Hawa sejuk menyapu kulit putihnya begitu ia turun dari mobil pajero sport-nya. Pemandangan pohon-pohon hijau tampak mengelilingi area peristirahatan terakhir manusia. Sebuah pemakaman umum yang tidak bisa dikatakan mahal, tapi sederhana dan terawat apik. Bukan semacam pemakaman bertarif mahal seperti pemakaman para konglomerat meski keluarganya sangat mampu untuk membayarnya. Akan tetapi, ini adalah wasiat dari kedua orang tuanya untuk dimakamkan di daerah kabupaten Bandung Barat yang dekat dengan jalan tol―jalur yang biasanya digunakan para penduduk Jakarta bila hendak mudik itu.
Rian duduk bersimpuh di sebelah makam kedua orang tuanya. Ia menaburkan bunga dan air yang sudah dibelinya sebelum masuk ke area pemakaman. Tangan kirinya menyentuh nisan kedua orang tuanya. Diusap-usap batu nisan itu dengan jempolnya yang bergerak. Tatapannya kosong tertuju pada nama kedua orang tuanya; Kresna Arta Direja dan Shila Nur Hisyamsi. Sedangkan, tangan kanannya terkepal erat memegang kalung dengan liontin dari emas putih.
***
“Tidak ada perselingkuhan, Sayang. Atas nama Tuhan, aku berani bersumpah tak berkhianat,” ucap wanita cantik di usianya yang saat itu 39 tahun. Shila Nur Hisyamsi. Dari keluarga Hisyamsi yang terkenal sebagai pengusaha batubara di Kalimantan.
“Oh, ya? Lalu kenapa kamu berpelukan begitu erat dan mesra dengan dia?” tanya suaminya dengan tajam. Tatapannya menggambarkan kemurkaan yang tercetak jelas di raut wajahnya. Bagaimana laki-laki itu tak naik darah melihat foto istrinya tersenyum dan berpelukan erat dengan pria lain.
“Dia kakakku, Sayang, dan kau sendiri juga sudah mengenalnya sudah sangat lama. Ada orang yang sedang mengadu domba kita.” Wanita itu berucap sembari menangis. Tangisannya terdengar begitu menyayat hati. Suaminya tak percaya dengan kata-katanya, malah lebih memilih percaya pada foto yang tak tahu siapa pengirimnya dan apa tujuan si pengirim foto.
“Kakak?” tanya Suaminya dengan mendengus kasar kemudian bibirnya terangkat ke atas. Tatapannya begitu nyalang dan merendahkan. Tangisan istri yang dicintainya ia anggap palsu. Sungguh Ia tak ingin percaya. Tapi, hatinya sudah terlanjur sakit dengan fakta yang baru ia ketahui bahwa istrinya pernah mencintai laki-laki itu sebelum mereka bertemu.
“Kalian bukan saudara sedarah. Pria itu hanya anak angkat keluargamu. Dan, kau pernah mencintainya, iya, kan?” kini Kresna ikut menangis perih. Ia pernah berengsek pada istrinya dulu. Akan tetapi, saat ini wanita yang telah memberikan ia putra semata wayangnya yang begitu tampan bernama Rian Putra Kresna Direja itu begitu menyakiti hatinya. Pengkhianatan. Ia tak bisa menerima hal itu. terlebih lagi pengkhianatan dilakukan oleh wanita yang ia kira sangat mencintainya.
Shila terperanjat kemudian ia segera menggeleng kuat. Dipegangnya dengan lembut tangan suaminya, “Aku mohon, Sayang, percayalah padaku. Demi Tuhan apa yang kamu lihat tak seperti yang kamu pikirkan.
Tangan Shila dihempaskan begitu saja oleh Kresna. Suaminya itu bergegas pergi meninggalkannya. Shila hanya bisa terduduk lemah dan pasrah di pinggir ranjang mewahnya berukurang king itu. tangisnya semakin deras. Pintu kamarnya setengah terbuka. Shila tak menyadari bahwa pertengkaran ia dan suaminya kini telah diketahui putra mereka yang masih berusia 15 tahun.
Remaja yang baru lulus SMP itu berdiri dengan d**a bergemuruh. Ia tak pernah melihat dan mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Selama ini mereka adalah pasangan harmonis. Namun apa yang barusan ia lihat meruntuhkan kebahagiaannya. Apa ia tak salah dengar bahwa mamanya mencintai laki-laki lain; Berselingkuh? Berkhianat? Mengapa mama yang sangat dicintainya begitu tega pada papanya dan dirinya. Tangan Rian yang berkulit putih terawat itu terkepal erat. Sorot matanya menggambarkan luka yang baru ia alami di saat ia beranjak remaja. Hari itu adalah hari yang buruk pertama kali di hidupnya. Yang kelak ia harap bisa menghapus ingatan buruk itu suatu saat nanti.
***
Rian mengusap air matanya mengenang kembali awal pertengkaran kedua orangtuanya. Setelah hari itu, suasana rumahnya tak lagi sama. Rumah megahnya yang ia tempati sejak lahir tak lagi bernuansa ceria dan damai. Kelam dan sunyi yang selalu menghiasinya saat itu. Hingga Rian memutuskan tak ingin menetap disana dan tinggal dengan kakek dan neneknya―Arga Priatna Direja―pengusaha hotel yang sudah terkenal dengan hotel bintang tiga dan bintang lima tersebar di pulau Jawa dan Bali. Serta perusahaan properti di pulau Jawa dan Kalimantan.
“Mama, Rian, Percaya mama tak mungkin berkhianat pada papa. Tapi, Rian, masih sangat sakit, Ma.” Ia menghela napas dalam dan panjang disela tangisnya yang sudah luruh tak terbendung. “Rian, harus apa, Ma? Bantu Rian untuk mengobati luka Rian, Ma.” Kepala Rian tertunduk. Air matanya jatuh membasahi kalung liontin kepunyaan mamanya. Kalung liontin itu diberikan pihak kepolisian ssetelah selesai menyelidiki kecelakaan tragis mobil yang ditumpangi kedua orang tuanya di jalur tol dekat pemakaman ini.
Saat Rian mengusap air matanya, telinganya mendengar suara lantunan doa dari suara berat seorang pria yang berjarak beberapa makam di depannya. Pria yang Rian duga seusia dengannya, begitu khusyuk namun berat dan serak karena diselingi dengan tangisan lirih. Tampak pria itu telah selesai berdoa dan kini pria itu menatap kedua nisan yang berada di hadapannya dengan sendu. Semua apa yang dilakukan pria itu tak lepas dari pandangan Rian. Mungkin dia sama denganku kehilangan kedua orang tua, begitu pikir Rian dalam batinnya.
Rian segera berdiri, sebelum ia beranjak pergi netranya kembali menatap makam kedua orang tuanya, “Rian pergi, Ma, Pa. Rian akan kembali nanti dengan keadaan yang lebih baik,” ucapnya.
Kemudian ia menyimpang kalung liontin itu ke dalam saku yang terdapat ponsel di dalamnya. Saat ia melewati Pria yang tadi melantukan doa dengan khusyuk itu, Rian tersenyum pada pria itu. Kepalanya ia tundukkan sedikit ke bawah sebagai tanda hormat saat ia berjalan melewai pria yang berkulit kecoklatan itu.
Saat hendak melewati pintu gerbang makam dan menuju tempat parkir mobil, ponsel Rian berdering. Dengan cepat ia mengambil ponsel tersebut dan berjalan tergesa-gesa menuju mobilnya. Ia melihat nama asistennya yang sedang menelpon. Segera ia angkat dan berbincang. Dengan perlahan Rian menyalakan mobil dan tak lupa memberikan uang sebesar lima puluh ribu rupiah pada petugas parkir makam dan mengucapkan terima kasih.
Pria berbaju koko putih dan bercelana jeans itu terkesiap saat kakinya menginjak pelan sebuah benda berkilauan tampak cantik. Ia segera mengambilnya. Pria itu adalah Ricon. Ricon ingat bahwa tadi pria yang jalan terlebih dahulu di depannya itu yang menjatuhkan kalung itu. Tampaknya pria tampan berkulit putih yang wajahnya tak asing bagi Ricon itu yang menjatuhkannya dengan tak sadar. Segera Ricon berlari tapi ia terlambat. Saat sampai di tempat parkir terlihat si pria itu sedang memberikan uang pada petugas parkir. Dan kemudian ia cepat melaju meninggalkan area pemakaman. Ricon segera menuju mobil kijang tua milik ayahnya yang sangat jarang dipakainya.
Setelah ia membayar parkir, segera Ricon melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup cepat. Ia ingin mengejar pria bermobil mewah tadi untuk memberikan kalung pria itu. Saat mobil pria itu dan mobil kijang tua Ricon memasuki area jalan tol, mulai melaju dengan lebih cepat. Ricon berpikir untuk mengikuti mobil itu dan akan memberikannya saat mobil itu berhenti nanti.
Mobil pajero sport milik Rian dan kijang tua Ricon melaju cukup kencang, karena sedang berada di jalan tol. Tiba-tiba saja mobil Ricon ditabrak oleh sebuah truk pick up sedang yang mengangkut barang-barang itu. Kijang tua Ricon menghantam keras mobil Rian yang berada di depannya. Tabrakan beruntun pun tak terelakkan yang menimpa tiga mobil tersebut. Entah beruntung atau bagaimana, saat itu jalan Tol cukup sepi. Di depan mobil Rian tak ada mobil yang berjarak cukup dekat dengan mobilnya. Hanya tiga mobil tersebut yang terlempar dan terperosok menabrak pembatas tol di sebelah kiri. Namun tabrakan yang menghantam keras itu membuat tiga mobil itu hancur. Terutama mobil Ricon yang sudah tua.
Kepala Ricon terasa pening. Darah segar mengalir begitu deras di bagian atas kepala, lengan kanan-kirinya, dan kaki kirinya. Kakinya terasa kebas. Namun tangannya masih bisa bergerak pelan. Walau kesakitan menderanya, ia berusaha sekuat tenaga yang ia bisa untuk membuka kunci pintu agar bisa keluar. Klik! Saat bunyi kunci pintu mobil sudah terbuka, tiba-tiba kepala Ricon sangat berat. Pandangannya berputar, kemudian perlahan menjadi putih samar-samar tak jelas terlihat. Tapi telinganya seakan mendengar suara ayahnya berkata, “Bertahan, Nak. Kamu bisa.” Setelah samar terdengar suara yang begitu Ricon rindukan. Napasnya berembus pendek dan pelan. Air matanya mengalir di kedua sudut matanya. Matanya mulai berat dan terpejam. Kini tubuh Ricon sudah terkulai lemah.