Bab 13: koma

2475 Kata
Dengan sangat tergesa gesa Raiden berjalan sembari menggandenga tanga Sila, dari kejauhan mereka melihat Aira berjalan mondar mandir di depan pintu UGD. "Aira.." Aira menoleh menatap mereka berdua dan langsung memeluknya erat, "tante..ayah tante.." ucap Aira terisak. Sila memeluk Aira erat dan mengusap punggungnya untuk menenangkan, "berdoa sayang," ucap Sila. "Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Raiden. Aira menggelengkan kepala, saat ini ia tidak ingin menceritakan apapun pada mereka berdua. "Hufft" Raiden menghela napas sembari duduk di kursi, ia mengusap kasar rambutnya. "Masalah datang silih berganti," ucap Raiden. Ia kembali teringat masa masa lalu saat ia harus merawat Layla di rumah sakit yang sama. Sekarang Raiden kembali berada di mana ia berjuang untuk kesembuhan Layla bersama Rico. Sila memperhatikan Raiden yang terlihat gelusah, ia melepas pelukannya dan menggandeng lengan Aira untuk ikut duduk di kursi. "Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini," ucap Sila. Kau tahu bukan? dulu Layla di rawat di sini..tiap hari aku gelisah dan cemas. Dan sekarang Rico?" "aku tahu..tapi bagaimana lagi..kita tidak tahu kapan musibah akan terjadi," jawab Sila. "Setiap saat kematian membayang bayangi hidup Layla, aku berusaha untuk tetap optimis..tapi kenyataannya?" "Aku tahu..kita berdoa untuk kesembuhan Rico." . Aira yang hanya mendengarkan rasanya ingin ikut bicara mendengar Raiden menyebut nama Layla yang di benci oleh Aira. Namun kali ini Aira memilih diam mencoba mencerna alur pembicaraan tentang Layla. "Aira jangan menangis sayang..berdoa.." Aira menganggukkan kepala, "iya tante." . "Ceklek!" Suara pintu ruangan dibuka dari dalam. Aira dan yang lain langsung berdiri dan mendekatti Dr.Kenzi yang baru saja keluar dari dalam ruangan. "Dok..bagaimana keadaan Rico?" tanya Raiden. Dr. Kenzi menghela napas panjang, "kecelakaan itu berakibat fatal, jadi kami harus melakulan operasi," ucap Dr. Kenzi. "Ya Rabb.." ucap Raiden mengusap wajahnya. "Apakah Aira atau kau yang akan bertanggungjawab untuk menandatangani beberapa berkas sebagai penanggungjawab Pa Rico?" tanay Dr. Kenzi. "Saya Dok," kata Raiden. "Baik..kalau begitu, mari ikut saya." Dr. Kenzi dan Raiden berjalan menuju ruangan administrasi. "Tante .." ucap Aira menatap wajah Sila..." "Sabar sayang, ayah kamu pasti baik baik saja." "Ini semua salahku..andai saja aku tidak keras kepala," ucap Aira pelan. "Tidak sayang, ini bukan salahmu..kau tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri. " Tapi tante.." "Lebih baik kau berdoa saja," ucap Sila membslai rambut Aira. Tak lama setelah Raiden menandatangani beberapa berkas, ia dan yang lain menunggu jalannya operasi *** Dua jam berlalu mereka menunggu dengan harap harap cemas, akhirnya Dr. Kenzi keluar dari ruangan menemui mereka. "Bagaimana Dok?" tanya Raiden langsung saat melihat Dr. Kenzi. "Operasi berjalan lancar, hanya saja pak Rico masih dalam keadaan koma. Kalian berdoa saja untuk kesembuhannya," jawab Dr. Kenzi. "Berapa lama Dok?" tanya Sila. "Tergantung tubuh pak Rico merespon obat obatan yang kami berikan, jika responnya baik maka pak Rico secepatnya sadar." "Terima kasih Dok." Raiden menunduk sesaat. Dr. Kenzi menganggukkan kepala, "kalau begitu saya permisi." Mereka menganggukkan kepala menatap punggung Dr. Kenzi hingga hilang dari pandangan. "Tante..ayah.." ucap Aira memeluk Sila. "Sabar sayang, kita sama sama berdoa, ya?" Aira mengangguk samar, ia merasa sangat bersalah telah mengakibatkan ayahnya kecelakaan. Aira melepas pelukannya, ia berjalan menghadap kaca jendela menatap Rico tengah berbaring dengan selang infus di tubuhnya. "Ayah..maafkan aku.." ucap Aira. Sila mendekati Aira dan merangkul bahunya menatap Rico dari arah jendela, "jangan berhenti berharap sayang." Raiden berjalan berdiri di belakang mereka menatap ke arah Rico, "dulu..di sini tempat aku menunggu Layla, sekarang terulang lagi," ucap Raiden. Sementara Aira hanya diam tatkala nama ibunya di sebut, keragu raguan hadir di dalam hatinya. Mengapa Raiden begitu sedih saat mengingat ibunya? "Aira..kami pulang dulu sebentar, nanti sore kami akan kembali kesini," ucap Sila. "Iya tante.." jawab Aira. Kemudian mereka melangkahkan kaki meninggalkan Aira sendirian. Sepeninggal mereka, Aira duduk di kursi menangkup wajahnya, "Ya Rabb..sembuhkan ayah," ucap Aira dalam doanya. "Aira? kau sedang apa di sini?" tanya Rei. Aira menurunkan tangannya menatap wajah Rei yang sudah berdiri di hadapannya., "kau lagi..kau mengikuti aku?" tanya Aira kesal. "Tidak, kebetulan saja aku ada di sini," jawab Rei. Tiba tiba saja ia duduk di samping Aira. Rei yang biasanya sombong tiba tiba saja berubah sedikit lebih lembut. "Siapa yang sakit Aira?" tanya Rei. "Ayah..ayah kecelakaan," jawabnya tanpa melihat ke arah Rei. "Bagaimana bisa?" tanya Rei. Aira menggelengkan kepala, lalu ia terdiam sembari menunduk. "Kau jangan sedih Aira, aku akan menemanimu di sini," ucap Rei ia menarik bahu Aira dan menyandarkan di bahunya. Aira terdiam memperhatikan sikap Rei tiba tiba saja berubah. Atau jangan jangan ini jebakan? pikir Aira. Tanpa Aira sadari, dari arah lorong rumah sakit Aditya berjalan perlahan menatap ke arah Aira yang menyandarkan kepalanya di bahu Rei. "Aira, kenapa kau melakukan hal itu di depanku?" gumam Aditya menghentikan langkahnya, lalu ia balik badan setengah berlari kembali keluar. Rei yang menyadari kehadiran Aditya tersenyum, "Aira, kau tunggu di sini sebentar..aku ada yang kelupaan," ucap Rei. Aira menarik kepalanya dari bahu Rei, ia anggukkan kepala. "Iya silahkan." Rei langsung berjalan menuju lorong rumah sakit menyusul Aditya. Dengan sangat tergesa gesa Raiden berjalan dengan menggandeng tangan Sila di lorong rumah sakit, dari kejauhan Raiden dan Sila melihat Aira yang berjalan mondar mandir di depan pintu UGD. "Aira..." Aira menoleh menatap Raiden dan Sila, Aira langsung menubruk Sila dan memeluknya, Tante...Ayah Tante" ucap Aira terisak. Sila memeluk erat Aira dan mengusap punggung Aira untuk menenangkan, "berdoa sayang," ucap Sila. "Bagaimana ini bisa terjadi Aira?" tanya Raiden. Aira menggelengkan kepala dalam pelukan Sila, ia tidak dapat mengatakan apa apa lagi. "Hufft" Raiden duduk di kursi, tangan kanannya mengusap wajahnya sendiri. "Masalah datang silih berganti," ucap Raiden, ia kembali teringat masa masa yang lalu saat ia harus merawat dan menjaga Layla di rumah sakit. Dan kini Raiden harus ada di tempat yang sama seperti dulu. Sila memperhatikan Raiden yang terlihat gelisah, Sila melepas pelukan Aira dan merangkul pundak Aira untuk duduk di kursi. "Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini, sayang," ucap Sila duduk di sebelah Raiden, sementara Aira di sebelah Sila. "Kau tahu?" Mata Raiden berkaca kaca. "Dulu Ibunya Aira, setiap hari aku gelisah, setiap hari aku deg degan dan sekarang Rico?" "Aku tahu sayang, tapi mau bagaimana lagi." Sila mengusap punggung Raiden, sementara tangan kanannya merangkul bahu Aira. "Setiap saat, kematian membayang bayangi Layla," ucap Raiden lirih. "Aku pikir hal ini tidak akan terjadi lagi." Raiden menangkup wajahnya. Masa lalu masih menyisakan duka di hati Raiden, hingga ia terlihat lebih sensitif dari sebelumnya, dan Sila mengerti itu. Aira hanya diam, ia hendak marah saat Raiden menyebut nama Layla, namun ia urungkan saat Raiden sedikit mengatakan tentang Layla yang berjuang di rumah sakit ini, tapi Aira belum mengerti apa yang di ceritakan Raiden. "Aira, jangan menangis sayang," Sila memeluk sesaat. "Berdoa untuk kesembuhan Ayah Rico." Aira menganggukkan kepala, "iya Tante..." "Ceklek!" suara pintu di buka dari dalam. Aira, Raiden dan Sila langsung berdiri dan menghampiri pintu yang terbuka. "Dok, bagaimana dengan Rico?" tanya Raiden menatap Dr. Kenzi. Dr. Kenzi menghela napas panjang, "kecelakaan itu sangat fatal, hingga kami harus melakulan serangkaian operasi," ucap Dr. Kenzi. "Ya Rabb..." ucap Raiden mengusap wajahnya. "Apakah Aira, atau Pak Rai yang akan bertanggung jawab untuk menandatangani beberapa berkas sebagai penanggungjawab atas hidup dan matinya Pak Rico?" Dr. Kenzi menatap Raiden lalu beralih menatap Aira. "Saya Dok," jawab Raiden. "Baik, kalau begitu ikut saya." Dr. Kenzi dan Raiden berjalan menuju ruangan administrasi. "Tante..." ucap Aira tengadahkan wajah menatap Sila dengan tatapan sendu. "Sabar sayang, Ayah kamu pasti baik baik saja." Sila membelai rambut Aira. Setelah Raiden menandatangani beberapa berkas, operasipun di lakukan. Aira, Raiden dan Sila menunggu jalannya operasi. "Tante, aku pulang dulu ya," ucap Aira memecah keheningan. "Aku mau ambil beberapa barang untuk keperluan Ayah nanti." "Iya sayang, kau hati hati di jalan," ucap Sila. "Kau pakai saja mobil Om kamu." Sila memberikan kunci mobil pada Aira. "Terima kasih Tante." Aira mengambil kunci mobil dari tangan Sila. Lalu ia balik badan dan melangkahkan kakinya menuju halaman rumah sakit. Sesampainya di halaman rumah sakit Aira langsung menuju mobil milik Raiden. Aira langsung membuka pintu mobil, namun dari arah belakang seseorang menarik bahunya hingga balik badan. Aira terperangah saat mengetahui sosok yang menarik bahunya, "Rei?" ucap Aira terkejut. Rei tersenyum miring dan menekan bahu Aira ke pintu mobil, "halo, gadis liar," ucap Rei berbisik di telinga Aira. "Menjauh dariku sialan!" Aira mendorong tubuh Rei hingga mundur selangkah ke belakang. "Kau cukup berani melawanku gadis liar," ucap Rei. "Aku memintamu masuk ke kampus, tapi kau malah tidak datang." Rei menyelipkan rambut di telinga Aira. Aira menepis tangan Rei dengan kasar, "apa perdulimu!" ucap Aira, kedua tangannya terulur mendorong tubuh Rei. Tapi Rei menangkap kedua tangan Aira dan menurunkannya. "Rupanya kau lebih suka di perlakukan kasar, bukan begitu?" Rei mengulurkan tangannya menyentuh d**a Aira dengan jarinya, namun sebelum jari Rei sampai ke d**a, Aira melayangkan tangan kananya dan menampar pipi Rei. "Plakkk!" Rei tersenyum mendapatkan tamparan dari Aira. "Dasar pecundang!" seru Aira, lalu ia balik badan dan tangannya membuka pintu mobil. Dengan sigap Rei menutup kembali pintu mobil dan merapatkan tubuhnya di tubuh Aira. Aira tidak dapat bergerak dan dadanya serasa sesak terhimpit diantara mobil dan tubuh Rei, namun Rei tertawa kecil di telinga Aira. "Kau yang lebih dulu menantangku, gadis liar," bisik Rei. Aira begidik ngeri, " menjauh dariku sialan!" hardik Aira. Namun Rei tidak memperdulikannya, tangannya terulur memeluk pinggang Aira, wajahnya ia dekatkan di wajah Aira hingga hembusan napasnya terasa menggelikan di telinga Aira. "Kau sudah masuk dalam perangkapku tikus kecil," ucap Rei mengecup telinga Aira sesaat, lalu ia menarik tubuhnya dari tubuh Aira, "bagaimana Aira?" Rei membenarkan jasnya. "Cuih!" Aira menanggapi dingin ucapan Rei, lalu ia bergegas membuka pintu mobil dan duduk di dalam, di balik kaca mobil Aira memperhatikan Rei sesaat, lalu ia menjalankan mobilnya meninggalkan rumah sakit. Rei tersenyum menatap mobil Aira hingga hilang dari pandangan matanya, "aku harus segera menemui Dr. Kenzi." Rei melangkahkan kakinya memasuki rumah sakit. *** Dua jam berlalu, akhirnya Dr. Kenzi selesai melakukan operasi, lalu ia keluar dari ruangan menemui Raiden dan Sila. "Bagaimana Dok?" tanya Raiden cemas. "Operasi berjalan lancar, hanya saja Pak Rico masih koma," jawab Dr Kenzi. "Berapa lama Dok?" tanya Sila. "Tergantung dari tubuh Pak Rico merespon obat obatan yang kami berikan, jika responnya baik maka Pak Rico akan secepatnya sadar." Raiden dan Sila saling pandang sesaat, "terima kasih Dok." Dr. Kenzi menganggukkan kepala, "kalau begitu saya tinggal dulu, ada klien yang mau bertemu saya," ucap Dr. Kenzi. Raiden dan Sila menganggukan kepala, menatap punggung Dr. Kenzi hingga hilang di balik koridor. Raiden dan Sila hanya bisa melihat Rico dari balik kaca jendela, "dulu, di rumah sakit ini aku menunggu Layla dengan perasaan cemas. Dan sekarang terulang lagi," ucap Raiden menatap ke dalam ruangan. Sila menoleh ke arah Raiden dan mengusap punggungnya menenangkan, "aku tahu sayang, kita berdoa saja." Sila mengalihkan pandangannya ke dalam ruangan tempat Rico terbaring lemah. Sila da Raiden mengalihkan pandangan ke arah lorong rumah sakit, nampak Aira setengah berlari mendekat ke arah mereka dengan tas ransel di punggungnya. "Tante, Om, bagaimana dengan Ayah?" tanya Aira. "Ayah kamu koma, Ra," jawab Sila menundukkan kepala sesaat. "Apa?" Aira melebarkan matanya, "tapi, Ayah baik baik saja bukan?" Aira melangkahkan kakinya hendak membuka pintu. Namun tangannya di cekal Raiden. "Aira..." Aira menoleh menatap Raiden. "Ayahmu belum boleh di jenguk, sayang," ucap Raiden. "Tapi Om?" Raiden menganggukkan kepala, tangannya terulur merangkul pundak Aira dan membawanya duduk di kursi, "sabar Aira, kau tunggu saja dulu di sini sampai Dokter mengijinkan kau masuk." Aira menganggukkan kepala. "Aira, Tante sama Om pulang dulu, nanti malam kami akan kesini lagi," Sila mengusap rambut Aira. 'Iya Tante," jawab Aira. "Kabari kami kalau ada apa apa." Raiden berdiri menatap Aira. "Terima kasih." Sila dan Raiden tersenyum, lalu Raiden menarik tangan Sila dan melangkahkan kakinya meninggalkan Aira sendirian duduk di kursi. Sepeninggal Raiden dan Sila, Aira melepaskan tas ranselnya dan meletakkan di kursi. Aira mendesah, sembari menangkup wajahnya. "Ayah, maafkan Aira," ucapnya lirih. "Aku berjanji tidak akan nakal lagi Yah." "Hahahahaha!" Aira menurunkan tangannya, "kau lagi?!" pekik Aira menatap Rei yang sudah berdiri di hadapannya. "Kau sedang apa di sini?" tanya Rei tetap dalam posisinya. "Bukan urusanmu." Aira memalingkan wajahnya. Rei sedikit membungkukkan badan mengulurkan tangan meraih dagu Aira supaya menatap ke arahnya, "apa kau membenciku?" Rei tersenyum sinis menatap kedua bola mata Aira. Aira menepis tangan Rej dari dagunya, "bukan urusanmu." Rei menarik lengan Aira supaya berdiri, "sedalam apa kau membenciku," Rei menatap mata Aira. "Aku lebih membencimu." Aira tersenyum miring dan memalingkan wajah sesaat, "aku tidak tahu apa masalahmu," ucap Aira. "Sepertinya kau terkena gangguan jiwa." Aira menepis tangan Rei dari lengannya. "Terserah kau mau bicara apa," bisik Rei di telinga Aira. "Tapi kau adalah buruanku Aira, dan kau tidak akan lepas dariku." Aira memajukan wajahnya menatap horor Rei, "bodo amat!" Aira kembali menarik wajahnya. Rei mencengkram tangan Aira, "kau menantangku, Aira." "Sakit Rei." "Lepaskan Aira!" seru seseorang dari belakang, menepuk pundak Rei. Aira memiringkan wajahnya menoleh ke arah suara, "Samuel?" ucap Aira. "Oho, ada pahlawan datang," ejek Rei menatap Samuel. "Kau tidak punya malu, beraninya dengan perempuan," balas Samuel geram. "Hahahaha!" Rei menyilangkan kedua tangannya di d**a. "Gadis liar seperti dia harus di perlakukan kasar, jika tidak dia akan seperti Ibu dan Ayahnya." Aira dan Samuel hanya diam dengan tatapan benci. "Oya, aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni kalian," ucap Rei menurunkan tangannya. "Kau!" Samuel mengepalkan tinjunya ke arah Rei, namun Aira mencegahnya. "Cukup Sam, biarkan dia pergi," ucap Aira menatap tajam Rei. "Dia gila, tidak perlu meladeninya lagi." "Hahahahaha! Rei tertawa sambil balik badan dan melangkahkan kakinya meninggalkan Aira dan Samuel. " Aku tidak tahu masalah dia apa," ucap Aira. "Tidak perlu kau pikirkan Aira," jawab Samuel. "Duduk, Ra." Samuel dan Aira duduk di kursi, "oya, kau sedang apa di sini?" tanya Samuel. "Ayahku kecelakaan Sam," ucap Aira lirih. "Dan sekarang koma." Samuel mendekap mulutnya, "Ya Rabb," ucapnya. Aira menganggukkan kepala, "ini semua salahku," ucap Aira matanya berkaca kaca. "Kalau saja aku tidak keras kepala, mungkin Ayah tidak mengalami hal ini, Sam." Aira tidak dapat membendung air matanya lagi. Samuel menarik bahu Aira dan ia rebahkan di pundaknya, "kau tidak perlu menyalahkan dirimu, Ra." "Aku tidak mau kehilangan Ayah..." "Ssst, jangan bicara seperti itu, Aira." Samuel mengusap rambut Aira. Samuel tidak mengerti, hatinya selalu berdebar saat berdekatan dengan Aira, ada rasa sayang dan ikatan batin yang kuat di rasakan Samuel. Tapi entah itu apa, apakah yang di rasakannya benar rasa cinta? atau ada hal lain? Aira dan Samuel tidak menyadari kalau Aditya sudah berdiri di samping mereka. "Aira..." Aira menarik kepalanya dan menatap ke arah Aditya, begitu juga Samuel. "Adit?" Aira berdiri mendekati Aditya. Aira mengerutkan dahi menatap Aditya yang tiba tiba saja berubah sikap. Aditya mundur perlahan dan langsung balik badan bergegas meninggalkan Aira dan Samuel. "Loh, Aditya kenapa?" gumam Aira menatap punggung Aditya. "Adit!!" pekik Aira. Namun Aditya terus melangkahkan kakinya hingga hilang dari pandangan Aira. "Adit kenapa Sam?" tanya Aira menoleh ke arah Samuel. Samuel mengangkat bahunya, "tidak tahu Ra," jawab Samuel. "Aneh," gumam Aira
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN