Bab 11

1608 Kata
Ruangan gelap dan sepi hanya terdengar suara rintihan dari gadis kecil kesayangannya, tangisan dan rintih kesakitan meminta tolong untuk di lepaskan. Owen mencari dimana suara itu berasal, dia memanggil nama anaknya tapi tak ada jawaban. "Lily, ini Papa...Lily," teriak Owen Frustasi. Owen berlari menyusuri ruangan dia membuka seluruh ruangan itu, mencari dimana anaknya berada. Dia menangis dia gagal lagi menjadi seorang Papa, tidak tau harus berteriak sekeras apa tapi anaknya tidak kembali menjawabnya. "Lily," lirih Owen. Hanya ada satu ruangan, hanya itu harapannya dia memegang gagang pintu dengan perlahan dan mulai membukanya. Owen melihat Lily dengan penuh darah di sekujur tubuhnya, orang itu terlihat puas dengan penyiksaan yang telah dia lakukan. "Lily!" teriak Owen lalu berlari menghampiri anaknya yang sudah lemas. Lily membuka matanya, perlahan melihat wajah Papa nya dengan mata yang berkaca-kaca. "Pa, pergi," lirih Lily. "Nggak, papa akan temani Lily," ucap Owen. Owen menggenggam tangan anaknya yang sudah dingin, dengan gemetar dia mencoba melepaskan ikat tali di tubuh Lily. Isak tangis terdengar di telinga Owen, dia menangis melihat kondisi anaknya yang seperti ini. "Sudah drama nya?" tanya laki-laki itu. Owen sudah melepas ikatan tali itu, dia memeluk anaknya dia tidak akan membiarkan laki-laki itu menyakiti anaknya kembali. "Kau sudah keterlaluan, sudah cukup kau menjadikan Lily sebagai bahan balas dendam, kau hadapi saja aku! dia bahkan tidak tau masalah kita!" ujar Owen penuh penekanan. "Itu balasan, karena kau sudah mengambil apa yang aku miliki," ucap Laki-laki itu dengan penuh rasa sakit. "Masa lalu biarlah berlalu, sudah banyak rasa sakit yang kau berikan sebagai balasan jangan berlarut kau kembali menorehkan luka pada Lily," ujar Owen. "Kematian mu adalah penyelesaian dari balas dendam ku," ucap laki-laki itu menarik pelatuk yang diarahkan pada Owen. Dengan lemas Lily melindungi Owen, dia memeluk Owen ketika peluru pistol dengan cepat mengarah kepada mereka. Terdengar suara tembakan, Owen terkejut dengan apa yang Lily lakukan, anaknya dengan tubuh lemas mulai jatuh ke lantai, senyumnya manis dengan darah yang mulai mengucur ke seluruh tubuhnya. "Pa, sudahi semuanya. Lily lelah," ucap Lily yang mulai menutup matanya. Owen menangis, dia berteriak memanggil Lily, dia menggendong Lily berlari berharap anaknya bisa di selamatkan saat ini. "Lily, Tolong" teriak Owen Frustasi. *** Owen terbangun dari mimpinya, Vivian sangat khawatir dengan apa yang Owen rasakan saat ini. Sejak adanya wanita itu datang, suaminya selalu bermimpi buruk. "Minum dulu," ucap Vivian. Owen sangat lemas bahkan mengambil gelas yang di berikan istrinya saja hampir tidak bisa, dengan telaten Vivian membantu Owen. "Kau bermimpi itu lagi?" tanya Vivian dan dianggguki oleh Owen. Mimpi yang begitu nyata, Owen semakin berfirasat buruk akan hal itu, dia takut jika semua yang ada di dalam mimpinya menjadi kenyataan. "Ma, aku melihat Lily penuh dengan darah dia menyelamatkan ku dengan mengorbankan dirinya sendiri, apa yang harus kita lakukan?" tanya Owen dengan debaran jantung yang belum bisa di kendalikan. Mata Owen berkaca-kaca mengingat bagaimana mimpi itu terus berputar di kepalanya, segala firasat buruk dan mimpi membuatnya semakin berhati-hati dia tidak ingin salah langkah, tapi berlaku bodoh mengikuti segala rencana mereka adalah hal yang terbaik untuk saat ini. Owen akan semakin mudah jika sudah mengetahui motif apa yang akan mereka ambil. "Maafkan aku Pa, semua salah ku." Vivian menangis di pelukan suaminya. Kesalahan di masa lalu, tidak hanya di latar belakangi akibat persaingan bisnis tapi ada hal lain yang memicu kebencian yang terus membara di hatinya. Owen tidak menyalahkan istrinya, ini juga salahnya semua sudah berlalu dan karena itulah mereka harus menerima semua ini, Tuhan maha pengampun dan dia berharap lelaki itu mau memaafkan segala hal yang sudah di lakukan di masa lalu. "Kita lakukan yang terbaik, demi Lily, Mama yakin Evan dan Arsen juga akan melakukan tugasnya dengan baik, tapi kita harus siap menghadapi kemarahan Evans ketika kita melakukan semua rencana itu dengan diam-diam." Vivian mengatakan hal itu pada Suaminya. Owen keluar kamar, baru jam 5 pagi dia dan Vivian keluar untuk berjalan-jalan di sekitar rumah, setidaknya dia bisa menenangkan pikiran mereka. "Setidaknya Papa lebih tenang dengan keputusan apa yang papa ambil," ucap Owen. "Makasih ya Pa, Mama senang." ujar Vivian. Ketika mereka sedang berjalan-jalan berkeliling rumah, dia melihat Sekar yang berdiri di luar rumah di jam segini, entah apa yang dia lakukan tapi Owen dan Vivian segera menghampirinya. "Ada apa?" tanya Vivian. Sekar segera menyembunyikan ponselnya di balik piyama tidur milik Lily, dia berusaha menenangkan dirinya ketika di panggil oleh mereka. "Em, aku tak bisa tidur, Tan " ujar Sekar. "Masuk lah, nanti kau masuk angin." Owen mengatakan hal itu. Sepertinya sekar kini Owen dan Vivian merasa ada yang tidak beres, semakin hari dia akan segera tau motifnya karena itulah dia harus bersabar mengikuti segala rencana yang akan mereka lakukan. Feeling Owen buruk pada Sekar, entah ada hubungannya dengan lelaki itu atau tidak tapi mereka harus waspada karena orang seperti ini yang datang tiba-tiba merupakan suatu hal yang harus di waspadai. *** Arsen melihat Lily yang masih nyaman dengan selimut hangatnya, dia mencium kening Lily rasa hangat menjalari hatinya. Dia tidak menyangka jika kini mereka sudah menjadi suami istri, Arsen sangat bahagia walau dia harus menyimpan ini sendiri. "Pagi sayang, bangun yuk." Arsen mencoba membangunkan Lily. "Emm," Lily sangat menggemaskan, membuat Arsen tidak sanggup menahan senyumnya. Lily membuatnya jatuh cinta setiap harinya. "Sayang, aku nanti berangkat kerja ya? kamu mau kerja atau ijin lagi?" tanya Arsen yang kini menghadap Lily. "Emm, sayang masih ngantuk," racau Lily. "Menggemaskan sekali, ayo bangun sayang sarapan dulu yuk, Mas ada rapat sayang." Arsen mengatakan hal itu dengan manja. Lily membuka matanya dengan perlahan, dia masih mengantuk karena itulah dia terlalu menggemaskan bagi Arsen. Lily ingin masuk kerja tapi dia akan mengikuti Arsen dia tidak mau di perusahaan sendiri. "Aku ikut kamu ya, aku malas menghadapi mereka, hari ini aku mau bebas dari Mak lampir," ucap Lily lalu mencium bibir Arsen sekilas. "Aku senang jika seperti itu, Sayang kenapa kau tidak memakai cincin yang aku berikan kemarin? kenapa di lepas?" tanya Arsen. "Em, kalau ke kantor nanti keliatan Mas, kau tau sendiri mereka." ujar Lily. Arsen terlihat kecewa, Lily lalu berdiri dan menuju ke depan meja riasnya, dia mengambil kalung polos dan di masukkan cincin itu di sana. "Pasangkan Mas," ucap Lily. Arsen mulai tersenyum kembali, setidaknya Lily menghargainya dan dia juga masih terikat dengan Lily. Suatu saat nanti dia akan mengganti cincinnya dengan lebih bagus lagi. "Nanti aku akan membelikan cincin yang lebih bagus lagi sayang," ujar Arsen. "Kamu sudah sering memberikanku hadiah, aku tidak pernah membelikan kamu," ucap Lily sedih. "Hadirmu sudah menjadi bahagiaku sayang, ayo kita ke bawah sarapan dulu biar nanti tinggal siap-siap. Kita langsung ke tempat rapat aja sayang, ga usah ke kantor." ujar Arsen. "Kau begitu manis," bisik Lily pada Arsen. Pelukan pagi yang menenangkan membuat hari Lily dan Arsen begitu indah, kebahagiaan mereka membuat seseorang di luar sana merasa kesal. Mereka yang iri dengki dan ingin membuat hubungan mereka berantakan. "Cantikku, pasangan hidupku." *** Lily menuju ruang makan, sudah ada Sekar di sana, tempat yang biasanya dia pakai kini Sekar pakai. Tak lama setelah itu Evans yang sudah siap dengan setelan kerjanya pun datang. "Kau, ini tempat Lily. Pindah!" ujar Evans kesal. "Tak Apa, Abang jangan memperpanjang masalah," ucap Lily memegang tangan Evans. "Kau, dia baru di sini sehari sudah mengambil apa yang kamu miliki, jangan terbodohi oleh orang ini," kesal Evans. Vivian datang, dia takut jika ada pertengkaran karena sejak kemarin pun Evans tidak setuju dengan apa yang mereka putuskan. Sejak Awal Evans sangat membenci Sekar, karena itulah Sekar terus berusaha menjaga sikap terlebih di hadapan Evans. "Abang, masih pagi." Vivian memperingati Evans. "Sudah lah, aku berangkat tidak nafsu makan aku melihatnya," ucap Evans lalu keluar setelah mengambil tas dan jas nya. Sekar menangis, Lily menghampiri Sekar dan memeluknya dia menenangkan Sekar dan meminta agar dia tidak memikirkan apa yang Evans katakan. "Duduk saja, tak usah pikirkan apa yang Abang katakan," ucap Lily. "Sudah, ayo sarapan. Papa akan bicara dengan Evans," ucap Owen. Lily duduk di tempat biasa Evans makan, dia bersama dengan Arsen. Perlakuan Lily pada Arsen membuat Sekar Iri, sejak dulu dia tidak pernah memiliki kekasih dan kini melihat mereka seperti ini membuatnya iri dia ingin mendapatkan hal yang sama, Arsen sangat tampan membuatnya berdebar seketika. "Dia siapa?" tanya Sekar. "Ini Arsen, dia kekasihku," ucap Lily. "Dia sangat tampan," puji Sekar tanpa ada malu di depan Lily. Sekar sangat tidak sopan, bagaimanapun hal ini sangat menyebalkan seharusnya dia bisa menjaga sikap karena dia hanya numpang di sini, melihat tingkah Sekar saja sudah membuat Arsen merasa risih. "Pa, hari ini Lily boleh nginap di rumah? Mama sepertinya ingin jalan-jalan sama Lily," ucap Arsen meminta ijin. "Boleh dong, besok juga weekend. Mau jalan-jalan?" tanya Owen. "Sekar boleh ikut?" tanya Sekar tanpa malu. Arsen kesal, dia tidak akan mengijinkan rencananya di ganggu, menyebalkan berpura-pura bersikap baik pada orang yang tidak punya malu seperti Sekar. "Boleh kan, Mas?" tanya Lily. "Tidak, ini khusus keluarga. Mama ga suka," ucap Arsen. "Tapi dia kan udah di sini, bilang aja kalau dia keluarga ku Mas," ujar Lily. "Tidak bisa sayang," ucap Arsen penuh penekanan. "Lily juga belum menjadi keluarga mu," ucap Sekar. "Jaga bicaramu, dia itu kekasihku. Berbeda denganmu," ucap Arsen. "Sudah, Maaf ya Sekar. Lain kali saja kau ikut," ucap Lily. "Tak apa," Ujar Sekar lalu Melanjutkan makannya. Lily menggenggam tangan Arsen yang sudah mengepal di bawah meja, Lily tau Arsen kesal tapi bagaimanapun Lily ingin membalas Budi pada keluarga Sekar, dia tidak ingin membuat Sekar sedih apalagi dia sudah tidak memiliki keluarga saat ini. Lily hanya ingin menganggap Sekar sebagai keluarga, dia merasa bersalah karena membuat Sekar menjalani kehidupan yang berat setelah kehilangan kedua orang tuanya, mungkin jika dia di posisi Sekar dia juga tidak bisa sekuat ini. "Tunggu saat nya tiba, kebahagiaan mu tak akan kekal begitu saja,"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN