BAGIAN EMPAT

1609 Kata
Namaku memang kampung karena aku memang dari kampung. Tetapi, wajahku ini sangat-sangat modern banget. Oke aku memang narsis, jadi jangan banyak protes. "Sudah Ibu bilang kamu itu buruan ke Jakarta! Gak ada alasan buat nolak perjodohan ini!" omel Ibu dari ujung sambungan telpon. Aku hanya menarik dan menghembuskan nafas pasrah, ini bukan pertama kalinya Ibu menjodohkanku. Setelah setahun lalu aku lulus kuliah di Australia aku kembali ke Klaten. Aku berprofesi sebagai dosen di Klaten dan saat itu lah perjodohan dimulai. "Bu! Aku bisa kok cari calon sendiri!" sungutku kesal, bisa mati aku lama-lama kalau mengendarai mobil sambil marah-marah gini. "Pokoknya Ibu gak mau tahu!" setelah itu Ibu mematikan sambungan telpon secara sepihak. Umurku sekarang masih 25 tahun dan sudah lulus S2, aku masih muda namun sudah di bayangi dengan pernikahan! "Jangan sampai Ibu tahu aku dalam perjalanan ke Jakarta," gerutuku di dalam mobil sambil menunggu antrian masuk tol. ∞∞∞ Ini hari pertama aku mengajar di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Aku memang memilih tinggal di rumahku yang aku beli pertengahan bulan lalu saat berkunjung ke Jakarta. "Selamat pagi saya dosen yang akan menggantikan dosen Mira. Panggil saya Pak Aji," kenalku di depan kelas pertama yang aku ajar. Aku mengajar mata kuliah manajemen lingkungan dan beberapa matakuliah jurusan manajemen, aku memperhatikan mahasiswa dan mahasiswi yang sedang menatap ke arahku. Aku mengerahkan mataku di sudut ujung, seorang mahasiswi sedang sibuk dengan bukunya. "Baik ada yang ingin ditanyakan sebelum saya mulai mengajar?" tanyaku kepada mereka yang terlihat sangat antusias. "Umur Pak Aji berapa?" seorang perempuan bertanya dengan nada genit yang membuatku merasa jengah mendengarnya. "25 tahun." Aku mulai mengabsen dan saat aku memanggil nama 'Seruni Anjani,' perempuan di sudut ruangan sana mengangkat tangannya. 'Jadi namanya Seruni Anjani?' ujarku puas di dalam hati. ∞∞∞ "Pokoknya lusa kamu sudah harus di rumah!!" titah Ibu yang kembali menelpon. "Bu! Darsono udah punya calon sendiri!" jawabku jengkel. "Oh ya? Kamu bawa ke tempat Bapak dan Ibu segera!" mampus, mana mungkin aku langsung nyeret Seruni ke hadapan Bapak sama Ibu. "Yang bener aja Bu!" teriakku tak terima. "Awas aja kamu kalau gak dateng!" ancaman dari Ibu mengakhiri percakapan kami. Dengan dongkol aku masuk ke kelas untuk mengajar, bahaya nih kalau aku lagi dongkol gini ngajar. Bisa-bisa semua mahasiswa jadi sasaranku mengamuk. Aku memperhatikan Seruni yang sedang melamun dan tidak fokus pada pelajaranku. "Seruni Anjani?" tegurku dan langsung membuatnya terlonjak kaget. "Keluar sekarang!!" usirku galak, aku masih kesal dan akhirnya terbawa ke dalam kelas. Dengan malas Seruni melangkahkan kaki keluar dari kelasku. Aku memang memanggil Seruni ke ruangan dosen dan tanpa banyak tanya Seruni langsung meminta hukumannya. "Baru kali ini saya ketemu sama murid yang tidak takut dihukum," komentarku sinis. "Buruan deh Pak!" sungut Seruni tak sabar. "Besok datang jam 10, kamu harus membantu saya membereskan beberapa berkas," perintahku tegas dan langsung diiyakan oleh Seruni. Setelah Seruni keluar dari ruangan dosen, aku memijit kepalaku yang sedikit berdenyut. 'Bodoh kau memperlakukannya seperti itu!' rutuk hati kecilku. "Belum apa-apa pasti dia sudah ilfil," gumamku pada diri sendiri. Ini memang terlalu cepat untukku jatuh cinta. Namun, sudah hampir seminggu ini aku memperhatikan Seruni membuatku semakin jatuh hati kepadanya. Esoknya Setelah kemarin aku mengusir Seruni, hari ini aku panik Seruni tidak akan datang. Sekarang sudah pukul 10 lewat 5 menit. Oke, aku memang lebay. Aku masuk ke dalam perpustakaan untuk mencari buku yang sekiranya dapat menambah pengetahuanku, saat itu lah aku melihat sosoknya sedang tertidur di atas buku yang terbuka. Manis, itu kata pertama yang aku pikirkan saat melihat Seruni tertidur. Aku masih asik memandangi wajahnya yang tertidur pulas. Karena iseng aku ketuk-ketuk pelan kening mulus milik Seruni. Perlahan-lahan Seruni mengerjapkan matanya karena terganggu. "Perpustakaan bukan tempat tidur," kilahku takut ketahuan sedang iseng memperhatikannya. "Anda terlambat 15 menit menemuiku Nona Seruni," sambungku untuk tetap menjaga mukaku. "Maaf saya ketiduran," dia menundukkan kepalanya merasa bersalah. "Aku hanya mampir ke sini untuk membaca buku, aku berniat untuk pulang. Karena, aku pikir Anda tidak akan datang." Ntah kenapa mulutku ini benar-benar pedas, bertolak belakang dengan hatiku yang berbunga-bunga. "Saya sudah di sini sejak tadi pagi Pak," cicitnya pelan. "Saya maafkan, sekarang ikut saya!!" perintahku dengan suara dingin milikku. Aku belum ingin melepas topeng milikku. Aku mencoba curi-curi pandang ke arah Seruni yang sibuk dengan hukuman yang aku berikan. Aku masih mencoba stay cool saat Seruni pamit pulang dengan intonasi dingin yang aku miliki. Malam ini aku tidak bisa tidur padahal waktu sudah pukul 1 dini hari. 'Kau stay cool sih,' komentar hati kecilku. 'Besok harus berani jangan jadi pengecut,' kembali suara hati kecilku merutuki sikapku tadi siang. "Jika besok gak berhasil harus bagaimana?" tanyaku pada si hati kecil. Namun, tak ada jawaban sama sekali yang aku terima. "Terima perjodohan itu? Mungkin kalau aku tak jatuh cinta pada Seruni, aku tak akan segusar ini." ∞∞∞ Aku kembali memanggil Seruni ke ruanganku. 'Aku pasti bisa!' semangatku di dalam hati. "Saya minta tolong kamu untuk menjadi asisten saya," mulaiku dengan alasan asisten. Muka Seruni sudah berubah shock mendengar permintaanku. "Saya?" tanyanya ling-lung. "Iya kamu, walaupun kamu sempat melakukan kesalahan. Namun, nilai kamu bagus-bagus dan saya yakin kamu bisa membantu saya." "jadi bagaimana?" tanyaku. Aku mengucap syukur di dalam hati saat Seruni menanggapi permintaanku. Sekarang ke pertanyaan yang lebih penting. "Hmmm apa kamu punya kesibukan setelah ini?" tanyaku sedikit ragu-ragu. Dan Seruni menggelengkan kepalanya pelan. "Bagaiman kalau makan siang bersama?" tawarku. Aku menunggu jawaban Seruni, wajah Seruni terlihat sangat shock mendengar ajakanku. "Seruni?" "Eh, maaf Pak. Saya setelah ini harus segera pulang," jawabannya sukses merubuhkan semua kepercayaan yang aku bangun semalaman suntuk. Hingga Seruni keluar pun aku masih shock dan terduduk lemas, 'Mungkin perempuan yang dijodohkan itu memang jodohmu,' nasehat hati kecilku. Aku masih sibuk melamun saat teleponku berdering, tertera id-caller 'Ibu' di layar. Mau tidak mau aku menjawab panggilan Ibu tersebut. "Assalamu'alaikum," salamku. "Wa'alaikumsallam. Kamu jadi pulang kan Le?" tanya Ibu harap-harap cemas. "Iya, aku pulang nanti waktu sudah pulang kerja." "Kerja?" jawab Ibu heran, mampus aku keceplosan. Tapi ya sudahlah, kepalang tanggung. "Aku sudah berada di Jakarta dari seminggu lalu. Aku bekerja sebagai dosen di salah satu Universitas Bu," jelasku kepada Ibu. "Dan kamu gak ngunjungi Ibu dan Bapak?" "Itu karena aku gak mau dipaksa-paksa buat Nikah Bu," jawabku gemas. "Ya sudahlah Ibu maafkan. Pokoknya nanti kamu harus pulang!" jatuhlah keputusan Ibu yang tak dapat dibantah. "Iya Bu," nurutku lemas. ∞∞∞ "Kamu bohongkan sama Ibu waktu kamu bilang udah punya calon?" tuding Ibu saat aku, Bapak dan Ibu duduk di ruang keluarga. "Aku gak bohong Bu, calonku itu baru aku temukan seminggu yang lalu," jawabku santai dan beranjak berlalu dari depan Ibu dan Bapak menuju kamarku. "Anak itu," gerutu Ibu yang masih dapat aku dengar. Aku tidur-tiduran saat mendengar suara ramai di lantai bawah, sepertinya mereka sudah datang. Aku turun dengan malas, 'Bagaimana pun aku harus buat perempuan itu menolak perjodohan ini' tekadku. "Maaf saya telat," ujarku dengan suara yang sedikit dingin. "Pak Aji!" seru seseorang yang suaranya sangat aku kenal. "Loh Seruni!" aku memandang bingung Seruni, sedang apa dia di sini? Apa? Aduh kalau emang iya aku dengan suka rela menerima perjodohan ini. "Kalian sudah saling kenal?" tanya Ibu yang kami jawab dengan anggukkan. Malam ini Seruni sangat cantik dengan gaun merah darahnya. Aku begitu mengaguminya malam ini. "Jadi gimana Dar? Kamu setuju kan?" tanya Bapak kepadaku, belum lagi aku menjawab Bapak sudah melanjutkan. "Kalau misalnya kamu mau sama Imel, Bapak gak masalah." Imel? Apa perempuan yang bersama seorang laki-laki yang duduk di dekat Seruni itu bernama Imel? Tiba-tiba saja Seruni menyela keadaan yang menjadi aneh. "Maaf sebenarnya Seruni ingin pamit pulang duluan, soalnya sedang gak enak badan. Kak Imel sama Mas Ray pulang sama Bapak saja, ya." "Ehhm Seruni," kutahan lengan Seruni. "Saya antar saja," tawarku akhirnya. "Tidak perlu Pak, saya pulang sendiri saja permisi," aku masih memandangi punggungnya yang berjalan menjauh. "Jadi gimana Le? Kamu pilih Imel atau Seruni?" tanya Ibu santai seolah tak terjadi apa-apa. "Ibu masih bisa bertanya seperti itu?" tanyaku menyindir. "Memang Anda bisa menolak saya?" tanya Imel santai di tengah-tengah situasi panas yang terjadi. Bahkan, aku dapat melihat kilatan kecewa dari pacarnya yang mendengar penuturan Imel. "Saya bahkan tak tertarik sama sekali dengan Anda," ketusku. "Asal Bapak Ibu tahu calon yang mau Darsono kenalkan kepada kalian itu Seruni. Dia mahasiswiku yang baik dan pintar!" lanjutku dengan muka kecewa luar biasa. "Memang apa bagusnya Seruni?" sindir Imel. "Dia jauh lebih sopan dibanding Anda!" dengan kesal aku bangkit dan menyambar kunci mobilku. "Aku pulang Pak Bu," pamitku langsung tanpa mencium tangan kedua orang tuaku. Aku pacu dengan kecepatan sedang mobilku, beruntung jalanan lumayan lengang. Hingga aku melihat mobil orange milik Seruni terparkir di pinggir taman yang lumayan sepi. "Hiks.... Hiks..." suara tangisan menyayat hatiku terdengar. "Kenapa semuanya Kak Imel?" raung Seruni penuh kesakitan. "Aku benci dibandingin sama Kak Imel!" histeris Seruni sambil memukul-mukul sepatu haknya di bangku taman sampingnya. "Aku pikir ada kuntilanak nangis," ucapku sambil duduk di sebelahnya, Seruni terlihat kaget dan segera menghapus air matanya dengan cepat. "Nangis aja, aku udah denger kok umpatan-umpatan kamu barusan," ujarku lagi dengan gaya santai. "Ngapain hiks.... Pak Aji ke sini?" tanyanya dengan sisa tangis yang masih terdengar. "Kebetulan lewat," aku berhenti sebentar. "Coba sekali-kali kamu lebih percaya diri, pasti mereka gak akan melihat kamu sebelah mata lagi," nasihatku. "Pak Aji gak tau apa-apa diam aja!" serunya galak sambil mengacungkan tinggi-tinggi sepatu hak merahnya. Lalu, dilemparnya sepatu itu ke arah depan dengan kesal. "Kamu tenang saja, saya tetap milih kamu kok," jelasku kalem. "Heh?" bengong Seruni dengan mukanya yang beloon banget. "Kenapa?" "Apa gak bisa Bapak tolak saja?" tanyanya pelan. "Enggak bisa, karena kamu sudah mengambil sepotong hati saya," jawabku yang terdengar sedikit membuat mual. "Saya serius!" tambahku. "Saya rasa Anda terserang katarak!" balasnya jengkel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN