Main Film Dewasa?
Ruang makan keluarga yang biasa mendatangkan kebahagiaan, lantas berubah seratus delapan puluh derajat.
Meski interior yang disajikan sangat mewah dengan tiga kursi dan sebuah meja panjang berwarna cream, tidak serta-merta menghangatkan penghuni di sana.
Kara mendesah kasar, lalu berusaha menatap ke dalam mata mamanya. Mencari secercah harapan di sana. “Tapi, Ma … Mama, kan, sudah tahu kalau Kara tidak suka belajar.”
“Kamu harus berubah, Nduk,” jawab sang mama, Gendhis, pada putri semata wayangnya. “Kamu, kan, generasi milenial. Masa nggak kuliah? Kuliah itu penting, lho, buat masa depanmu.”
“Kan, Kara udah jadi aktris! Ngapain kuliah, coba? Kara mau fokus di kerjaan Kara aja,” jawab Kara tidak mau kalah, tetap kekeh pada pendiriannya. Sedari dulu, Kara Tamara, memang hanya memiliki mimpi menjadi seorang top aktris. Dia masih berusaha merintis karier dan baru empat kali membintangi film layar lebar dan dua sinetron sejak lulus SMA sampai sekarang.
Dia memang sangat cantik dan dianugerahi visual mendekati sempurna. Tubuh setinggi 168 cm, kulit putih mulus yang membuat siapa pun insecure, labium tipisnya selalu lembab sebab dipolesi lipgloss tiap hari. Belum lagi, hidung mancung dan pipi tirusnya selalu mengalihkan perhatian para kaum adam kala melihatnya. Oh ya, jangan lupakan surai cokelat lurusnya yang sepanjang pinggang!
Mungkin, Kara memang sudah dilahirkan dan ditakdirkan untuk menjadi bintang. Namun, entah nasib sial apa yang mengakibatkannya selama hampir enam bulan ini, belum mendapatkan projek apa pun. Branding name-nya tidak pernah masuk nominasi top 50 aktris setiap tahun. Dia seperti terlupakan dan lenyap dari peredaran film-film layar lebar di masyarakat.
Instagramnya juga sepi, hanya punya 3 juta followers. Itu termasuk angka yang sangat kecil bagi seorang aktris yang sudah debut kurang lebih enam tahun. Entah gerangan apa yang mengakibatkan nasib Kara begitu sial meski visualnya sangat menawan.
“Tapi, kan, kamu udah hampir enam bulan ini belum dapet projek lagi, Nduk.”
Jleb!
Entah kenapa ucapan mamanya begitu mencelus sampai d**a. Kara ingin mengelak, tapi tidak bisa. “Ya, iya sih, Ma. Namanya juga, kan, aktris. Nggak selalu melulu dapet projek film. Positive thinking, aja. Mungkin Kara disuruh rehat dulu, kali.”
“Udah kelamaan, lho, kalo rehatnya sampe enam bulan, Kar.” Kini papanya ikut bersuara. Bagaimana pun, tidak ada orang tua yang ingin anaknya kelihatan ‘mengganggur’ apalagi sampai hampir enam bulan, kan?
“Hampir, Pa!” Kara meralat. “Ya, udah, deh. Nanti coba Kara tanyain sama Dika buat bantu nyariin projek film lagi. Teman Dika, kan, banyak yang sutradara.”
“Selagi nunggu projek dari Dika, nggak ada salahnya, kan, kalo kuliah? Kamu kerja jadi aktris, itu bagus. Tapi bakal lebih bagus lagi kalau berilmu. Cita-cita kamu lebih terjamin.” Mama Kara kembali menyerocos. “Toh, jadi aktris itu ada masanya, lho, Nduk. Kalau udah nggak masanya kamu terkenal, kamu nanti bisa cari kerjaan lain. Mama yakin, nggak ada ruginya kalo kuliah.”
“Huft, iya deh, Ma. Nanti Kara pikir-pikir lagi,” jawab Kara final. Dia paling malas harus mendebati orang tua. Kara paham, kalau tidak menuruti kata orang tua akan dicap menjadi anak durhaka. Namun, Kara hanya ingin mimpinya didukung. Apakah dia harus membuktikan diri dulu, baru bisa dipercaya? Apakah Kara harus masuk menjadi salah satu nominasi top aktris tahun ini? Apakah Kara bisa?
Padahal mama dan papa Kara paling paham kalau sewaktu zaman sekolah, Kara begitu malas belajar dan selalu mendapatkan peringkat sepuluh dari bawah. Masa sekarang malah disuruh kuliah? Bukannya yang ada, nantinya Kara malah makin ogah-ogahan mengerjakan tugas dari dosen? Kuliah itu memiliki komitmen yang lebih tinggi daripada sekolah.
Jangan-jangan penyebab Kara sulit mendapat projek film layar lebar lagi … karena mamanya tidak begitu sreg putrinya bekerja di industri perfilman?
Aneh, bukan? Biasanya orang lain malah senang kalau tahu anaknya menjadi aktris, tapi mamanya sangat berbeda dan mementingkan pendidikan di atas segalanya.
Entahlah, Kara tidak paham lagi.
“Top actress award tahun ini … kira-kira tanggal berapa, Kar?” tanya papa menyeletuk. Kara lantas menoleh pada sang papa. Wajah yang sudah renta dan paruh baya itu, sangat ingin dia banggakan.
“Mungkin tanggal 23 September, Pa,” jawab Kara.
“Kara nggak kepengin emangnya masuk jadi top aktris?”
Kara menyengir, tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Labium tipisnya merekah. “Penginlah, Pa!”
“Hahaha, yaudah. Semangat, dong, makanya!”
“Iya, Papa.”
Sang mama merajuk melihat hal itu. Sejak dulu, papa dan mama Kara memang berbeda. Mamanya menginginkan Kara berkuliah, sementara sang papa lebih memilih mendukung apa yang diinginkan sang putrinya saja.
Namun, meski begitu, Kara tetap menyayangi mereka dan bertekad ingin membanggakan keduanya.
—
“Gitu, Dik. Gimana, nih? Masa lo belum dapet projek baru buat gue?” keluh Kara, dia menceritakan semua kejadian itu melalui telepon. Orang di seberang, Dika, hanya terkekeh kencang. Mendengarnya, Kara langsung memanyunkan labium. Dika memang terkadang suka bercanda, tetapi tidak tahu situasi dan kondisi.
Sekarang, Kara sedang kesal kuadrat tetapi malah ditertawai.
“Sekarang lo udah lupa temen ya, Dik? Mentang-mentang udah megang delapan artis lain, jadi semena-mena lo sama gue!” dongkol Kara jengkel.
“Hahaha, enggaklah, Kar. Lo tetep artis pertama gue, masa bisa gue nggak merhatiin lo? Emang segitunya lo pengen jadi top aktris?” tanya Dika, sang manajer Kara. Sejak SMA, Dika selalu menemani Kara mengikuti casting-casting dari berbagai Production House. Dia adalah sahabat terbaik Kara. Setelah Kara berhasil goal menjadi salah satu pemain layar lebar, Dika diresmikan menjadi manajer Kara. Sekarang, Dika memiliki agensi manajemennya sendiri yang bernama Pang Management.
“Ya, iyalah!”
“Emang, lo udah yakin, Kar, siap jadi top aktris?”
“Ya, siaplah! Itu impian gue, Dika!” ketus Kara, sepertinya Dika sedang benar-benar mengerjainya.
“Gue saranin sih, jangan,” ungkap Dika membuat Kara lantas mengernyit keheranan. Masa sang sahabat sejati tidak mau mendukung sahabatnya meraih mimpi, sih?
“Lah, kenapa emangnya, Dik?” tanya Kara, bermaksud memprotesi ucapan Dika yang terdengar aneh.
“Ya, nggak cocok aja sama lo, Kara,” ucap Dika lagi. Kara memegangi surai cokelat panjangnya, rasa ingin mengamuk meningkat drastis. Dika benar-benar sedang menguji emosi, sayangnya Kara tidak tahan dan ingin meledakkannya sekarang juga!
“Dik! Maksud lo apa, sih?” sembur Kara akhirnya. “Kalo ngomong tuh, yang jelas, kek! Jangan bertele-tele gitu! Udah tahu otak gue Pentium 5, malah lo ajak gue muter-muter!”
“Hahaha, Kara-Kara!” Dika menggeleng gemas, meski tahu Kara tidak bisa melihatnya. “Lo, tuh, ya! Dari SMA sampe sekarang kagak berubah-ubah. Padahal udah 24 tahun.”
“Bodo amat.”
“Yaudah kalo lo emang maksa, sebenernya ada, sih projek oke buat lo. Salah satu temen sutradara gue, Bryan, lagi mau bikin film layar lebar yang kayanya bakal ngasi impact bagus buat masuk top aktor dan aktris tahun ini.”
“Serius lo?”
“Kar, jangan dipotong dulu, apa!”
Kara menyengir. Maklumlah, saking semangatnya hampir menyentuh mimpi yang mulai tampak, Kara sampai memotong ucapan Dika. Untunglah, Dika sudah mengenalnya selama delapan tahun, jadi bisa memahami tabiat perempuan itu.
“Iya, maaf-maaf.”
“Terus denger-denger sih, aktor yang bakal diundang ikut castingnya itu top aktor 10 tahun kemarin!”
Jantung Kara berdegup kencang, membayangkan dirinya bermain peran dengan salah satu top aktor. Itu sudah pasti akan meningkatkan popularitasnya di mata masyarakat.
“Siapa aktornya?”
“Denger-denger sih, Jehan alias Jeremy Handoko.”
Deg! Kini, napas Kara menjadi tidak beraturan. Siapa yang tidak kenal dengan Jehan? Dia adalah salah satu aktor tampan yang sudah langganan menjadi top aktor di tiap tahunnya, sudah membintangi puluhan film pula dan semuanya best seller!
“Lo tertarik nggak, Kar?”
“I … iya, tertariklah.”
Dika menarik senyum, menyadari Kara sangat bersemangat. “Nah! Cuma masalahnya ada satu, nih, Kar.”
“Apa, tuh?”
“Lo siap nggak main film dewasa sama dia?”
“Apa lo bilang? Film dewasa?!”