bc

ASTA - The Prince of Hell

book_age16+
214
IKUTI
1K
BACA
adventure
revenge
dark
tragedy
no-couple
bold
magical world
supernatural
kingdom building
weak to strong
like
intro-logo
Uraian

Meskipun memiliki wajah buruk rupa seolah terkena kutukan, sering diejek oleh penduduk sekitar, Asta tak pernah berkecil hati. Ia bahagia hanya dengan memiliki ayahnya, Madhiaz yang memberinya limpahan kasih sayang.

Namun, kehidupan sehari-hari Asta yang damai berakhir ketika ayahnya mengungkapkan sebuah rahasia besar. Tentang asal-usul dirinya yang merupakan keturunan Kaisar dan darah iblis mengalir di tubuhnya, juga tentang ramalan yang mengatakan bahwa dirinya adalah bintang kehancuran yang akan menghancurkan Kekaisaran Lorne dan membunuh seluruh anggota keluarga Kekaisaran.

chap-preview
Pratinjau gratis
1 - Meet A Demon Beast
Pagi itu cukup cerah, burung-burung berkicau saling bersahutan. Meski, sisa-sisa hujan semalam masih meninggalkan jejak basah di tanah. “Asta, bisakah kau carikan kayu bakar?” Madhiaz sedikit berteriak dari dalam rumah. Pemuda yang sedang menjemur pakaian itu segera menyahut, “Baik! Aku akan pergi bersama Kakak Drew!” Pintu kayu rumah itu berdecit ketika dibuka dari dalam. Rumah mereka memang sederhana, tapi cukup nyaman ditinggali untuk berdua. Madhiaz menghasilkan uang dari membuat dan menjual kerajinan dari berbagai macam bahan. Madhiaz berjalan ke arah anak lelakinya. “Benar. Jangan pergi sendirian. Meskipun akhir-akhir ini jarang ada monster dan binatang iblis, kau harus tetap hati-hati di dalam hutan.” “Um!” Asta mengangguk. “Aku akan pergi setelah ini. Tapi, bagaimana dengan toko?” “Ayah akan menutupnya untuk hari ini. Nah, pergilah temui Tuan Muda Drew, biar ayah yang lanjutkan menjemur.” “Tidak, tidak. Biar aku saja. Ayah lanjutkan saja membuat alat-alat itu. Apa Ayah membutuhkan hal lain?” “Kalau begitu, bisakah kau dapatkan satu ekor kelinci? Aku ingin membuat sup kelinci untuk makan malam nanti.” “Baiklah! Sepuluh ekor pun bukan masalah!” sahut Asta jemawa. Madhiaz tertawa karenanya. “Pakailah pakaian hangat. Kalau kau bertemu serigala putih, jangan melukainya,” ucapnya kemudian berlalu begitu saja. Asta hanya terdiam memandangi ayahnya yang kembali ke dalam rumah. Terkadang, Madhiaz bersikap misterius. Atau mengatakan hal yang tidak Asta mengerti seperti tadi. Tetapi, Asta selalu menurutinya tanpa syarat. Ia mempercayainya lebih dari siapa pun. Setelah menyelesaikan jemuran, Asta pergi ke rumah Drew yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Setelah berjalan selama lima belas menit, ia sampai di rumah paling besar dan megah dari semua rumah di Desa Weyne. Drew adalah putra bungsu Kepala Desa sekaligus penguasa wilayah. Keluarganya cukup terpandang karena merupakan pemimpin yang adil dan warga pun menyukainya. Keluarga Drew juga cukup memiliki banyak usaha dan tanah. Meski begitu, Drew tidak pernah mengejek wajah Asta dan selalu berpihak padanya. Bahkan, dia yang usianya hanya satu tahun di atas Asta, selalu menganggap dan memperlakukan Asta seperti adik kandungnya sendiri. Intinya, dia orang yang sangat baik. Namun, tak seperti Drew dan ayahnya, Nyonya Muela, ibu Drew sangat membenci Asta. Bahkan para pelayan di rumah itu sering menatap rendah atau menatap jijik padanya. Asta memutar bola mata malas ketika orang yang menghampirinya bukan Drew, melainkan ibunya. Sungguh sial sekali dirinya harus berhadapan dengan wanita itu. Muela yang melihat keberadaan Asta, berdecak, “Lagi-lagi, kau! Aku sudah katakan jangan mendekati anakku. Kau itu membawa pengaruh buruk pada Drew. Pergilah. Aku tidak ingin melihat wajah jelekmu di pagi hari seperti ini.” Asta sungguh tak mengerti. Ia tidak pernah berbuat salah padanya. Bahkan kenakalannya selama ini pun karena Drew yang mengajaknya. Apa ia begitu membencinya hanya karena kondisi wajahnya? “Lagi pula saya tidak berniat menemui Nyonya, saya hanya mau bertemu Tuan Muda Drew,” sahut Asta tak acuh. Ia sudah kebal mendengar omongan seperti itu padanya. “Kau—selalu saja berani membalas ucapanku! Hah! Tidak heran, karena kau memang tidak punya ibu. Jadi tidak ada yang mengajarimu sopan santun.” Bruk! Mereka menoleh pada asal suara dan melihat Drew yang baru saja loncat melewati tembok. “Cukup, Ibu.” “Kakak Drew!” seru Asta senang. Seketika Drew mendapat omelan dari sang ibu karena tingkah lakunya. Tapi pemuda itu hanya menganggapnya angin lalu dan menghampiri Asta. “Jangan dengarkan ibuku. Ada apa saudaraku yang tampan ini datang kemari?” “Aku mau mengajakmu ke hutan sekarang. Ayah memintaku mencari kayu bakar dan berburu kelinci. Apa kau punya waktu?” jawab Asta penuh senyum seperti biasa. Drew menaruh dua jari di dagu, berpikir. “Tentu, Tuan Muda ini punya banyak waktu luang untuk adikku yang manis.” “Drew!” Muela terlihat sangat tak senang. “Ibu sudah bilang jangan bergaul dengannya!” Drew hanya menghela napas malas lalu merangkul Asta. “Ayo,” ujarnya mengabaikan Muela sepenuhnya dan pergi begitu saja bersama Asta. Untuk pergi ke hutan, mereka harus kembali melewati rumah Asta. Karenanya, Asta pamit sebentar untuk kembali masuk ke dalam rumah. Ia mengenakan pakaian berlapis dan mengikat rambut hitam panjangnya menggunakan tali pita berwarna merah. Ia juga mengambil busur dan anak panah hadiah ulang tahun ke-10 dari ayahnya. Setelah pamit, Asta berjalan bersama Drew ke arah hutan. Drew memperhatikan penampilan Asta, tampak berpikir keras, kemudian berkata, “Kau memakai pakaian berlapis?” “Ya,” jawab Asta sambil bersenandung. “Kenapa? Apa kau kedinginan?” tanya Drew masih tak mengerti. Musim dingin bahkan masih lama. “Ayah yang menyuruh.” Baiklah, Drew tidak akan bertanya lagi jika jawabannya sudah begitu. Pasalnya, dia sudah tahu betul kalau Asta akan melakukan apa pun yang diperintahkan Madhiaz. Bahkan jika Madhiaz menyuruhnya terjun ke jurang sekalipun, ia yakin Asta akan melakukannya dengan suka rela. Benar-benar kepercayaan yang menakjubkan sekaligus mengerikan. “Hm ... kenapa akhir-akhir ini aku merasa kau selalu memakai pakaian yang sama setiap hari?” tanya Drew sembari menelisik pakaian Asta. “Tidak, tidak. Kau salah. Aku memakai pakaian yang sama selama dua atau tiga hari saja,” ralatnya membenarkan. Drew memutar bola mata karenanya. Asta selalu menangkap poin yang tidak seharusnya. “Terserah apa katamu. Tapi, kenapa? Kau kehabisan baju atau bagaimana?” Asta menggaruk pelipis. “Bagaimana lagi? Kakak lihat, aku semakin tumbuh. Beberapa pakaianku sudah tidak muat. Akhir-akhir ini juga sering hujan. Membuat jemuran tidak kering. Aku hanya punya beberapa helai pakaian saja.” “Begitu, ya?” Drew tampak kembali berpikir. Melihat itu, Asta segera berkata, “Tidak, jangan berikan baju bekas. Aku lebih suka baju baru. Bukankah uang Tuan Muda sangat banyak?” Drew tertawa. Dia sangat suka sifat Asta yang terang-terangan dan tidak pernah sungkan menerima kebaikan orang lain. “Oh, tidak. b******n kecil ini sudah tahu cara memeras uang orang lain.” Asta cengengesan. “Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tapi, aku malas ribut lagi dengan ibumu.” Lagi pula, selama ini Drew juga sudah memberinya banyak hal. “Tidak apa-apa. Jangan pedulikan ibuku. Aku juga minta maaf atas perkataannya tadi.” Asta menggeleng. “Aku tidak peduli juga.” Drew tersenyum dan mengacak-acak rambut Asta sampai mendapat protes dari pria kurus tinggi itu. Sesampainya di hutan, mereka segera berpencar untuk mencari kayu bakar. Lalu bertemu lagi di titik yang sudah mereka tentukan di awal. “Wah, rantingnya basah semua,” ujar Asta setelah berhasil mengumpulkan seikat kayu bakar. Begitu pula dengan Drew. “Benar, hujan semalam sangat deras. Katanya ada badai di daerah lain,” tutur Drew. “Begitu, ya. Kakak Drew, kau mau menunggu atau ikut denganku berburu kelinci?” Drew tampak berpikir, kemudian menjawab, “Aku ikut. Tuan Muda ini tidak suka menunggu.” Asta menyeringai. “Bukankah kau selalu menunggu gadis pujaanmu itu?” ledeknya mulai berjalan. Drew merangkul pundak Asta bersahabat. “Adik, menunggu ini dan itu adalah dua hal yang berbeda. Mengerti?” Asta tertawa. “Menyerahlah. Dia itu sudah di usia menikah. Mana mungkin dia tertarik dengan bocah bau kencur sepertimu!” “Sialan! Aku tidak mau mendengar itu darimu, Bocah bau! Tahun depan aku juga akan menginjak usia dewasa!” “Ya, ya, dua tahun lagi aku juga akan menginjak usia dewasa. Tapi tidak akan ada wanita yang mau denganku, jadi aku tidak peduli,” kata Asta tanpa beban. Dia memang sudah menerima kondisi wajahnya yang bisa dibilang buruk rupa. Dulu, ia memang sering menangis, merengek, mengeluh karena selalu diejek. Wajahnya—di bagian hidung ke dahi—dipenuhi guratan seperti urat yang menonjol. Membuatnya tampak mengerikan. Tak sedikit pula anak-anak ketakutan saat melihatnya. Tetapi, Madhiaz selalu membesarkan hatinya. Bahwa yang terpenting adalah memiliki hati yang baik dan indah. “Kau adalah anak yang paling tampan dan paling indah hatinya. Persis ibumu. Senyumanmu bahkan sangat mirip dengannya.” Itulah yang selalu dikatakan Madhiaz pada Asta. Meski Asta tidak tahu siapa atau bagaimana rupa ibunya, tapi ia percaya kata-kata Madhiaz. “Ayolah, jangan berkata seperti itu. Asta-ku adalah pria tertamp—“ “Ssst!” Asta memotong ocehannya. “Diamlah,” tukasnya lagi. Seekor kelinci tertangkap oleh mata legamnya. Drew pun diam. Asta segera mengambil anak panah dan mulai menarik busur sambil mengintai perlahan. Berusaha tidak menimbulkan suara. Di saat ia kira sudah mengunci target, ia melepaskan anak panah. Set! “Akh! Sial!” Tembakannya meleset. “Tsk, tsk. Kau harus belajar lagi memanah padaku,” ujar Drew sombong. Asta merengut, lalu cepat-cepat mengikuti arah kelinci itu berlari. Drew mengekor santai di belakang. Terlihat tidak tertarik menangkap kelinci. Tanpa mereka sadari, mereka semakin masuk jauh ke dalam hutan. “Astaga!” Asta memekik tiba-tiba, otomatis menghentikan langkah. “Kenapa? Ada apa?” Drew segera mendekat. Lalu melihat apa yang ada di depan mereka. Seekor serigala putih yang tampak terluka dan tak sadarkan diri. “Apa dia mati?” tanya Asta. “Wah! Tangkapan besar! Ayo, panah saja, mungkin dia belum mati! Cepat!” Drew tampak antusias. Tiba-tiba ucapan Madhiaz tadi pagi terlintas di benak Asta. Ia pun menggeleng. “Tidak.” “Apa? Kenapa?” “Ayah menyuruhku untuk tidak membunuhnya.” Drew tampak kebingungan. “Paman tahu kita akan bertemu serigala?” Asta hanya mengedikkan bahu, lantas berjalan mendekati binatang itu. “Hey, Asta, tunggu! Sepertinya dia bukan binatang biasa. Lihat bulu dan ukurannya, tidak normal. Sepertinya dia binatang iblis. Kita bunuh saja.” Memang, ukurannya agak besar untuk ukuran serigala biasa. Bulunya yang berwarna putih pun tampak sangat langka. Meski begitu, Asta merasa membunuhnya bukan ide yang bagus. Entah kenapa ia merasa tertarik pada binatang itu. Asta mengabaikan ocehan Drew dan terus mendekat. Hingga tinggal sejengkal, serigala itu tiba-tiba terbangun dan menggeram ke arahnya. Asta yang kaget, terjatuh. “Asta!” “Grrrr ...!” Binatang itu memiliki mata merah, menatap marah, tapi tampak tak berdaya. Dua kakinya terluka. Bahkan bulunya kotor dan terdapat banyak goresan luka di badannya. “Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu,” Asta mencoba menenangkan. Padahal jantungnya sudah berdebar-debar, takut tiba-tiba diterkam. “Aku tidak percaya manusia.” Seketika Asta terdiam. Lalu tersadar. “Dia membalas ucapanku? Astaga! Ini pertama kalinya aku bertemu binatang iblis yang memiliki kecerdasan dan kesadaran layaknya manusia. Waah! Menakjubkan!” Asta menatapnya penuh minat. “Hey, apakah kau Demonic Wolf? Tingkat berapa? Apa yang kau lakukan di sini? Kau terluka? Apa kau dilukai manusia? Maukah kau ikut denganku?” Serigala putih itu diam. Menatap Asta penuh tanya. Pundak Asta ditepuk, ia menoleh pada Drew yang kini di sebelahnya. “Tenanglah kawan. Dia kebingungan.” “Ah! Maafkan aku. Aku tidak berniat jahat, sungguh! Aku hanya manusia biasa tanpa kekuatan apa pun. Kau bahkan bisa menerkamku saat ini dan aku pasti mati.” “Astaga, Asta!” Drew sudah tak mengerti lagi dengan cara berpikir sahabatnya itu. “Uhh ... maksudku adalah, aku ingin jadi temanmu. Maukah kau berteman denganku?” Serigala itu tampak terkejut, lalu mata merahnya menatap rendah ke bawah, mata itu seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Dia lalu memalingkan wajahnya. “Sudahlah, Asta. Bagaimanapun, dia itu demon beast. Bagaimana kalau dia melukai penduduk nantinya?” Asta merengut. “Dia tidak tampak jahat. Dia juga mengerti ucapan manusia. Dia tidak seperti akan melukai orang lain tanpa sebab.” Drew tidak membalas perkataannya hingga keheningan sempat tercipta. “Namaku Ruhi.” Hening. “Kakak Drew, apa tadi serigala itu yang berbicara? Aku tidak salah dengar, kan?” Asta masih saja terpana. “Benar, benar, kau benar,” jawab Drew jengah. Lalu melirik Ruhi. “Apa kau mau ikut bersama kami?” Ruhi menatap Drew, lalu menatap Asta yang memandanginya Ruhi penuh harap. Ini adalah pertama kalinya ada seseorang yang mengajaknya berteman dan mengatakan bahwa ia tidak berbahaya. “Tapi dia terluka, bukankah akan sulit membawanya?” ujar Asta. Binatang iblis serigala itu lalu berubah wujud menjadi anak manusia setengah binatang. Disebut begitu karena dia masih memiliki telinga dan ekor serigalanya diakibatkan transformasi yang belum sempurna. Rambutnya seputih salju, matanya semerah darah, dan kulitnya putih pucat. Sekali lagi, Asta dibuat tercengang. Demon beast yang memiliki kesadaran dan kecerdasan seperti manusia saja sudah langka, tapi demonic wolf ini bahkan sampai bisa berubah wujud. “Sangat cantik! Menakjubkan! Kau bahkan bisa berubah wujud? Luar biasa! Wah ....” Mulut Asta menganga takjub, lalu teringat sesuatu. “Ah, namamu Ruhi? Aku Asta! Dia Drew, temanku. Senang bertemu denganmu! Maukah kau ikut denganku? Aku juga akan mengobati luka-lukamu.” Ruhi memeluk tubuh telanjangnya. Asta pun segera membuka pakaian luarnya dan memberikannya pada Ruhi. Melihat itu, sekarang Drew tahu kenapa Madhiaz menyuruh Asta memakai pakaian dua lapis. Ia sungguh tak mengerti orang tua itu. “Tubuhmu kecil sekali. Berapa umurmu?” “Sebelas tahun.” “Aku enam belas tahun. Dia tujuh belas,” Asta menunjuk Drew yang hanya diam saja. “Apa kau bisa berjalan?” Ruhi yang memakai pakaian kebesarannya menggeleng. Wah, dia sangat imut! Asta pun membelakanginya. “Naiklah ke punggungku. Aku akan membawamu.” Lama tak ada respons, Asta pun menoleh dan kaget mendapati Ruhi yang menangis tanpa suara. Ia menatap Drew yang sama kagetnya. “H-hey, kenapa kau menangis? Apa kau kesakitan? Apa dia menyakitimu?” tunjuknya pada Drew. “Hey!” Drew berseru tak terima. “Aku tidak melakukan apa-apa, oke?” Ruhi menggeleng, menghapus air matanya. “Maaf.” Hanya itu yang dia ucapkan. Asta tahu Ruhi menyimpan sesuatu. Dan belum ingin membaginya dengan siapa pun. Karena itu ia tidak bertanya lagi. Mungkin, nanti, jika Ruhi sudah percaya padanya, dia akan mengatakannya. Akhirnya mereka berjalan pulang dengan Ruhi di gendongan Asta. Ruhi terus menyurukkan kepalanya ke leher Asta. “He-hei, berhenti melakukan itu, oke? Itu sangat geli.” “Asta wangi,” ucap Ruhi. “Huh? Aku? Wangi?” Asta mengendus tubuhnya sendiri tapi tidak mencium bau apa-apa selain bau keringat. Ia menoleh pada Drew. “Apa aku wangi?” Drew ikut mengendus lalu berkata, “Ya. Wangi kotoran.” “Hei!” “Hahaha! Aku tidak mencium bau apa-apa.” “Wangi apa yang kau maksud?” tanyanya pada Ruhi namun tak mendapat jawaban karena makhluk itu tertidur. Asta tersenyum. Dia pasti kelelahan. Aku penasaran hal apa yang telah dilewatinya hingga memiliki tatapan seperti itu? “Hey, bagaimana dengan kayu bakarnya?” tanya Drew mengingatkan Asta pada tujuan awal mereka datang ke hutan. “Kita juga tidak mendapat kelinci.” “Uhh ... baiklah. Aku mengandalkanmu, Kakak Drew.” “Apa?! Dasar kau b******n kecil!” Asta tertawa. “Ayolah, aku tahu Kakak Dew kuat. Kalau soal kelinci, tidak masalah, Ayah pasti mengerti.” Ya, Ayah pasti mengerti. Karena sepertinya tujuannya memintaku mencari kelinci adalah agar aku bertemu dengan binatang iblis serigala ini.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Rebirth of The Queen

read
3.7K
bc

Marriage Aggreement

read
86.9K
bc

Rise from the Darkness

read
8.5K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
639.9K
bc

FATE ; Rebirth of the princess

read
36.0K
bc

Life of An (Completed)

read
1.1M
bc

Scandal Para Ipar

read
707.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook