EPISODE 1: Pertemuan
Nabeela Mauryn terkekeh saat mendengar suara bernada protes yang dilayangkan oleh orang di seberang telfonnya.
“BISA BISANYA KAU PULANG DAN TIDAK MENGABARIKU?!”
“Maaf. Setelah sampai disini, aku harus mencari tempat untuk membuka butik ku sendiri. Jadi aku belum sempat mengabari semua orang.” Sahut perempuan yang lebih akrab dipanggil Mauryn oleh semua keluarga nya itu. Sejauh ini, hanya ada dua orang yang memanggilnya dengan nama Nabeela dan itu adalah Lily serta Joyceline.
“Tunggu. Apa katamu? Semua orang? JANGAN BILANG, KELUARGA MU SENDIRI BELUM TAHU?!”
Mauryn menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara Lily memekik hebat.
“Uh, ya. Aku belum mengabari semua orang. Semua orang, termasuk keluargaku, Lily. Jadi jangan marah. Berkunjunglah nanti saat grand opening butik ku.” Jelas Mauryn sambil tertawa kecil. Perempuan itu duduk di sebuah kursi yang ada di dalam mall dan mengedarkan pandangannya untuk mengamati keadaan di sekitarnya.
Sementara itu, terdengar helaan nafas dari Lily, “Baiklah. Aku akan berkunjung nanti. Dengan Joyceline. Kabari aku dimana tempatnya, okay? Aku juga ingin melihat sahabatku yang lainnya sukses.”
“Jangan bilang begitu, aku malu sendiri mendengarnya.” Sangkal Mauryn saat mendengar pujian yang dilayangkan Lily padanya
“Kenapa? Itu fakta.”
“Oh ya, Nabeela, aku tutup dulu telfonnya ya. Joyceline sedang pemotretan dan sebentar lagi, dia pasti akan memanggilku jika aku menghilang dari sisi nya. Kau tahu betapa Joyceline tidak boleh ditinggalkan sendirian, kan?”
“Iya. Titipkan salamku, ya. Aku juga… harus kembali berkeliling.” Balas Mauryn sambil tersenyum. Terdengar suara riang Lily yang mengatakan semoga sukses sebelum akhirnya panggilan itu berhenti.
Mauryn menghela nafasnya, dia kembali mengedarkan tatapannya sebelum akhirnya kedua netra nya menangkap sesuatu.
Beberapa meter dari tempatnya duduk, ada seorang anak yang tengah menangis. Dress biru yang dipakai anak itu terlihat kotor karena tumpahan es krim.
Dahi Mauryn berkerut samar saat menyadari jika orang orang yang ada di sekitar anak perempuan itu hanya melirik kecil tanpa berniat untuk menghampiri atau menenangkan anak tersebut.
Iba dengan tangisan anak perempuan yang semakin nyaring, Mauryn bangkit dari duduknya. Sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, dia memastikan jika anak perempuan itu adalah anak yang tersesat atau terlepas dari pengawasan orang tua nya.
‘Jika ada yang melihatku seperti ini, aku yakin mereka akan mengira jika aku adalah penculik anak.’ Batin Mauryn dalam hatinya
Saat telah sampai di hadapan sang anak, Mauryn segera merendahkan tubuhnya. Dia berjongkok dan tersenyum tipis untuk menyapa anak perempuan tersebut.
“Hai.” Sapa Mauryn
“Siapa nama mu? Apa kau tersesat? Mana kedua orang tua mu?” tanya nya
“C-clara… Clara tidak tahu ini dimana. Tolong antar Calara pulang…” jawab anak perempuan itu dengan suara seraknya
“Uhm…” gumam Mauryn. Dia meneliti anak perempuan yang ada di hadapannya. Usia nya mungkin baru sekitar 5 atau 6 tahun.
“Clara, apa Clara ingat alamat rumah? Aku bisa mengantarmu. Tapi sebelumnya, aku butuh nomor telfon yang bisa dihubungi dan juga alamat rumah Clara.” Ujar Mauryn dengan perlahan, mencoba memastikan agar ucapannya bisa dicerna oleh anak kecil tersebut
“Rumah Clara besar, ada pohon juga kolam renang nya.” Sahut anak perempuan itu
Mauryn tersenyum kecil, ‘Yah… sudah aku pastikan jawabannya akan seperti itu sih.’
Mauryn bangkit dari posisi nya dan duduk di samping anak perempuan itu. Dia mengeluarkan tissue basah dan mengusap tangan serta dress biru milik anak itu.
“Clara, aku antar ke pusat informasi ya? Kita tunggu orang tua Clara disana. Mau, kan?” ajak Mauryn sambil menyodorkan tangannya pada Clara
Anak perempuan itu mengangguk dan meraih tangan Mauryn, keduanya bergandengan tangan dan berjalan menuju lantai empat, dimana ruang pusat informasi berada.
Sambil menaiki lift, Mauryn mengusap wajah Clara yang basah dengan hati hati.
“Siapa nama lengkap mu? Biar nanti, setelah mendengar pengumuman dari pusat informasi, kedua orang tua mu akan segera datang menjemput.” Tanya Mauryn
“Clara Abigail.” Jawab Clara
Mauryn tersenyum riang, “Nama mu bagus ya. Aku Mauryn. Nabeela Mauryn. Kau boleh memanggilku dengan nama Mauryn atau Nabeela.”
Pintu lift berdenting, membuat Mauryn segera menegakkan tubuhnya dan kembali menggenggam tangan Clara untuk berjalan keluar dari lift dan mengunjungi sebuah ruangan yang terisi penuh oleh beberapa pegawai wanita.
“Ada yang bisa kami bantu, Nona?” sapa salah satu dari mereka
“Aku menemukan anak yang tersesat. Sepertinya terpisah dari kedua orang tua nya. Namanya Clara Abigail. Mohon bantuannya.” Jelas Mauryn
Orang yang tadi bertanya itu mengangguk mengerti, “Kalau begitu, Clara, bisa duduk di belakang sana ya? Biar kami umumkan hal ini terlebih dahulu.” Sahutnya ramah
“Nona bisa kembali melanjutkan aktivitas atau ikut menunggu di sini. Clara bisa Nona percayakan pada kami.” Lanjutnya
Mauryn menggelengkan kepalanya, “Aku akan menunggu sampai orang tua nya datang.” Putusnya
Mauryn melangkah memasuki ruangan tersebut dan duduk di sebuah kursi yang ada disana. Sesekali dia akan mengusap air mata Clara dan merapikan rambut panjang anak itu.
“Clara, jika nanti kedua orang tua mu sudah tiba, kau harus memegang tangan mereka dengan baik agar tidak terpisah lagi seperti tadi.” Ujar Mauryn yang langsung diangguki oleh anak itu. Tubuh Clara masih bergetar pelan, terlihat jelas jika anak itu baru saja menangis dan tengah ketakutan.
“Tunggu disini ya. Aku akan membeli minum di depan. Jangan kemana mana. Okay?”
Saat melihat Clara mengangguk, Mauryn segera bangkit dari duduknya. Dia tersenyum tipis pada perempuan yang tengah mengumumkan keberadaan Clara di ruang informasi sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju sebuah mesin minuman yang ada di depan ruangan pusat informasi.
Saat dirinya tengah menunduk, dan meraih minuman, Mauryn merasakan seseorang lewat dibelakang tubuhnya. Dia refleks memejamkan matanya saat merasakan sekelebat angin berhembus yang diciptakan oleh orang tadi.
Saat dia menegakkan tubuhnya, baru lah dia menyadari jika yang baru saja lewat dibelakang nya adalah orang tua dari Clara.
Dia bisa melihat tubuh kecil Clara dipeluk dengan erat oleh seorang pria yang berpakaian rapi.
“Kenapa Clara ditinggal?” tanya Clara sambil menangis
“Maaf, Clara. Maaf. Tadi ada telfon penting yang masuk. Aku kira, kau sedang bersama dengan Sofie.” Sahut pria yang memeluk Clara itu
Mauryn tersenyum tipis. Tugasnya selesai. Dia menunduk, menatap minuman yang ada di tangannya dan menyerahkan benda itu pada seorang petugas yang berdiri tepat di dekatnya.
“Bisa tolong berikan itu pada Clara?” ringis Mauryn
“Tentu, Nona. Anda akan pergi sekarang?” balas petugas itu
“Iya. Clara sudah dijemput oleh kedua orang tua nya, kan? Aku juga harus kembali melanjutkan kegiatanku.” Sahut Mauryn. Saat dirinya berbalik dan hendak pergi dari ruangan itu, tubuhnya terdorong dan terhempas begitu saja karena dorongan seseorang.
Mauryn memejamkan matanya, menahan sakit sekaligus malu karena dirinya terhempas ke lantai dengan mudahnya.
Namun melihat kejadian itu, seolah tidak merasa bersalah, perempuan yang menabrak nya terus melangkah masuk ke dalam ruangan dan memanggil nama Clara.
