Happy Reading . . .
***
Tanpa adanya rasa semangat untuk bekerja di dalam diriku, aku pun melangkah memasuki sebuah restauran cepat saji yang sudah mempekerjakanku selama kurang lebih lima tahun lamanya. Di tempat inilah aku bertugas di belakang meja kasir dan menerima setiap pesanan dari pelanggan. Sudah cukup lama aku bekerja di restauran ini, selain karena aku yang cukup nyaman dengan pekerjaan ini, rasanya akan cukup sulit untuk mempekerjakan seseorang dengan pendidikan yang hanya mencapai sekolah tingkat tinggi seperti diriku ini.
Setelah memasuki ruangan khusus untuk para pegawai dapat menaruh barang-barangnya, aku pun langsung berpapasan dengan salah seorang rekan kerjaku. Dengan kebiasaannya yang suka menyapa orang-orang, ia pun menyapaku dengan senyuman dan wajah ceria yang terpampang di sana.
"Selamat pagi, ada apa dengan wajahmu?"
Kimmy. Satu-satunya rekan kerja yang cukup dekat denganku dari pada dengan yang lain.
"Apakah wajahku sudah menjelaskan semuanya?" Balasku sambil membuka loker milikku untuk menaruh tas, lalu memakai beberapa perlengkapan kostum kerjaku seperti topi, apron, dan tidak lupa mengikat rambut pirangku yang pendek ini.
"Wajahmu sedang tidak bisa di tebak kali ini."
"Itu semua karena pikiranku sedang penuh dan kacau."
"Memangnya ada apa? Tapi tunggu! Biar aku tebak. Pasti Grey lupa mematikan keran air lagi?"
"Sungguh?"
"Pasti bukan. Lalu, pasti pagi ini kau ribut karena ia yang lupa menaruh kunci mobil lagi?"
"Kimmy..." Balasku yang hendak protes karena setiap perkiraannya yang sangat menyimpang itu, namun ia sudah terlebih dahulu menyelaku.
"Aku tau! Pasti Grey melamarmu?"
"Jika Grey melamarku, aku tidak akan memperlihatkan wajah seperti ini, Kimmy!"
"Kau benar. Lalu hal apa yang ingin kau bicarakan?"
"Jam kerja masih sepuluh menit lagi. Ayo, ikut aku sebentar."
Tanpa ingin mendengar banyak pertanyaan yang pasti akan dikeluarkan olehnya itu, aku pun langsung menutup pintu lemari loker milikku lalu menarik tangan Kimmy untuk mengajaknya keluar melalui pintu belakang di dekat dapur. Setelah berada di luar, aku pun mengajak Kimmy untuk sedikit bersembunyi di balik dinding.
"Kau seperti ini membuatku menjadi sedikit takut, Estee."
"Aku hanya ingin bercerita."
"Kenapa tidak di dalam saja? Kenapa harus di sini?"
"Supaya tidak ada yang mendengar, dan bos juga tidak bisa memergoki kita yang bukannya bekerja tetapi justru hanya mengobrol."
"Lalu apa yang ingin kau bicarakan?"
"Tentang Grey."
"Sudah aku duga."
"Ayolah, ini bukan waktunya untuk bergurau."
"Siapa yang ingin mengajakmu bergurau? Aku hanya mengira saja kalau kau pasti akan membicarakan tentang Grey. Memangnya ada apa dengan kekasihmu itu?"
"Beberapa hari yang lalu dia jatuh sakit. Tidak ingin makan, dan sudah tiga hari dia sampai tidak pergi bekerja."
"Sampai seburuk itu?"
"Dia terkena penyakit hati."
"Astaga! Benarkah?"
"Penyakitnya memang belum berbahaya, tetapi mulai dari sekarang aku harus memiliki rencana jika saja penyakit Grey itu menjadi semakin memburuk, dan bisa saja membutuhkan banyak biaya. Aku takut jika penyakit Grey bisa sampai separah itu. Aku tidak siap jika harus kehilangannya."
"Lalu apa yang bisa aku bantu?"
"Mungkin untuk saat ini tidak ada. Tetapi bisakah aku meminta bantuan kepadamu untuk mendapatkan pekerjaan lain?"
"Pekerjaan?"
"Ya, pekerjaan tambahan. Yang bisa menghasilkan uang cukup banyak dalam waktu yang singkat. Aku tahu pekerjaan yang seperti itu sangat sulit untuk ditemukan. Tetapi bisakah kau membantuku untuk mendapatkannya?"
"Hm... kau benar, pekerjaan seperti itu memang sangat sulit untuk didapatkan. Tetapi aku akan mencoba untuk membantumu. Kepada Dave, mungkin dia bisa memberikanmu pekerjaan tambahan. Kau tahu? Terkadang dia memiliki uang yang jumlahnya tidak bisa dibayangkan."
"Astaga! Saudaramu yang pecandu itu?"
"Aku tidak memiliki pilihan lain."
"Bukankah dia habis keluar dari penjara?"
"Estee, aku sudah mengatakan kalau aku ini tidak memiliki pilihan lain, bukan? Aku tidak memiliki banyak teman. Jadi, kemungkinan besar hanya Dave sajalah yang bisa membantumu. Itu juga kalau dia ingin membantu. Kau tahu sendiri sikapnya seperti apa, bukan?"
"Baiklah, tidak masalah. Tidak ada pilihan lain. Apapun itu pekerjaannya, pasti akan aku lakukan. Semua itu untuk Grey."
"Grey sangat beruntung bisa memiliki kekasih seperti dirimu, Estee.”
"Selama ini dia yang sudah berkorban banyak untukku, Kim. Dan ini saatnya bagiku yang harus berkorban untuknya."
"Kau memang benar-benar kekasih yang baik."
"Ayolah, berhenti menyanjungku terus." Balasku dengan tawa kecil.
"Tetapi memang kau yang terbaik."
"Baiklah. Kalau begitu sekarang sebaiknya kita bekerja saja. Sebentar lagi akan dimulai, dan jika bos melihat kita yang masih belum ada di posisi, bisa-bisa dia mengeluarkan amukannya."
"Kau benar."
Tawa kami pun mengiringi aku dan Kimmy yang melangkah kembali memasuki pintu belakang tempat kami kerja ini, dan langsung ke posisi kami masing-masing.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan pekerjaanku pun juga sudah selesai.
"Jangan lupa dengan pesanku, okay?" Ucapku kepada Kimmy disaat kami sedang bersiap-siap untuk pulang di ruangan loker.
"Pesan apa?"
"Pekerjaan tambahan, Kimmy. Astaga!"
"Owhh... yang itu? Baiklah. Nanti akan aku tanyakan kepada Dave."
"Kalau begitu aku pulang duluan. Grey sudah mengirim pesan kalau dia sudah menunggu di depan."
"Baiklah, hati-hati."
"Sampai jumpa, Kim."
Setelah berpamitan dengan Kimmy, aku pun melangkah keluar menuju pintu depan restauran karena Grey biasa memarkirkan mobilnya tepat di depan restauran. Mobil Grey yang sudah sangat aku ketahui itu pun sudah berada di sana, dan tanpa membuang waktu aku langsung masuk ke dalam mobil, dan memberikan sapaan ceria agar ketegangan yang sempat terjadi tadi pagi dapat sedikit mencair.
"Hei, bagaimana harimu? Apakah bosmu sedikit menyebalkan lagi?" Tanyaku sambil menutup pintu mobil, lalu memakai sabuk pengaman.
"Hari ini dia tidak datang ke kantor."
Suara lemah yang aku dengar dari Grey itu langsung membuatku mengalihkan pandangan kepadanya, dan aku pun melihat Grey yang sudah mesandarkan tubuhnya lemah dengan wajah yang juga terlihat cukup pucat.
"Wajahmu pucat, Grey."
"Aku baik-baik saja."
Lagi dan lagi, kalimat yang sangat aku benci itu terus keluar dari mulut Grey. Dan di saat aku tidak sengaja memegang tangannya pun, aku bisa merasakan betapa demamnya tubuh kekasihku itu.
"Grey, kau demam!" Ucapku dengan perasaan yang mulai terasa cemas.
"Aku hanya merasa sedikit demam, tetapi aku lebih baik-baik saja."
"Ck! Aku membencimu yang seperti ini," decakku yang sangat kesal terhadapnya.
"Sudahlah. Apa kau ingin kita terus bertengkar?"
"Habisnya kau yang selalu memudahkan segala sesuatunya, membuatku kesal saja."
"Aku tidak ingin membuatmu merasa cemas karenaku."
"Terserah kau saja!" Balasku yang sudah menyerah akan sikap Grey yang sepertinya tidak ingin aku perhatikan.
"Estee, sebelum kita pulang aku ingin pergi ke apotek terlebih dulu. Beberapa obat dan vitamin dari resep dokter kemarin harus aku tebus dan aku minum."
"Kalau begitu biar aku saja yang menyetir, dan kau bisa beristirahat sejenak sampai kita tiba di apartemen nanti."
"Kau yakin?"
"Ya. Aku tidak mungkin membiarkanmu yang sudah seperti ini, tetapi masih harus menyetir lagi, Grey."
"Baiklah. Maafkan aku yang-"
"Sshh... kau tidak perlu meminta maaf. Biarkan aku saja yang menyetir, okay?"
Setelah itu, aku pun melepas kembali sabuk pengaman yang sudah aku kenakan untuk turun dari mobil dan bertukar posisi dengan Grey.
"Dimana resepnya? Agar nanti aku saja yang menebusnya dan tidak perlu membangunkanmu," tanyaku setelah kami sudah bertukar posisi dengan aku yang berada di balik kemudi.
"Di dalam tasku."
"Baiklah. Kalau begitu kau bisa beristirahat, dan setelah tiba di apartemen nanti aku akan membangunkanmu."
"Terima kasih, Estee."
"Kau tidak perlu. Aku memang sudah seharusnya menjadi perawatmu, bukan?"
"Hati-hati menyetirnya, Sayang."
"Tentu saja, kau tidak perlu khawatir. Aku ini sudah profesional, kau tahu?"
Setelah aku melihat sedikit senyuman yang muncul di bibirnya, aku pun memakai sabuk pengaman dan langsung melajukan mobil dengan perlahan menuju apotek yang letaknya berada di dekat apartemen kami. Sepelan dan sehati-hati mungkin aku membawa mobil. Karena jika aku mengendarai dengan kecepatan di atas empat puluh kilometer per jam, bisa-bisa Grey langsung terbangun dari tidurnya untuk menegurku, karena ia yang terlalu peka jika aku mengendarai mobil di atas kecepatan rata-rata.
Untung saja kondisi jalanan pada malam ini tidak terlalu ramai dan macet. Jadi, aku bisa sedikit tenang untuk mengendarai mobil ini. Setelah kurang lebih selama dua puluh menit aku menyetir, aku pun memberhentikan mobil tepat di depan sebuah supermarket, dimana terdapat apotek di dalamnya. Aku melihat Grey yang sepertinya cukup nyenyak dalam tidurnya. Tidak ingin menimbulkan suara, aku pun sepelan mungkin mematikan mesin mobil.
Lalu aku mencari resep obat di dalam tas milik Grey seperti yang dikatakannya tadi. Setelah mendapatkannya, aku pun juga tidak lupa membawa dompet milikku. Dengan meninggalkan Grey di dalam mobil yang aku kunci dari luar, tidak lupa juga aku menurunkan sedikit kaca di ke-empat pintu agar ia tetap dapat mendapatkan udara walaupun di dalam mobil yang terkunci. Setelah memastikan Grey yang akan baik-baik saja di dalam mobil, aku pun langsung melangkah memasuki supermarket tersebut, lalu menuju bagian apotek di dalamnya.
Melihat dari kejauhan bagian apotek tersebut terlihat kosong dari pelanggan, aku pun langsung mempercepat langkah menuju meja dimana seorang apoteker sedang berjaga di sana. Namun pada saat aku sudah berada di depan meja dan apoteker tersebut sudah menyapaku terlebih dahulu, tiba-tiba saja seorang pria dengan bertubuh tinggi dan cukup besar karena otot langsung berdiri di sampingku untuk menyela diriku dengan tidak mengantri. Aku yang memiliki postur tubuh kecil dan akan semakin tambah kecil jika disandingkan dengannya, membuatku langsung menjauh untuk memberikan ruang.
Lebih baik aku mengalah dari pada harus bersitegang hanya karena antrian saja. Beberapa saat aku menunggu di belakangnya dengan jarak satu meter, tiba-tiba saja ia datang menghampiriku dan langsung meminta hal yang sebenarnya sangatlah tidak pantas untuk seseorang yang saling tidak mengenal dan baru pertama kali bertemu. Dan ditambah lagi pertemuannya pun juga terasa kurang menyenangkan.
"Hei, apakah kau memiliki dua puluh dolar?"
"Dua puluh dolar?" Tanyaku untuk memastikan sekali lagi.
Benarkah ia ingin meminjam uang tunai kepada diriku yang kelihatannya lebih kurang berada dari segi ekonomi dibandingkan dengannya? Maksudku, lihatlah kemeja yang dikenakannya terdapat logo dan motif dari salah satu brand pakaian terkenal dan mahal itu. Apakah ia masih terlihat pantas untuk meminjam uang kepadaku? Yang benar saja?
"Ya. Uang tunai saya kurang, dan mereka sedang tidak bisa menggunakan kartu. Apakah kau bisa meminjamkan? Saya akan langsung menggantinya setelah ini. Anak buah saya ada di luar, dan dia akan datang ke sini untuk memberikanmu dua puluh dolar. Bagaimana?"
Tidak ingin membuat beberapa antrian yang sudah ada di belakangku menjadi terlalu lama dan panjang, aku pun langsung membuka dompet dan mengambil dua puluh dolar di dalamnya.
"Kau bisa menunggu di sini, anak buah saya akan datang setelah ini." Ucapnya setelah aku memberikan dua puluh dolar tersebut kepadanya.
Benarkah, tidak ada kata terima kasih? Ciri khas orang berada yang cukup aku ketahui. Setelah dengan cepat transaksinya selesai, pria itu pun langsung pergi begitu saja. Tidak ingin memikirkan hal tidak penting atas sikapnya yang sangatlah tidak baik itu, aku pun langsung memberikan resep obat yang aku bawa kepada apoteker tersebut.
"Obat seperti ini harus dipersiapkan terlebih dahulu. Paling lama dua sampai tiga puluh menit. Tetapi karena sebentar lagi jam operasional akan berakhir, obatnya pun baru bisa diambil esok hari. Bagaimana?"
"Tidak masalah. Esok saya akan kembali untuk mengambilnya."
"Baiklah, obatnya bisa dibayarkan sekarang agar esok bisa langsung diambil saja."
Aku pun menyelesaikan transaksi pembelian obat milik Grey ini. Setelah itu dengan cepat, aku pun langsung kembali menuju mobil karena tidak ingin meninggalkan Grey yang sudah terlalu lama di dalam mobil yang terkunci dari luar. Dan dua puluh dolar yang aku pinjamkan ke orang asing tadi pun sudah tidak aku pedulikan lagi. Karena aku hanya memikirkan kepentingan Grey, Grey, dan Grey saja. Hanya dia seorang sajalah yang mengisi pikiran dan relung hatiku ini.
***
To be continued . . .