bc

Mas Darsono

book_age0+
5.0K
IKUTI
44.2K
BACA
like
intro-logo
Uraian

Seruni Anjani terus berusaha menghindar dari acara perjodohan yang diciptakan kedua orang tuanya, hingga saat Seruni lelah menghadapinya Seruni harus menerima kenyataan bahwa dirinya, seorang perempuan mandiri dan independen harus terima dijodohkan dengan seorang Mas-Mas yang berpikiran kolot zaman dulu.

"Yang bener aja Bu, pokoknya Seruni gak mau dinikahin sama Mas-Mas!!" jerit Seruni histeris di depan Ayah dan Ibunya. "Maaf sayang kali ini tak ada penolakan!" tegas Ayah Seruni.

Maka inilah kisah Seruni tentang kehidupannya.

chap-preview
Pratinjau gratis
BAGIAN SATU
Kenalin nama aku Seruni Anjani, aku seorang mahasiswi manajemen tahun terakhir. Sekarang aku sedang pusing-pusingnya menyusun skripsi di sana-sini, membuat janji dengan dosen yang entah kenapa sekarang kesibukannya menjadi berkali-kali lipat. Lebih parahnya lagi, di sela-sela kesibukanku ini kedua orang tuaku seperti tak perduli keadaan anaknya ini. Bahkan, mereka merecokiku dengan urusan jodoh, umurku baru saja 22 tahun bulan kemarin dan sudah dikejar deadline nikah. Masih banyak impianku yang belum tercapai, aku masih ingin bekerja menjadi seorang manajer dengan gaji tinggi, bukannya menikah muda. Sebelum-sebelumnya aku masih bisa menghindari acara-acara perjodohan tak jelas ini. Namun, sepertinya Bapak dan Ibu sudah menemukan kelemahanku saat ini. "Terserah, kamu pilih mau naik bus setiap hari atau menikah dengan pilihan Bapak dan Ibu?" aku shock mendengar pilihan yang Bapak berikan, itu artinya mobilku sebagai alat transportasi yang paling setia mengantarku ke kampus akan disita. "Bapak kok tega sih? Aku sekarangkan lagi nyusun skripsi Pak," rengekku kepada Bapak yang tak bergeming pada posisinya, duduk anteng di atas sofa kegemarannya. Aku membayangkan akan jadi apa diriku jika harus bolak-balik kampus menggunakan bus, kalau sekarang dalam jam kuliah biasa aku tak masalah dengan bus, tapi ini aku lagi SKRIPSI loh ya. "Bu ..." aku beralih menatap Ibu meminta pertolongan beliau namun, apadaya Ibu sama saja dengan Bapak. Kali ini Ibu berada di kubu Bapak. "Bu Pak, Seruni ini masih remaja. Masa sudah mau dinikahin sih," aku mencoba membujuk mereka untuk membuka hati. Aku memasang tampang semelas mungkin di depan Bapak dan Ibu, yang ada bukan rasa kasihan dan iba justru kata-kata sindiran dari Ibu yang aku terima, "remaja? Sadar dirilah Ndok." "Dicoba dulu aja kenapa? Nak Darsono anaknya sopan loh," promosi Bapak kepadaku sambil menatap aku dengan pandangan menusuk. Tunggu, tadi Bapak bilang siapa? Darsono? Astaga mampus aja! Itu orang pasti Mas-Mas atau mungkin Om-Om yang lebih parah lagi bisa saja Mbah-Mbah. "Darsono? Aduh Pak, denger namanya aja Seruni langsung punya firasat buruk!" raungku dengan muka melas dan bibir manyun, masih berusaha untuk menggoyahkan keputusan Bapak dan Ibu. "Lah, emang sejak kapan situ berpikiran postif?" sindir Ibu dengan seenaknya, 'memangnya Ibu kira selama ini aku mikir jorok apa?' gerutuku di dalam hati. "Lusa Nak Darsono datang dari Klaten, jadi kamu harus ikut Bapak dan Ibu makan malam dengan keluarganya!" titah Bapak dengan suaranya yang membuatku merinding disko. Klaten? Sudah pasti orangnya kolot dan berfikiran zaman dulu ini. "Pak Bu, masa tega sih anaknya dinikahin sama Mas-Mas?" aku kembali memelas dan duduk memeluk kaki Bapak seperti anak kecil yang ingin dibelikan es krim. "Jadi kamu lebih milih mobil kamu Bapak sita?" Aku kalang kabut begitu melihat Bapak mengacungkan kunci dengan gantungan daun maple di depan wajahku 'Kunci MOBILKU!!' raungku di dalam hati. "Dicoba dulu gimana?" tawar Ibu di samping Bapak sambil tersenyum licik penuh kemenangan. "Dicoba? Yang bener aja Bu, ini tuh pernikahan Bu, bukan permainan petak umpet!" aku duduk pasrah dengan kedua kepala ditundukkan, biasanya gaya anak anjing nangis seperti ini akan meluluhkan hati Bapak dan Ibu. "Bapak dan Ibu gak akan kemakan sama tipuanmu itu Ndok," jawab Ibu santai sambil mengemil kripik pisang. Aku yang mendengar perkataan Ibu langsung lemas tertidur di atas permadani ruang TV rumahku ini. "Oke kali ini Seruni setuju," cicitku pelan seolah aku tidak rela mengeluarkan jawaban seperti itu yang langsung membuat Bapak dan Ibu jingkrak-jingkrak tidak karuan. Aku berguling-guling di atas ranjang di dalam kamarku dengan gelisah, "apa gak ada yang lain? Darsono? Yang bener aja!!" aku mencabik-cabik dengan kasar tisu yang ada di tanganku, membuatnya menjadi serpihan-serpihan kecil tak berbentuk. "Yang sebelum-sebelumnya aja namanya Adrian, Andi, Fikri, Zefri, Indra, Rio, dan entahlah seterusnya siapa. Tau gitu dari kemarin aja aku pilih salah satu," aku masih setia menggerutu tidak jelas. Aku tidak perduli waktu yang menunjukkan pukul satu dini hari. Masa bodohlah Bapak sama Ibu kebangun gegara aku berisik yang buat anaknya jadi beginikan mereka juga. Aku mengacak-acak rambutku kesal. Aku membayangkan seperti apa itu Mas Darsono atau Mbah Darsono?! Aku bergidik ngeri saat terlintas imajinasi tentang penampilan Darsono yang mengenakan blangkon dan baju jawa lengkap dengan kris keramatnya. Kalau si Darsono itu sudah Mbah-Mbah di tambah dia akan membawa tongkat kemana-mana. "Ibu sama Bapak tega banget sih!!" aku meninju bantal guling tak bersalah dengan sekuat tenagaku, mengalihkan kekesalanku dan karena kecapekan sendiri akhirnya aku terbang ke alam mimpi. ∞∞∞  ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ "Itu muka kenapa kayak mayat hidup gitu?" Ike temanku bertanya penasaran saat melihat diriku yang berdiri di depannya dengan muka melas, mata sayu dan bibir mengerucut. Tidak aku jawab pertanyaan Ike, langsung saja aku mengambil posisi duduk tepat di sebelah Ike. Tanpa sadar aku mebentur-benturkan kepalaku ke atas meja dengan kesal. "Astaga Seru!! Jangan bunuh diri di sini!!" teriak Ike heboh, yang membuatku berhenti membentur-benturkan kepalaku adalah panggilan Ike yang memanggil namaku dengan sebutan SERU. Aku menatap garang ke arah Ike yang langsung bungkam. Memang dia kira aku tanda baca apa? "Susah kalau Mak Singa udah bangun," celetukan Ike yang masih dapat kudengar. "Selamat pagi semuanya," sapa seorang dosen muda yang memang baru satu minggu ini menggantikan dosen sebelumnya yang cuti melahirkan, semua mata mahasiswi langsung berbinar melihat dosen muda bernama Aji itu memulai kelasnya. Aku tak tertarik sama sekali dengan dosen yang katanya ganteng pake banget itu, sekarang aku lebih tertarik mencari cara untuk kabur dari kedua orang tuaku. "Seruni Anjani?" tegur seseorang saat aku sedang sibuk ngelamun tentang nasibku ini. "Eh ya?" aku yang kaget langsung berdiri dari tempat dudukku, aku melihat Pak Aji menatap sinis ke arahku. "Keluar sekarang!!" usirnya galak dengan tangannya yang menunjuk ke arah pintu kelas. Berhubung aku memang sedang malas kuliah, karena percuma saja aku kuliah jika pikiranku berkelana gara-gara nama Darsono. Aku mengambil tas dan memasukkan buku yang sempat aku keluarkan tadi lalu berjalan dengan lemas keluar dari kelas. Aku tidak perduli mau nih dosen muda ngasih nilai aku E yang artinya aku harus mengulang di tahun depan, yang lebih aku perdulikan sekarang adalah masa depanku. "Oh my God," gumamku sambil menelungkupkan kepalaku di atas meja kantin. Aku memang sedang berada dikantin, dihadapanku terdapat satu gelas es jeruk yang tinggal setengah. “Tapi, kalau aku benar-benar gagal di kelas Pak Aji artinya ujian skripsiku harus mundur. Mata kuliah ini yang sedari awal belum aku ambil dan harus diulang kembali,” omelku pada diri sendiri, anggaplah aku gila. Aku tidak perduli. "Hei!" seseorang menepuk pundakku kuat, aku sudah tau siapa yang memiliki kebiasaan ini. Dia sahabatku Hesti. "Diam, duduk dan jangan banyak bacot!" hardikku galak. Hesti yang mendengar nada kejam dari cara bicaraku langsung diam dan duduk dengan muka penasaran didepanku, "aku gak tau kalau ada mahasiswi yang dengan suka rela melenggang keluar kelasnya Pak Aji," gumam Hesti yang mungkin pada dirinya sendiri. "Udah aku bilang diam ..." kali ini nada suara yang keluar terdengar sangat frustasi, aku sendiri pun tidak sadar bahwa aku sudah mulai menangis terisak di depan Hesti. "Ada apa sih Ni?" Hesti sudah berpindah duduk di sebelahku sambil mengusap-usap bahuku. Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan, mana bisa aku cerita sama Hesti atau Ike. Bisa-bisa mereka menyebarkan penderitaanku kepada seluruh warga kampus. Aku ingat dulu saat Hesti tahu bahwa aku pernah ngompol di umur 17 tahun, dan besok dengan pedenya aku berjalan sambil diperhatikan anak satu kampus yang mencoba menahan tawanya. Saat aku tanya dengan Hesti dan dengan enaknya dia jawab "iya Ni, kemarin aku keceplosan cerita sama Rahman anak FKIP Bahasa." "Udah sono jangan ganggu aku dulu," usirku kepada Hesti sambil melambai-lambaikan tanganku mengusirnya pergi. Hesti yang tahu diri langsung melenggang pergi begitu saja meninggalkan aku sendirian. Kuseruput es jeruk yang tinggal setengah itu sampai licin tandas, aku gigitin sedotannya hingga ujungnya sudah tak berbentuk seperti sedotan. "Kalau lapar mending gigit mintz dari pada gigit sedotan," komentar Ike yang sudah keluar dari kelas Pak Aji. "Gak lucu tau gak lucu," saking frustasinya aku kembali mengantuk-antukkan kepalaku di atas meja kantin dengan lebih bersemangat, benjol-benjol deh. "Kalau emang gak lucu gak usah ketawa sampai ngantuk-ngantuk kepala juga kali," karena geram mendengar ocehan tak bermutu dari Ike, aku layangkan satu lemparan maut sepatu terbang kearah Ike. "Yes kena!!" teriakku girang melihat Ike yang cemberut karena kepalanya berhasil jadi sasaran empuk sepatuku. "Sadis banget sih, sana dipanggil Pak Aji ke ruangannya," info Ike sambil mengelus-elus kepalanya yang kena lempar tadi. Setelah memasang kembali sepatuku, aku pergi melenggang dengan gaya menyeret kaki menuju ruangan dosen. Saat aku masuk ke dalam ruangan dosen, Pak Aji sudah duduk di mejanya. "Jadi apa hukuman saya?" tanyaku to the point, hari ini mood-ku benar-benar pada titik yang sangat rendah. "Baru kali ini saya ketemu sama murid yang tidak takut dihukum." "Buruan deh Pak!" kataku sengit, emang aku pikirin kalau hukumanku nambah berat? Sekaliankan mumpung belum dihukum. ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ ∞∞∞ "Duh anak Ibu yang cantik udah pulang," sambut Ibu yang lagi menata makan siang di atas meja makan saat aku akan menaiki tangga menuju kamar. "Bohong banget, udah tau anaknya lagi jelek dan kumel gini dibilang cantik," gerutuku sepanjang jalan menuju kamarku. "Kenapa semua orang pada nyebelin sih arrgghhh!" teriakku sambil meremas-remas boneka beruang kesayanganku.  

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Perfect Marriage Partner

read
821.1K
bc

Jodoh Terbaik

read
183.1K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Stuck With You

read
75.7K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
77.8K
bc

ISTRI SATU JUTA DOLAR

read
438.0K
bc

Undesirable Baby 2 : With You

read
168.2K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook