Aku masih terduduk linglung di atas tempat tidur, alarm milikku sudah mulai berisik sejak 5 menit yang lalu. Memperingatkan diriku untuk segera bangun dan melakukan subuh, aku baru tidur selama 2 jam. Aku yakin mataku pasti sudah bengkak dengan hidung merah. Kondisiku sekarang pasti sangat mengerikan.
Setelah sholat subuh aku merapikan diri bersiap untuk kabur kemana saja, aku bosan di rumah yang tentu saja akan terus-terusan mendengar ocehan Bapak dan Ibu tentang Mas Darsono itu. Aku sudah siap dengan celana jins dan baju kaos lengan panjang. Rambut panjangku, aku biarkan tergerai. Aku memang belum memiliki keberanian untuk menutup aurat yang ada di kepalaku, aku merasa masih banyak yang harus aku benahi terlebih dahulu. Untuk menyamarkan mataku yang bengkak dan ada lingkaran hitamnya, aku memakai kaca mata biasa berwarna cokelat yang biasa aku kenakan saat bekerja di depan computer. Setidaknya kaca mata dapat sedikit menetralisir rasa perih pada mata.
"Mau kemana pagi-pagi gini?" tanya Bapak saat aku turun untuk sarapan.
Aku menghela napas perlahan, aku tidak akan cari ribut pagi-pagi begini, "mau keluar Pak, ada urusan di kampus," aku sedikit berbohong, aku memang ada urusan di kampus namun nanti jam 10. Bukan jam 7 seperti ini, aku hanya ingin jalan-jalan atau duduk di perpustakaan kampus untuk menenangkan pikiran.
"Jangan pulang terlalu malam, gak baik anak gadis pulang malam-malam," nasehat Bapak tegas.
"Kamu jangan lupa besok ada acara pertemuan dengan Nak Darsono," Ibu mengingatkan.
Aku berhenti menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutku begitu mendengarkan perkataan Ibu barusan. Tiba-tiba aku merasa tidak mood lagi untuk makan. "Apa aku harus menerima perjodohan ini?" tanyaku pelan, kali ini aku serius dan tidak akan main-main seperti kemarin.
"Tentu," jawab Bapak yang masih tetap sibuk dengan makannya.
"Kenapa gak Mbak Imel saja?” aku menatap Bapak dan Ibu yang terdiam. “Ah, gak usah di jawab. Seruni tahu jawabannya, kalau begitu aku pergi," lanjutku seraya berdiri dan pergi begitu saja tanpa menyalim tangan kepada kedua orang tuaku seperti biasa. Ntah apa salahku, dari dulu aku selalu di atur, aku memang bukan anak tunggal. Aku memiliki seorang kakak bernama Imel yang sekarang tinggal di Surabaya.
Aku dan mbak Imel tidak pernah akrab, aku semakin iri saat kak Imel di perbolehkan untuk kuliah di luar kota. Sedangkan aku harus mau kuliah di sini saja, jika tidak maka Bapak dan Ibu akan menganggapku anak durhaka. Aku sayang kedua orang tuaku tetapi bukan ini yang aku inginkan.
Ntah kemana mobil ini membawaku pergi, memang aku yang mengendarai namun, bukan dalam keadaan sadar. Aku tak pernah iri dengan kak Imel sebelumnya. Sekarang? Aku iri, aku ingin pintar, tangguh dan cantik seperti kak Imel.
Kedua orang tuaku selalu membanggakan mbak Imel di depan teman-temannya, tidak halnya dengan aku. Hanya beberapa teman Bapak dan Ibu yang tahu tentang diriku, bahkan pernah ada yang heran. Karena, mereka mengira kedua orang tuaku hanya memiliki satu anak yaitu mbak Imel.
Umur mbak Imel jauh lebih matang dariku, kenapa bukan mbak Imel saja yang di nikahkan? Satu titik air mata jatuh di atas punggung tanganku yang sedang mencengkram erat setir mobil. Aku sadar, aku telah sampai di parkiran kampus.
∞∞∞
Aku masih sibuk memilah-milah buku apa yang akan aku baca untuk waktu 3 hingga 4 jam ke depan. Mataku menangkap sebuah buku tentang kepemimpinan dan zaman modern. Aku mengambil posisi duduk di meja paling ujung menghadap langsung ke kaca yang menyajikan pemandangan taman belakang kampus.
Aku buka lembar demi lembar, mencoba memasukkan bacaan tersebut ke dalam kapasitas otakku yang sudah pada ambang limit. Aku menggigit kuat bibir bawahku saat kembali mengingat betapa berat cobaan yang akan aku hadapi, aku masih berusaha menahan tangisku agar tak pecah di tempat ini. Aku masih punya malu.
Tuk! Tuk! Tuk!
Aku merasakan ketukan-ketukan di keningku, maka aku buka mataku yang terpejam. Entah sudah berapa lama aku tertidur di perpustakaan. Aku melihat ke arah seseorang yang duduk di depanku dengan pandangan matanya seolah geli melihat perilakuku namun raut wajahnya menunjukkan aura dingin yang luar biasa.
"Perpustakaan bukan tempat tidur," suara dingin milik dosen Aji benar-benar menyentakkanku sepenuhnya dari alam bawah sadarku. "Anda terlambat 15 menit menemuiku Nona Seruni."
Aku datang ke kampus untuk membantu dosen Aji membereskan beberapa berkas-berkas miliknya. Aku mendesah pasrah jika hukumanku bertambah dua kali lipat. "Maaf saya ketiduran," aku tundukkan kepalaku dalam-dalam, tak berani menatap langsung mata cokelat cerah milik dosen ganteng ini.
"Aku hanya mampir kesini untuk membaca buku, aku berniat akan pulang. Karena, aku pikir kau tak akan datang."
Sabar, aku tak akan terpancing emosi. Cukup tadi pagi saja aku hampir menjadi anak durhaka. "Saya sudah disini sejak tadi pagi Pak," jelasku dengan suara pelan kepada Pak Aji atau dosen Aji. Aneh memanggil orang yang hanya 3 tahun diatas kita dengan panggilan Pak.
"Saya maafkan, sekarang ikut saya!" perintahnya sambil bangkit dari duduknya, dengan langkah gontai dan kepala tertunduk aku mengikutinya dari belakang.
"Tolong arsipkan berkas ini sesuai dengan tanggalnya!" Pak Aji meletakkan 3 tumpuk berkas-berkas yang tingginya menggunung. Aku hanya mengangguk seadanya dan mulai mengarsipkan berkas tersebut ditemani Pak Aji yang sibuk dengan gadget-nya.
Aku dan Pak Aji duduk lesehan di atas permadani yang ada di ruang dosen. Jangan heran, di kampusku banyak dosen yang masih muda, sehingga mereka suka menata ruangan dosen menjadi tempat yang sangat nyaman. Waktu-waktu yang terasa panjang dan membosankan akhirnya berhasil aku lewati tepat jam 3 sore.
"Lain kali jangan coba-coba untuk melamun di kelasku!" titahnya tegas saat aku berpamitan untuk pulang. Aku mengangguk seadanya, tidak ingin rasanya aku lama-lama berada bersama Pak Aji yang terlihat seperti predator yang sedang marah.
∞∞∞
"Assalamu'alaikum," salamku saat memasuki rumah dan mendapati Bapak dan Ibu sedang duduk santai di ruang keluarga sambil menonton berita.
"Wa'alaikumsallam, udah makan Ni?" Ibu bertanya dengan nada lembut. Aku hanya mengangguk saja dan langsung berjalan menuju kamarku. Aku malas untuk makan dan semua badanku terasa remuk.
Aku memilih menghabiskan sore ini untuk tidur, aku terbangun dari tidur sore ku yang hanya 1 jam. Setelah menuntaskan kewajiban 5 waktu, aku kembali ke atas tempat tidur. Duduk bersandar pada kepala ranjang dengan laptop di pangkuanku. Aku berhenti sejenak dari kegiatanku saat adzan magrib memberi peringatan untuk saatnya aku mengadu dan bercerita.
Suara pintu diketuk terdengar saat aku sedang melipat mukenahku rapih. Pintu kamarku yang memang tak aku kunci terbuka dan muncullah sosok Ibu dari balik pintu. "Makan malam dulu Ni," ajak Ibu.
"Iya sebentar lagi Seruni turun Bu," setelah mendengar perkataanku Ibu keluar dari kamar dan meninggalkan aku yang menyelesaikan kegiatan melipat mukenah.
Saat aku turun ke bawah dapat aku lihat Ibu dan seorang perempuan cantik berambut hitam panjang dengan setelan rumah, wajahnya terlihat sangat cantik. Dia Kakakku Imel.
"Hai," mbak Imel hanya menegurku dengan senyum singkat miliknya.
"Hai," aku membalas canggung sapaan basa basi mbak Imel.
"Mbakmu ini balik karena ingin menghadiri acara besok Ni," cerita Ibu saat keadaan meja makan yang hening. Aku mengangkat kepalaku dan memperhatikan mbak Imel dengan senyum singkat yang selalu menjadi khas dirinya.
"Sebenernya bukan cuma itu Bu Pak, Imel mau mengenalkan seseorang besok," senyum singkat tadi menjadi senyum cerah yang mengembang lebar.
"Jadi kamu sudah punya calon imam Nak?" Bapak bertanya dengan antusias, dan saat itulah jantungku serasa diremukkan. Kapan aku bisa seperti Mbak Imel? Aku hanya tersenyum miris bahwa hal itu tidak akan mungkin terjadi.
"Iya Pak, dia atasan Imel di kantor. Besok Imel kenalkan sekalian acara Seruni," cerita mbak Imel semangat, aku hanya mendengarkan saja. "Bolehkan Ni?" tanya mbak Imel, aku tahu itu hanya pertanyaan basa basi mbak Imel untukku. Bukannya aku suudzon namun, aku memang melihat sendiri kilatan paksaan darinya.
"Tentu," jawabku singkat. "Aku duluan mau melanjutkan tugas kuliah," pamitku dari meja makan yang entah kenapa tiba-tiba berubah bak neraka. Aku saja baru makan dua suap. Ibu dan Bapak hanya mengangguk saja dan terus melanjutkan pertanyaan kepada kak Imel.
∞∞∞
Karena mood-ku benar-benar sudah ancur, aku iseng-iseng membuka salah satu social media chatting yang sudah lama tidak aku buka. Aku memakai nama chatting 'Orange Rose' aku memang tak ingin memakai nama asliku, toh banyak yang seperti diriku.
Saat aku sedang melihat-lihat siapa saja yang online dan bisa aku ajak chatting mataku menangkap sebuah nama unik yaitu 'Penakluk Hujan.'
Orange Rose: Hai
Aku mencoba mengajaknya untuk ber-chatting, masa bodo deh mau dia laki-laki atau perempuan. Aku hanya ingin berbagi cerita saja.
Penakluk Hujan: Hai
Orange Rose: Mau numpang curhat nih...
Penakluk Hujan: Silahkan, aku akan menbaca curhatanmu dengan senang hati...
Orange Rose: Menutumu apakah kita harus selalu menghargai dan mengikuti permintaan kedua orang tua?
Penakluk Hujan: Bagiku iya, karena itu satu-satunya cara untuk dapat membahagiakan mereka.
Orange Rose: Walaupun sesuatu yang tak kita inginkan atau kita sukai?
Penakluk Hujan: Mereka tahu yang terbaik untuk kita.
Aku tertegun membaca kalimat yang diberikan si penakluk hujan atas pertanyaanku, aku percaya kepada orang tuaku. Tapi apakah aku siap?
Saat aku akan membalas chat-nya kembali si penakluk hujan sudah menunjukkan tanda offline. "Terima kasih," gumamku kepada layar laptop yang masih menampilkan percakapan singkat aku dan si penakluk hujan.
"Jika dia laki-laki pasti dia orang yang bijaksana dan sangat penyayang serta cocok untuk menjadi pemimpin, dan jika dia perempuan pasti lah banyak laki-laki yang tertarik kepadanya karena sikapnya yang bijaksana," ujarku masih kepada laptop yang ada didepanku.
Mungkin memang ini saatnya aku membahagiakan Bapak dan Ibu, karena aku memang tak pernah memberikan mereka sesuatu yang luar biasa seperti kak Imel. Aku tak pernah juara kelas, mentok paling tinggi juara 5. Aku juga tidak pernah memenangkan lomba apapun karena aku tidak pernah ikut lomba apapun. Aku akan menghadapi apa saja itu yang ada di depanku besok, selamat malam dunia.