“Astaga, Nona!” pekik petugas tadi sambil membantu Mauryn untuk berdiri
“Terkadang mereka seperti itu. Meninggalkan anak mereka karena asik dengan dunia sendiri, kemudian bersikap seperti merasa bersalah saat anak mereka di temukan. Bahkan sampai menabrak orang yang menolong anak mereka seperti ini.” Decak si petugas
Mendengar itu, Mauryn tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya pelan, “Tak apa. Mungkin mereka memang terlalu sibuk dan aku menghalangi jalan.”
Mauryn kembali mengalihkan perhatiannya pada Clara dan kedua orang dewasa yang ada di dekat anak itu. Tadinya, dia tidak terlalu memperhatikan. Apalagi karena pria yang tadi memeluk Clara itu membelakanginya.
Namun dari posisi nya saat ini, Mauryn dibuat tertegun.
Fitur wajah itu… dia mengingatnya.
Pria yang tadi memeluk Clara, adalah pria yang sama dengan yang dulu pernah mengisi hati dan kehidupannya.
Hubungan mereka menggantung begitu saja karena dirinya yang harus menjalani studi di Paris.
Melihat pria itu, dengan seorang perempuan dewasa dan anak kecil yang ada diantara mereka… Mauryn menyimpulkan jika pria itu sudah menikah.
Anak yang tadi ditolong nya, adalah anak dari pria itu.
Hal itu membuat Mauryn tersenyum sendu dan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Titip minumannya ya. Terima kasih atas bantuannya.” Ucap nya pada petugas yang membantunya tadi sambil menunduk kecil. Mauryn segera memutar tubuhnya dan beranjak pergi dari sana.
Entah kenapa, ada rasa sesak yang bersarang di d**a nya.
Dan Mauryn tidak yakin dirinya bisa menghilangkan sesak tersebut dalam waktu singkat jika dirinya masih berada di tempat itu.
“Tunggu!”
Langkahnya terhenti. Mauryn terdiam tanpa menoleh. Jantung nya berdegup kencang saat mendengar suara pria itu.
Suara yang sama sekali tidak pernah berubah.
Hanya saja, kali ini, Mauryn merasa asing.
‘Mauryn, kau gila?! Dia sudah bukan lagi milikmu. Dia sudah memiliki keluarga sendiri. Anaknya bahkan sudah cukup besar. Pertanda jika kehidupan nya bahagia, kan?’ rutuk Mauryn pada dirinya sendiri saat debaran di jantung nya semakin menggila
“Aku belum berterima kasih.” Ujar suara itu
Mauryn menelan ludahnya gugup saat terdengar suara langkah kaki yang berjalan semakin mendekat ke arahnya. Langkahnya perlahan terhuyung, dia menoleh begitu saja saat lengannya disentuh oleh pria itu.
Mauryn merasakan waktu seolah melambat. Dia bersumpah dengan kedua matanya sendiri, jika dirinya… melihat pria itu tertegun.
Saat melihat wajah pria itu, semua ingatan yang selama ini disimpan nya dengan rapi di dalam sebuah ruang khusus di dalam hatinya, perlahan terbuka. Cahaya yang ada di dalam ruangan itu bersinar terang, mengeluarkan kilasan demi kilasan keberasamaan mereka berdua selama bertahun tahun.
Garis wajah pria itu, alis tegas, dan bibir sedikit berisi yang terlihat sama sekali tidak berubah walau sekian tahun sudah berlalu. Dengan mata kepalanya sendiri, Mauryn menyaksikan bagaimana kedua mata yang terlihat tegas itu perlahan melembut.
“…Mauryn?”
Hingga pria itu memanggil namanya, Mauryn tahu… sebagaimana pun dirinya mencoba menyingkirkan perasaan itu, rasa cinta yang sudah terpendam selama beberapa tahun itu kembali bermekaran.
Sudut bibir perempuan itu perlahan terangkat, mengulas sebuah senyuman tipis yang membuat pria itu kembali merasakan hatinya menghangat.
“Long time no see, Adrian.” Ucap Mauryn dengan suara lembutnya
Adrian Naufal, sosok pria yang mengisi kehidupan Mauryn sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Pria yang tak hanya mengisi masa sekolahnya, tapi juga memenuhi dan menemani sembilan puluh persen kehidupannya.
Adrian Naufal, pria yang membuat Mauryn menggantungkan hidup padanya.
Tidak hanya memegang kepercayaan Mauryn, tapi pria itu juga menjadi cinta pertama sang Desainer.