BAGIAN TIGA

1396 Kata
Aku duduk sambil menikmati sarapan yang Ibu buat bersama dengan Ibu, Bapak dan Mbak Imel. Selera makanku sedang tak baik akhir-akhir ini. Aku hanya mengaduk-ngaduk makananku dengan tidak selera. "Nanti kamu jangan pulang sore-sore Ni, kita akan makan malam sama Nak Darsono," peringat Ibu kepadaku yang langsung membuatku tambah malas untuk makan. "Iya," aku hanya mengangguk malas. Bagaimanapun aku tetap tak akan bisa merubah keputusan Ibu dan Bapak. Tiba-tiba suara bel rumah berbunyi, "buka sana pintunya Ni!" perintah mbak Imel seenaknya saja, dengan malas-malasan aku berjalan ke arah pintu depan. "Assalamu'alaikum..." sapa seorang pria yang menurutku manis dan terkesan sopan di depan pintu saat aku membuka pintu. "Wa'alaikumsallam, mencari siapa ya Mas?" tanyaku dengan nada suara yang aku buat sesopan mungkin. "Mas Ray!" tiba-tiba seruan Mbak Imel mengintrupsi percakapanku dan mas-mas yang ada di hadapanku. Mas yang ternyata bernama Ray ini tersenyum begitu melihat mbak Imel yang datang menghampiri kemari. "Awas kamu Ni! Mas ayo masuk," dengan enaknya mbak Imel mengusirku menjauh dan menarik Mas Ray itu masuk, mereka langsung melenggang ke arah ruang makan. "Pasti calonnya Mbak Imel," ujarku lesu. "Udah mau pergi Ni?" tanya Bapak saat aku mengambil tas yang aku tinggal di kursiku tadi. "Iya Pak," aku menyalami Bapak dan Ibu untuk berpamitan. Aku sama sekali tak berpamitan dengan Mbak Imel yang asyik mesra-mesraan dengan Mas Ray. Aku memacu mobilku dengan kecepatan sedang, hari ini aku ada kelas dengan dosen Aji. Mengingat dosen Aji membuatku sedikit kesal, tetapi apa yang dilakukannya dengan menghukumku memang benar. Terkadang aku menyesal mengambil dua matakuliah dengan dosen yang sama seperti sekarang. Baiklah, tadi malam aku sudah berjanji akan mencoba menjalankan kehidupan ini. "Hampir aja kamu telat Ni," ujar Ike saat aku mendudukkan pantatku di sebelahnya, aku melihat ke arah depan kelas yang sudah berdiri dosen Aji. Aku menghembuskan napas lega karena aku tak terlambat masuk, bisa-bisa aku diberi nilai E oleh dosen Aji karena berbuat kesalahan lagi. Aku mengikuti pelajaran dosen Aji dengan hati setengah-setengah namun, aku sama sekali tak melamun. Kalau aku ketawan melamun lagi bisa mampus aku. "Seruni kamu keruangan saya!" perintah dosen Aji saat aku melewatinya saat akan keluar kelas. Semua mahasiswa yang masih tersisa memandang kami ingin tahu. Bahkan, yang perempuan sudah menatapku garang. Mereka iri melihatku di panggil ke neraka rupanya, cibirku didalam hati. ∞∞∞ "Saya minta tolong kamu untuk menjadi asisten saya," pinta dosen Aji saat aku sudah duduk manis di depan meja dosen Aji. Aku membulatkan mataku kaget, salah makan obat kayaknya nih dosen muda. "Saya?" tanyaku bingung dan ling-lung. "Iya kamu, walaupun kamu sempat melakukan kesalahan. Namun, nilai kamu bagus-bagus dan saya yakin kamu bisa membantu saya," jawab dosen Aji mantab. "Jadi bagaimana?" dosen Aji meminta kesediaanku untuk menjadi asitennya. Dengan berat hati aku mengiyakan permintaan dosen Aji. Pasti aku akan sering berkunjung kedalam neraka, rutukku di dalam hati. "Hmmm apa kamu punya kesibukan setelah ini?" dosen Aji bertanya dengan nada ragu-ragu. Aku menggelengkan kepalaku pelan. "Bagaimana kalau makan siang bersama?" tawarnya hati-hati. Aku cukup shock dibuatnya, sejak kapan dosen berhati dingin ini jadi sok dekat denganku begini. Aku bergidik ngeri membayangkan pasti akan ada banyak mahasiswi kampus yang akan menyerangku jika aku ketangkap basah pergi dengan dosen Aji. "Seruni?" dosen Aji mengibas-ngibaskan tangannya didepan mukaku yang sedang asyiknya ngelamun. "Eh, maaf Pak. Saya setelah ini harus segera pulang," ujarku sedikit gugup. "Kalau gitu saya permisi Pak," pamitku langsung tanpa menunggu jawaban dosen Aji. "Hei," aku tersentak kaget saat Ike menepuk pundakku, aku baru saja keluar dari ruang dosen. "Apaan sih Ke!" "Kenapa tuh muka? Kayak habis ngelihat setan aja?" tanya Ike penasaran sambil meneliti mukaku. Aku menarik Ike berjalan menuju parkiran kampus. "Iya aku habis dapat serangan jantung tadi," sungutku sambil masih menarik tangan Ike kuat. "Heh?" tanya Ike tak mengerti dengan muka polosnya dan setia mengikuti aku yang tergesa-gesa. "Pak Aji minta aku jadi asitennya," dan ngajakin luch bareng lanjutku di dalam hati. Mana mungkin aku berani mengatakan kalimat selanjutnya, bisa mati aku dicecar sama Ike si ratu gosip. Ike masih saja bengong saat kami sudah sampai di depan mobilku, "makasih ya Ke, udah ngantarin," aku melambai dan melesat meninggalkan Ike yang masih bengong walapun mobilku sudah melaju. Aku melihat dari kaca sepionku Ike marah-marah sambil menghentak-hentak kakinya dan menunjuk-nunjuk ke arah mobilku. Aku hanya terkikik senang melihat Ike yang ngamuk-ngamuk di parkiran kampus. ∞∞∞ "Udah siap belom? Lama banget sih!" Mbak Imel mengetuk-ngetuk pintu kamarku tak sabaran sambil mengomel-ngomel tidak jelas. Aku membuka pintu kamarku dan dengan kesal aku dahului Mbak Imel turun menuju ruang tamu. "Dasar gak sopan," cibir Mbak Imel di belakangku. "Imel kamu pakai weges yang warna silver aja," saran Ibu saat Mbak Imel akan mengenakan weges berwarna hitam, begitulah Ibu. Beliau selalu memberikan masukan kepada Mbak Imel, sedangkan denganku mana pernah!! Aku mengenakan high heels merah darah yang cocok dengan dress panjang berlengan ¾ yang juga berwarna merah darah yang aku kenakan. Aku mendahului Bapak dan Ibu masuk kedalam mobil. Kalau tidak salah Mbak Imel berangkat dengan Mas Ray menggunakan mobilku. Aku meminjamkannya dengan sangat terpaksa karena Ibu yang memohon. Mana tega aku si orange di pakai mereka sebenarnya. Mobil sudah memasuki sebuah kawasan rumah yang modern, elegan, dan sangat terlihat aura Jawanya. Berbagai ukiran-ukiran menghiasi setiap dinding rumah, kusen jendela dan pintu rumah. "Assalamu'alaikum Sar..." sapa Ibu kepada seorang wanita yang menunggu di depan pintu utama, sepertinya wanita tersebut seumuran dengan Ibu. "Wa'alaikumsallam..." jawabnya. Aku mencium tangan wanita dan seorang pria seumuran Bapak yang menyusul menghampiri kami. Kami di ajak masuk ke dalam rumah yang kental dengan warna cokelat, prabotannya juga rata-rata berbahan dasar kayu. Unik dan elegan itu kesan yang aku tangkap. Kami di halau menuju bagian rumah yang lebih dalam yaitu ruang makannya yang bernuansa cokelat lembut. Meja makannya terlihat besar dan terbuat dari kayu yang sangat kokoh dengan ukiran bunga teratai di tengah-tengah permukaan meja. "Aduh Imel cantik banget sih, pasti Darsono seneng ketemu sama Imel," ucap Bude Sari -nyonya rumah- memang tadi aku sempat berkenalan dengan Tuan rumah saat di perjalanan menuju ruang makan. "Eh Sar yang mau di jodohin kan Seruni," ucap Ibu yang langsung menguarkan aura aneh. Bude Sari melihat ke arahku dengan tatapan merasa bersalah, aku hanya tersenyum tipis. "Nak Darsono-nya mana Her?" tanya Bapak kepada Pakde Herman untuk memecahkan aura aneh yang menguar karena kesalahan Bude Sari barusan. "Oh, Darsono baru pulang kerja." "Kerja?" Ibu bertanya bingung, memang apa yang salah dengan kerja? "Aduh saya lupa Mbak, Darsono udah dari satu minggu lalu di sini. Cuma kami gak tahu, maklum Darsono lebih milih tinggal di rumahnya sendiri," jelas Bude Sari sambil tersenyum malu-malu karena salah memberi informasi. "Nah itu Darsono," tunjuk Bude Sari ke arah belakangku, seluruh mata sudah tertuju ke arah belakangku namun, tidak denganku yang dengan malas menatap ke bawah meja makan dengan tidak minat. Jika bisa aku ingin berteleportasi dari tempat ini, menghilang untuk saat ini saja. "Maaf saya telat," ujar seseorang yang suaranya sangat familiar di telingaku, langsung saja ku tegakkan kepalaku dan menatap shock kearah orang yang sukses membuatku shock 3 kali dalam satu hari. "Pak Aji!" seruku tertahan. "Loh Seruni!" Pak Aji alias dosen muda juga memandangku bingung, ini lebih buruk dari yang aku bayangkan. Bah apa bisa aku mengimbangi dosen Aji yang menurutku disiplin ini? Sedangkan aku sukanya melanggar? "Kalian sudah saling kenal?" tanya Bude Sari bingung melihat kami yang sama-sama melongo tak percaya. Dengan kaku aku mengangguk, begitu juga dengan Pak Aji. ∞∞∞ "Jadi gimana Dar? Kamu setujukan?" tanya Pakde Herman kepada Pak Aji soal perjodohan ini, kami semua sedang berkumpul di ruang keluarga rumah Jawa ini. "Kalau misalnya kamu mau sama Imel, Bapak tak masalah," lanjut Pakde Herman. Aku merasa seperti di tikam pedang tajam tepat di hatiku, perih merasakan penolakkan secara tak langsung dari keluarga calon. "Maaf sebelumnya Seruni ingin pamit pulang duluan, soalnya sedang tak enak badan. Kak Imel sama Mas Ray pulang sama Bapak saja ya," pamitku yang langsung menyambar kunci mobilku di atas meja yang di taruh Mas Ray begitu saja. "Ehhm Seruni," Pak Aji menahan lenganku saat aku melewatinya. "Saya antar saja," tawar Pak Aji. "Tidak perlu Pak, saya pulang sendiri saja permisi," aku melepaskan pegangan tangan Pak Aji dengan pelan dan langsung berjalan dengan cepat menuju mobilku di halaman depan rumah. Aku menangis sejadi-jadinya di dalam mobil, meratapi nasibku yang selalu di banding-bandingkan dengan Kak Imel. Ingin rasanya aku kabur dari semua ini namun, aku tak bisa. Aku teralu sayang dengan keluargaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN