shana menciduk sesuatu keluar dari air. Itu tampak seperti segumpal tanah lumpur namun ada warna merah yang hampir pudar di sana.
"Airnya amis nggak?" Shana menoleh ke arah Agatha.
Agatha menaikkan sebelah alisnya. Ia justru menyuruh Shana untuk membauinya sendiri. "Lo cium aja coba."
Shana mendesis. Ia pun melemparkan gayung itu kembali ke dalam bak. "Dah lah, kebetulan aja airnya kotor. Eh, itu Arthur sama Verrel udah ke sini."
Perhatian Agatha pun teralihkan. Gadis itu sibuk mengolok-olok Verrel yang mandinya lebih lama dari dirinya.
Sementara Verrel memberi pembelaan, "Tadi tuh gue harus antre dulu ternyata. Makanya lama!"
"Alasan doang," cetus Agatha tak mau percaya.
"Ya udah, terserah lo. Bodo amat mau percaya atau enggak!" kesal Verrel.
Setelah pertengkaran kecil itu, mereka kembali menuju ke tenda masing-masing dan berjanji akan ketemuan lagi setelah tidur dan beristirahat siang.
Sesampainya Shana dan Agatha di tenda mereka, Agatha benar-benar pergi tidur. Sementara Shana sedikit kesulitan memejamkan mata—mungkin karena perutnya terasa lapar—sehingga gadis itu hanya merebahkan diri sembari membaca novel yang sepertinya itu merupakan novel yang dibawa Seva.
Gadis itu keasyikan membaca sampai tak menyadari bahwa ada yang datang ke tendanya.
“Dor!” seru Indi sembari mendorong pelan bahu Shana dari belakang.
Shana berjengit dan memutar tubuhnya, “Kaget, In.”
Indi hanya terkekeh saja. Ia pun duduk di sebelah Shana dan menenggak air mineral dalam botolnya. Setelah puas meredakan dahaga, Indi bertanya, “Seva mana, Sha?”
“Bukannya sejak tadi sama lo?” Shana balik bertanya.
Indi mengerutkan dahinya rapat. “Ha, nggak salah? Gue sejak tadi sama Abang gue, bantu-bantu panitia di dapur aula. Justru waktu gue pamitin tadi, dia bilang mau join sama lo dan Agatha aja.”
“Gimana sih?” Shana sama bingungnya. “Sejak tadi pagi gue nggak lihat dia, lho!”
“Lah, ngilang ke mana itu bocah? Oh, atau dia ada teman lain selain kita, ya? Bisa aja kan dia cabut sama teman-temannya,” ujar Indi berusaha berpikiran positif.
Shana mengangguk-anggukkan kepala, meski sebenarnya ia tidak cukup yakin. Gadis itu sudah didera rasa cemas. “Kalau nanti waktu makan siang dia nggak ada di aula, kita cari dia, ya?” ajak Shana.
Indi setuju. Ia tak keberatan untuk turut mencari Seva nanti, tidak sekarang. "Gue mau tidur dulu sekarang. Kayanya enak banget lihat Agatha tidur siang. Lo juga tidur, Sha. Tadi kan lo bangun pagi buta. Nggak ngantuk apa?"
"Gampang, nanti kalau ngantuk, gue tidur. Sekarang mau lanjut baca dulu." Shana pun kembali ke aktivitas membaca bukunya. Apalagi setelah Indi terlelap, Shana merasa tenang dan bisa membaca tanpa gangguan.
***