Selfish Love

2000 Kata
Happy Reading . . . *** Rasa lelah yang sedang Savannah rasakan setelah begitu larutnya ia menyelesaikan pekerjaannya dan baru pulang dari kantor, membuat wanita itu langsung mengistirahatkan tubuhnya sejenak di sofa ruang tengah sebuah apartemen seorang pria yang sebelumnya sudah ia buat janji untuk ia datangi setelah wanita itu pulang dari kerjanya. Dan kini di saat ia sedang menutup matanya sejenak untuk beristirahat, tiba-tiba saja Savannah merasakan bagian atas tubuhnya yang langsung diangkat dan dibaringkan kembali di atas pangkuan seorang pria yang sudah duduk pada posisi tempat dimana sebelumnya ia terbaring, dan membuat wanita itu langsung membuka matanya dan melihat sosok pria sang pemilik apartemen. Dylan, pria yang menjadi teman istimewanya itu, adalah tempat dimana Savannah biasa mencurahkan segala rasa lelahnya, isi hatinya, keluh kesahnya terhadap sosok yang pria yang sangat ia percaya. "Apa ingin aku buatkan sup?" Ucap Dylan dengan penuh kelembutan sambil semakin menarik tubuh Savannah ke dalam pelukannya. "Aku tidak berselera makan. Pekerjaan ini begitu membunuhku." "Kalau begitu, bagaimana kalau kita keluar dari sana dan melarikan diri sejauh mungkin agar kita bisa memiliki kehidupan baru di tempat yang baru juga?" "Mudah sekali kau berbicara seperti itu tuan menyebalkan." "Hei, aku hanya memberi solusi atau pilihan saja jika kau sudah merasa bosan dengan pekerjaanmu ini." "Tetapi tidak dengan yang seperti itu." "Baiklah, baiklah. Memangnya pekerjaan seperti apa yang bisa sampai membunuh wanita yang aku cintai ini?" "Kedatangan adikmu sebagai pemimpin baru perusahaan, yang tidak lain juga akan menjadi bos baruku." "Tetapi tunggu dulu, kau tidak akan jatuh cinta dengannya, bukan?" "Dylan..." Protes Savannah yang hendak mengeluarkan rasa kesalnya karena gurauan pria itu tidak datang di waktu yang tepat. "Aku bergurau, Savee." "Kau selalu saja seperti itu. Bergurau tidak pada waktu yang tepat." "Tetapi kau justru merasa nyaman denganku di saat aku sedang melakukan hal seperti itu, bukan?" "Terdengar sialan, tetapi kau benar." "Maka dari itu terimalah aku sebagai kekasihmu, maka kau akan memiliki jaminan kebahagiaan di seumur hidupmu." "Oh, ayolah. Aku datang ke sini ingin bercerita kepadamu dan berharap bisa mengurangi beban pikiran yang sedang aku miliki saat ini." "Baiklah, baiklah. Aku sudah biasa dengan yang seperti itu. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, hah?" Balas Dylan sambil mengusap lembut kepala Savannah dengan kasih sayang tulusnya yang diberikan hanya untuk wanita yang dicintainya itu. Tetapi sungguh sangat di sayangkan, Dylan hanya berada dan terjebak di dalam zona pertemanan bersama dengan Savannah yang justru membuat Dylan selalu dibuat salah paham akan setiap pengertian yang selalu diberikan oleh wanita itu. Terkadang Savannah hanya menganggapnya sebagai teman biasa yang masih harus tersadar akan adanya sebuah batas yang masih Savannah pertahanan di antara dirinya dan juga Dylan. Tetapi, ada kalanya juga pada saat wanita itu yang terkadang terlalu bersikap peduli, manja, begitu bergantung pada Dylan sehingga membuat pria itu terkadang selalu salah mengartikan di setiap kondisi yang sedang terjadi di antara mereka. Namun Dylan pun juga tidak bisa berbuat banyak, ia yang begitu mencintai Savannah, sedangkan Savannah yang saat ini hanya sedang berfokus dan memikirkan karirnya saja, membuat Dylan tidak bisa membawa hubungan tersebut untuk bisa berkembang dan lebih maju satu langkah ke depan. Hal yang sangat sulit memang jika salah satu dari pasangan masih ingin bersifat egois. Tetapi bagi Dylan, ia tidak akan pernah berhenti untuk memperjuangkan wanita yang sangat dicintainya itu sampai dirinya dan Savannah bisa sama-sama mencapai kebahagiaan bersama. "Mengenai adikmu yang akan menggantikan posisi Daddy-mu di kantor." "Ya, lalu?" "Esok tidak terasa sudah tiba harinya. Pergantian kepemimpinan itu begitu menyita banyak pekerjaanku, dan yang lebih mirisnya lagi aku belum benar-benar menyelesaikannya sampai sempurna. Aku sangat kesulitan melakukan semua permintaan dan perintah yang diberikan kepadaku." "Hentikan sifat perfeksionismu itu, okay? Di setiap pekerjaan akan menjadi hal yang wajar jika ada sedikit tidak kesempurnaan. Tetapi tidak semuanya seperti itu, di bagianku yang menangani keuangan jika ada yang tidak sempurna aku akan benar-benar terkena masalah besar." "Benar, bukan? Aku tidak ingin seperti itu. Sekalipun aku tidak berada di bagian keuangan, aku tetap ingin memiliki hasil kerja yang sempurna dan sangat memuaskan." "Lalu, kau ingin apa? Tidak membiarkan tubuhmu ini beristirahat dan kau yang ingin menyelesaikan semuanya sampai esok hari? Tidak bisa begitu, Savee. Kau juga harus mementingkan dirimu sendiri. Kesehatan adalah yang terutama. Jika kau sudah sakit, maka kau sendiri yang akan lebih merasa kesulitan. Karena pekerjaanmu itu tidak memiliki sifat yang bisa menunggu." "Lalu aku harus apa?" "Mengistirahatkan tubuhku malam ini, agar esok pagi kau bisa menyelesaikan pekerjaan yang tersisa itu." "Kau selalu memiliki jalan keluar di setiap memiliki masalah. Bisakah aku menjadi dirimu saja?" "Oh, tidak. Aku jamin kau tidak akan pernah menginginkannya." "Kenapa? Setiap orang pasti sangat menginginkan terlahir dari keluarga kaya, memiliki bisnis dimana pun tanah kosong berada, dan masih banyak lagi hal lainnya yang ada pada keluargamu yang sudah sangat memiliki nama besar itu." "Tetapi aku tidak berada di dalamnya. Aku tidak pantas berada di dalam mereka, dan bahkan aku pun juga tidak pantas menyandang nama McCarter di belakangku." Savannah pun sempat terdiam sejenak untuk berpikir. Sesungguhnya, ia sangat ingin bertanya kepada pria itu mengapa ia sampai memiliki hubungan yang sangat renggang dengan keluarganya itu. Sungguh ia begitu ingin mengetahui alasannya, tetapi di sisi lain pun ia juga merasa tidak tega jika harus menanyakan hal seperti itu kepada Dylan. "Hei, ada apa? Wajahmu terlihat seperti ada beban lagi," tanya Dylan sambil membelai wajah Savannah dengan lembut. "Hmm..., bagaimana mengatakannya ya?" "Ya, katakan saja, Savee. Ada apa?" "Tadi pagi, pada saat aku sedang berbicara dengan Daddy-mu. Ia sedikit menyinggung mengenai hubungan di antara kita. Dan bahkan ia pun juga menyuruhku untuk bisa menjaga jarak denganmu. Tetapi aku tidak mengerti mengapa ia lebih peduli denganku yang hanya sebagai asistennya saja, dibandingkan denganmu yang sebagai anaknya. Menurutku, hal seperti itu terasa aneh untuk dicerna." "Sudah tidak biasa lagi baginya yang selalu ingin ikut campur dengan kehidupanku. Padahal, aku tahu ia pun sesungguhnya tidak ingin peduli dengan kehidupanku. Dan sudah sebisa mungkin aku menjauh dari kehidupannya, agar manusia rendahan dan tidak berguna seperti diriku tidak menyentuh kalangan elit seperti dirinya yang tidak pernah memandang kalangan sampah sepertiku." "Hei, Dylan, hentikan! Jangan pernah berbicara lagi seperti itu. Aku tidak suka mendengarnya." "Maaf jika kau harus mendengarnya, Savee. Tetapi sebagai kenyataannya yang memang sudah seperti itu, mau tidak mau maka kau pun juga harus mengetahuinya." "Jika aku boleh mengetahuinya, memang apa yang sudah terjadi hingga kau sampai di perlakuan seperti ini. Tetapi, jika kau tidak ingin menceritakannya tidak masalah. Aku ingin bisa menghargai privasimu." "Apa kau sungguh ingin mendengarkan dan mengetahuinya?" "Jika kau bersedia dan tidak keberatan, dengan senang hati aku akan mendengarkannya. Bukannya karena aku ingin ikut campur ke dalam masalah pribadi keluargamu, hanya saja terkadang aku merasa bingung sehingga aku harus mengetahui kenyataan dan kejelasannya juga yang seperti apa." "Aku mengerti, Savee." "Jadi?" "Mereka mengira akulah yang menjadi penyebab kematian Mommy-ku." "Mengapa seperti itu? Bukankah kau yang merawat Mommy-mu di saat ia yang sedang sakit?" "Itulah. Sejak dulu mereka selalu menyalahkan atas segala hal yang aku lakukan. Baik benar maupun tidak benar, aku selalu saja salah di mata Daddy-ku dan adikku itu." "Pasti ada alasannya, bukan?" "Aku tidak pernah ingin tahu. Dulu ketika aku masih merawat Mommy-ku yang sedang sakit, ialah yang selalu memberikanku pengertian bahwa aku harus selalu bersama dengan mereka. Aku adalah bagian dari mereka, tetapi dengan mereka yang selalu tidak ingin menganggapku, menurutmu apa yang harus aku lakukan? Aku sangat sadar diri akan posisiku di sini yang bukanlah menjadi anak kesayangan. Mereka yang selalu mengasingkanku, membuatku tersadar bahwa aku memanglah tidak diinginkan. Aku tidak peduli apapun itu alasannya mengapa aku menjadi di asingkan. Karena yang hanya aku pikirkan adalah kehidupan yang sendiri ini, tanpa ingin repot memikirkan mereka yang jelas tidak peduli denganku. Aku pun juga tidak pernah mempermasalahkannya untuk memiliki kehidupan sendiri tanpa menyandang nama besar keluarga mereka. Bahkan apakah kau tahu? Jika bukan karena permintaan terakhir Mommy-ku yang ingin aku bekerja di perusahaannya, aku tidak akan ingin bekerja di kantor itu." "Perusahaan itu milik Mommy-mu?" "Perusahaan itu dibangun oleh Mommy dan Daddy-ku. Hanya saja, Mommy-ku tidak ingin terlalu ikut campur ke dalam jalannya perusahaan. Jadi, ia menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada Dad." "Apakah..., kau tidak ingin mencoba untuk memiliki hubungan baik dengan Daddy-mu? Atau mungkin adikmu itu?" "Dia selalu menganggapku seperti sebuah penyakit. Melihat hal seperti itu saja sudah membuatku mengerti bahwa ia tidak ingin berada di dekatku. Dan, adikku adalah anak kesayangannya. Jadi, sifatnya pun juga tidak jauh berbeda dengannya. Bahkan sangat jauh lebih buruk dari sifat Dad." "Dengan kau yang berbicara seperti itu, aku jadi semakin merasa yakin bahwa nanti aku akan bekerja untuk orang yang sangat menyebalkan." "Ya..., mungkin saja." "Seandainya, melakukan hal yang kau bicarakan tadi untuk keluar dari pekerjaan itu dan pindah adalah hal yang mudah, ingin rasanya aku melakukan. Tetapi, aku juga mencintai karirku. Dan itu akan menjadi hal dan pilihan yang juga sangat sulit." "Kehidupan memang memiliki banyak pilihan, bukan?" "Mengapa bukan kau saja yang nanti akan menggantikan posisi Daddy-mu itu?" "Apakah pertanyaanmu itu sejenis gurauan?" "Bukan seperti itu. Hanya saja, rasanya akan menyenangkan jika kau menjadi bosku." "Bos, hah? Bagaimana jika aku menjadi bosmu di atas ranjang saja?" Ucap Dylan sambil mengubah posisinya menjadi menarik tubuh Savannah hingga berada di atas pangkuannya. "Oh, Dylan. Ayolah, pikiranku masih dipenuhi dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya itu." "Jangan memikirkan pekerjaan terus. Pikirkanlah kebahagiaanmu sendiri, dan aku pun bisa memberikannya untukmu sekarang." "Dylan..." Protes Savannah sambil berusaha menjauhkan tubuhnya di saat Dylan mulai mencumbu leher wanita itu. "Apa, Sayang?" "Aku sedang tidak mood." "Tetapi aku sedang mood. Sudah lama sejak kau terakhir kali datang ke apartemenku ini, kita sudah lama tidak melakukannya. Aku sangat merindukanmu." "Merindukanku atau tubuhku?" "Merindukanmu dan juga tubuhmu yang luar biasa sempurna ini." "Sempurna?" "Ya, kau sangat seksi. Aku begitu jatuh cinta dan tergila-gila denganmu." "Tetapi aku sedang sangat lelah." "Baiklah. Lalu apa yang kau inginkan, hah?" "Aku ingin tertidur di dalam pelukanmu," Balas Savannah sambil menidurkan posisi tubuhnya dengan mesandarkan sepenuh dirinya pada tubuh Dylan. "Tetapi, kalau esok hari mungkin aku sudah kembali mood. Dan, aku akan membayarnya esok. Bagaimana?" "Aku sangat setuju." "Aku selalu menyukai wangi tubuhmu yang sehabis mandi ini," ucap Savannah yang sesekali menghirup aroma tubuh Dylan di leher pria itu. "Hei, hentikan sebelum kau menyesal, nona." Balas Dylan yang membuat Savannah terkekeh kecil. "Memangnya kenapa? Aku hanya menyampaikan pujianku saja, kau tahu?" "Tetapi pujianmu itu bisa berefek yang lainnya pada tubuhku ini." "Kau selalu bisa membuatku tertawa di saat aku sedang merasa terbeban dengan pekerjaan yang aku miliki, Dy. Aku ingin kau selalu seperti ini kepadaku. Bisakah?" "Tanpa kau minta pun aku akan melakukannya untukmu, Savee. Aku hanya ingin melihatmu bahagia." "Aku tahu ini terdengar egois. Kau yang mencintaiku, sedangkan aku yang hanya memikirkan karir saja. Aku cukup sadar dengan hal itu, Dy." "Hei, ayolah. Aku tidak terlalu mempermasalahkan mengenai hal itu. Aku ingin menghargai apapun itu yang kau inginkan. Kau memikirkan karir bukan berarti kau memprioritaskannya." "Tetapi kau pun sadar aku lebih memprioritaskan pekerjaanku, bukan?" "Hmm..., ya mungkin. Untuk beberapa orang yang tidak menyukai sifat egois, jika melihatmu mungkin akan menilai seperti itu. Tetapi, bagiku kau tidak seperti itu." "Itu karena kau mencintaiku, kau tahu?" "Memang. Kau tahu cinta itu buta, bukan? Mungkin bagi sebagian orang juga, menjalani hubungan seperti ini terasa hanyalah sebuah omong kosong saja. Tetapi, bagiku hubungan yang sedang kita jalani ini adalah sebuah proses. Proses yang tidak perlu membutuhkan komitmen, seperti hubungan yang sudah resmi. Kau masih merasa tidak nyaman dengan hal itu, bukan?" "Kau banyak mengetahui tentang diriku, Dy." "Dan sekarang kau bisa melihat betapa diriku ini sangat mencintaimu, bukan?" "Kau benar-benar ingin menungguku?" "Sampai kapan pun kau merasa benar-benar siap, aku rela melakukannya hanya untukmu, Savee." "Jika sudah waktunya nanti aku siap. Aku ingin selalu bisa menemanimu yang sendiri ini." "Dan sekarang kau sudah ingin berjanji? Kemajuan yang sangat tidak aku duga." "Hei!" Protes Savannah yang sambil memukul kecil d**a pria itu hingga membuat sang pemilik tertawa karenanya. "Istirahatlah. Esok hari adalah hari besar untukmu. Kau tidak sabar ingin bertemu dengan bos barumu yang menyenangkan itu, bukan?" "Kau sungguh benar-benar sangat menyebalkan," balas Savannah dengan gelengan kepala. *** To be continued . . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN