bc

Oversize love

book_age18+
3
IKUTI
1K
BACA
possessive
goodgirl
CEO
sweet
humorous
city
friendship
chubby
love at the first sight
addiction
like
intro-logo
Uraian

Ini adalah kisah seorang gadis bernama Anya Lovariani, yang tidak percaya akan cinta terutama untuk gadis dengan kelebihan seperti dirinya. Lebih berat badan,lebih buruk,lebih tidak percaya diri dan sejuta kelebihan lagi yang mengotori otaknya. Menurutnya cinta dan kisah uwu hanya ada di film dan novel romance yang dia baca,kalaupun terjadi di dunia nyata hanya untuk orang yang good looking. Ketika Lingga Wijaya si pemuda tampan dan kaya incaran semua wanita dikampusnya jatuh hati dan merecoki hidupnya atas nama cinta,apakah berhasil meyakinkannya atau malah sebaliknya??

chap-preview
Pratinjau gratis
First day
Aku bergegas memasuki ruang makan dan disana ternyata Ayah, Ibu dan kak Andre sudah duduk manis menunggu ku untuk menikmati sarapan. “Pagi Ayah, Ibu, kakak” sapaku sambil menarik kursi di sebelah kak Andre. “Pagi” balas mereka serempak. “Kompak nih yeeee” aku meledek mereka sembari menyendok nasi goreng buatan ibu. Mereka cuma tersenyum menanggapi ledekanku. “Cieeee....akhirnya kuliah offline juga nih” gantian kak Andre meledekku. “Biasa aja kak, Anya malah lebih suka daring aja di rumah” balasku datar. “Bukannya bagus kamu ke kampus, ketemu teman-teman seumuran. Bersosialisasi itu perlu sayang” ujar Ibu. Aku cuma terdiam menanggapi ucapan Ibu, aku tak tertarik dengan bersosialisasi apalagi bergaul mencari teman seumuran. Masa Smp dan Sma sudah kuhabiskan untuk mencoba hal itu. Yang ada hanyalah trauma karena jadi korban pembullyan teman-temanku. Hingga saat ini aku percaya bahwa hanya orang-orang yang good looking dan good rekening beruntung di sini. Orang sepertiku yang tidak masuk dalam dua kategori itu hanya akan di manfaatkan saja dan terbuang. “Apa yang di katakan Ibu itu benar, cobalah buka dirimu nak. Tidak semua orang itu sama” ucap Ayah. “Iya Ayah” sahutku pendek. Aku tidak ingin membahasnya lagi, lebih baik diam. Ayah dan Ibu tidak akan mengerti begitu pula dengan kak Andre. Mereka tidak sama sepertiku. Ayah, Ibu dan Kak Andre bertubuh tinggi dengan berat ideal dan wajah yang tampan dan cantik. Berbeda dengan diriku, dengan tinggi cuma 160 cm dan berat badan 80 kg. Membuatku terlihat mungil ketika berjalan bersama dengan mereka. Belum lagi bentuk tubuhku yang bulat di balut lipatan lemak dengan pipi tembemku. Karena itulah aku sering malas ikut pertemuan keluarga besar, karena aku selalu jadi bahan omongan para sepupu ataupun om dan tanteku. “Duh Anya makin subur yaaa...” “Itu pipi apa bakpao “ “Pantes masih jomblo ga bisa merawat diri sih” Bla...bla...bla.... Sungguh aku sebal banget mendengarnya, tak cukup di sekolah bahkan keluarga besarpun merundungku. Aku juga ingin kurus dan memiliki badan yang bagus seperti mereka. Pernah aku coba diet ekstrim dengan hanya meminum air putih dan memakan buah dan Sayur saja. Cuma bertahan 3 hari dan akhirnya di rawat di rumah sakit selama seminggu karena asam lambungku kumat. Membuat orang tuaku dan kak Andre sangat khawatir akan keadaanku saat itu.. Sempat juga aku berpikiran buruk bawa aku bukanlah anak kandung Ayah dan Ibu, tapi semua itu terpatahkan dengan warna mataku yang cokelat terang warisan sang ayah yang juga di turunkan ke kakak dan bibir yang tebal warisan dari sang Ibu, jangan lupakan rambut hitam dan tebal yang sudah menjadi ciri khas di keluarga ku. “Adek mau kakak antar?” tanya Kak Andre membuyarkan lamunanku. “Ga usah kak, Anya naik motor aja” sahutku sambil mengunyah suapan nasi goreng terakhirku. Sungguh aku tak ingin merepotkan kak Andre, dia sudah sangat sibuk dengan tugasnya sebagai dokter umum di puskesmas desa. Kak Andre lulusan sarjana kedokteran dan setelah 2 tahun menjalani sebagai koas di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta, akhirnya Kak Andre di tugas kan sebagai dokter umum di puskesmas desa di kota sebelah. Dan tahun ini juga tahun pertamanya menempuh S2 di Universitas Indonesia mengambil spesialis anak. sungguh sangat membanggakan keluarga kecil kami, bisa di bilang kak Andre adalah panutanku. Semangatnya dalam belajar sungguh menginspirasi tapi sayang otakku tidak tertular virus pintarnya. Keluargaku bukanlah keluarga kaya raya tapi kami juga tidak kekurangan. Ayahnya mempunyai toko bangunan yang cukup lengkap di dekat pasar tradisional dan Ibu adalah seorang guru matematika di sebuah sekolah dasar di kota kami. Cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan mebiayai kuliah anak-anaknya. “Baiklah, tapi hati-hati ya jangan ngebut bawa motornya” ucap Kak Andre lagi. Dia sangat menyayangiku karena aku adik satu-satunya yang dia miliki. Yah siapa lagi coba? “Iya bang,pastilah” sahutku sambil memberikan 2 jempol. “Ya sudah, kakak ke rumah sakit dulu” ucap kak Andre seraya menghampiri Ayah dan Ibu lalu mencium tangan mereka dan mengacak rambutku ketika melewati kursiku. “Ih kakak, rambut Anya berantakan” sungutku sambil mencium tangannya. Kak Andre cuma tertawa melihatku memberengut kesal merapikan rambutku dan segera melenggang pergi sambil menenteng tas kerja dan baju dokternya. Tak lama kemudian terdengar bunyi mobilnya keluar dari garasi. “Anya ke kampus dulu ya” ucapku menghampiri Ayah dan Ibu kemudian mencium tangan mereka. “Hati-hati di jalan, jangan lupa makan siang. Ga usah diet-diet lagi” ujar Ibu. “Masih ada uang bensin?” tanya ayah. Duh Ayah siapa sih ini, baik banget! “Iya Ibuku sayang, Anya masih ada uang kok Ayah. Anya pergi dulu” sahutku sambil mengambil tas selempangku dan melangkah menuju si tamtam motor matic hitamku di garasi. Perlahan kukeluarkan si tamtam dari garasi lalu menghidupkan mesin motor matic kesayangan. Kubiarkan menyala sebentar seraya memakai jaket dan helm. Beberapa saat kemudian aku meluncur dengan si tamtam menuju kampusku. Saat ini aku terdaftar sebagai mahasiswi semester 3 di sebuah universitas di Jakarta. Setelah 1,5 tahun belajar daring gara-gara corona tercinta, akhirnya hari ini adalah hari pertamaku untuk kuliah offline alias tatap muka. Semoga saja hari ini berlalu dengan baik harapku dalam hati. Jarak dari rumah ke kampus cuma 30 menit dan bersyukur banget hari ini tidak ada kemacetan di jalan. Setelah memarkir si tamtam dan menyimpan helm dan jaketku dengan rapi di bawah jok, aku bergegas ke aula yang terdapat di dalam gedung kampus. Waktu masih tersisa 10 menit, aku sempatkan pergi ke toilet dan merapikan penampilanku di depan sebuah kaca di atas wastafel. Hari ini aku memakai kemeja berwarna biru langit dengan bawahan celana kulot hitam. Lumayanlah untuk menutupi perut buncitku sedikit. Rambutku yang hitam sepinggang aku sisir dan ku ikat ponytail. Kulit mukaku masih aman ga berminyak, aku cuma memakai pelembab dan sunscreen, sedikit lip balm agar bibir tetap lembab walaupun memakai masker dan sedikit maskara untuk menegaskan bulu mata agar lebih lebat dan lentik. Tak lupa menyemprot parfum di leher dan pergelangan tanganku, aku semprot sedikit di kemejaku juga untuk menghilangkan bau jalanan. Selesai mencuci tangan aku bergegas memasuki ruang aula, mataku berputar mengitari ruangan mencari tempat duduk yang kosong. Untungnya masih banyak tersisa bangku kosong, aku melangkahkan kaki ke bangku di dekat jendela. Ruangan aula pun sudah hampir penuh,bangku di sebelah ku masih kosong. Aku tersenyum kecut, gimana mau bersosialisasi seperti anjuran ayah dan Ibu Kalau ga ada yang mau berkenalan denganku, bahkan ga ada yang mau sekedar duduk di sanpingku. Aku menegakkan badan dan berusaha untuk fokus ke depan aula. Hari ini akan ada sambutan dari rektor dan para dosen menyambut para mahasiswa yang selama ini hanya mereka tahu nama dan wajah dari layar komputer atau ponsel saja. 5 menit sebelum kedatangan rektor, tiba-tiba kursi di sebelah ku berdecit. Sontak Kepalaku menoleh kesamping dan melihat seorang gadis cantik bermata biru dengan rambut cokelat terang sebahu duduk di kursi itu. Dia memakai atasan blouse coklat muda dengan celana jins putih. Make up nya pun terlihat natural walau di tutup dengan masker putih. “Cantik banget bule ini kaya barbie” pikirku. “Hai...gue bisa duduk disini kan?” tanya gadis cantik itu. Aku cuma bisa mengangguk, lagian dia juga sudah duduk duluan di bangku sebelahku. “Thanks yah, nama aku Savanah Riana, panggil aja Sava” ucapnya lagi sambil mengulurkan tangan. Alu jadi gelagapan ternyata si bule bahasa Indonesianya fasih banget, segera ku ulurkan tangan dan menyalami tangan Sava dengan gugup. “Anya Lovina” cicitku. Sial! Kenapa suaraku jadi kaya tikus kejepit perangkap sih?. “Wow such a cool name, di panggil Anya ya” gadis bule itu berceloteh lagi. “I-iya” jawabku seraya tersenyum kecil. “Lovina sounds like a beach name in Bali, isn’t it?” Ujar si bule sambil menatapku, matanya mengerjap sungguh imut banget. “Yeah, my mom was pregnant with me after my parents spent their holiday there” jawabku sambil meringis. Yup nggak sia-sia aku downlod satu aplikasi di ponselku 3 bulan lalu, dari sana aku dapat banyak kenalan bule dan membuatku percaya diri untuk membalas si bule barbie ini in English. Cewek bule itu tertawa mendengar cerita absurdku, memang itulah yang terjadi. Orang tuaku sangat kreatif memberi nama karena pantai itu sangat bersejarah dalam mendapatkanku setelah bersusah payah selama 8 tahun setelah kelahiran kakakku. Mungkin karena itu juga Kak Andre sangat menyayangiku karena dia lah yang paling excited dan terus merengek minta adik dulu. “Hmmm....gue pengen beda manggil lo, gue panggil lova aja yah, kan bagus Sava ama Lova” celoteh gadis itu sambil memegang dagunya. “Oh... terserah lo sih, Lova kedengarannya bagus juga” sahutku sambil tersenyum. Mungkin sudah saat nya aku membuka diri seperti harapan keluargaku. Acara di mulai, sang rektor tiba di ikuti oleh para dosen dan duduk di tempat yang di sediakan di depan aula. “Eh lo ambil jurusan apa?” bisik Sava. “Bisnis management, kalau lo apa?” balasku. “Really? Me too” ujar Sava. “Mantap nih, bisa belajar bareng” ujarnya riang. Aku hanya menganggukkan kepalaku menanggapi celotehan Sava. Aku memandang teman baru di sampingku itu. Sava sosok gadis cantik yang hangat dan periang, menarik perhatian para lelaki di aula ini. Banyak mata mencuri pandang ke arah bangku kami melihat Sava pastinya,mana mungkinlah melihatku. Aku tersenyum miris aku berharap kejadian waktu sekolah menengah dulu tidak terulang disini. Sepanjang sambutan rektor dan para dosen, aku dan si bule barbie juga sibuk berbisik-bisik sambil sesekali fokus ke arah depan aula pura-pura mendengar sambutan yang membosankan. Dari obrolan bisik-bisik itu aku tahu bahwa teman baruku itu pindahan dari Sidney,Australia. Papanya warga negara Australia dan mamanya dari Jakarta. Sebenarnya dia ingin melanjutkan kuliah di Sidney tapi gara-gara corona tak kunjung berakhir dan papanya ternyata di pindah tugaskan di konsulat Jakarta, jadilah mereka sekeluarga pindah ke Jakarta dan dia memutuskan untuk kuliah di universitas ini. Obrolan kita terputus dengan riuh tepuk tangan menggema di aula, tenyata acara sudah selesai dan tiba waktu makan siang. Mereka di persilahkan untuk beristirahat 1 jam dan kemudian kembali lagi ke aula. “Ke kantin yuk, I am a bit hungry. Ga sarapan tadi di rumah” seru Sava sambil mengambil tasnya. “Yeah sure” balasku dan berdiri mengikuti Sava menuju kantin yang terletak di belakang tak jauh dari aula. “Mau makan apa” tanya Sava sambil memandangi kantin. Kantin ini cukup besar terdapat berbagai makanan dan minuman yang di jual berderet rapi, tempatnya terbuka dan terdapat banyak meja dan bangku untuk para mahasiswa yang kelaparan. Suasana kantin cukup rame tapi masih terdapat beberapa meja kosong . “Bakso aja kali ya” jawabku sambil memperhatikan menu yang tersemat di dinding kantin. “Ok sounds good, minum apa?” tanya Sava lagi. “Es teh deh” balasku sambil mengambil selembar uang berwarna biru. “Eits... the meal is on me today, lo cari tempat duduk aja ya. Gue pesan makan dulu” Sava mengambil dompet dalam tas nya dan menyerahkan tasnya itu ke Anya kemudian berlalu ke penjual bakso. Anya pun segera mencari tempat duduk untuk mereka berdua. Tak lama Sava datang dengan 2 mangkok bakso dan 2 gelas es teh. “Selamat makan” seru Sava semangat setelah meletakkan bakso di meja. “Itada kimasu” sahutku di sambut gelak tawa Sava. Kami pun makan dengan lahap sambil sesekali bersenda gurau. Aku tersenyum senang, semoga ini menjadi awal yang baik doa ku dalam hati. “Emang abis ini acaranya apa lagi” tanya Sava sambil mengunyah baksonya. Pipinya tampak tembem penuh dengan bakso. “Perkenalan dengan mahasiswa lain dan juga pertemuan dengan himpunan” jawabku setelah menyeruput es tehku. Uh segarnya. “Hmmm....hopefully banyak cogan biar semangat kuliahnya” seloroh Sava. “Biasanya para kating yang di himpunan itu cakep loh” imbuhnya lagi. Aku hanya diam saja tak menanggapi Sava, cogan buat apa pikirku. Ga bakal ada yang mau berteman dengan gadis tambun seperti diriku. “Sava thanks yah atas traktirannya, next time the meal is on me” ucapku. “Iya gampang lah itu” sahut Sava. “Udah makannya? Balik ke aula yuk” ajakku. “Kuy lah, cogan here we come” seru Sava heboh. Aku hanya bisa tertawa kecil melihat teman baruku itu dan beranjak keluar kantin menuju ke aula lagi.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

TERNODA

read
198.6K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.5K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.2K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
56.0K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook