Dilema

1321 Kata
Ambisi Kara begitu menggebu-gebu. Dia ingin menjadi top aktris dan membanggakan kedua orang tua. Dalam hati, Kara sangat berharap tahun ini bisa menjadi salah satu top aktris 50. Sekadar masuk nominasinya saja, juga tidak apa-apa. Sekarang, Kara sedang berdiam diri di sebuah taman. Taman itu bernama Semicolon, tidak begitu jauh dari rumah. Hanya sekitar dua puluh lima menit dengan menggunakan mobil sedan Honda Civic berwarna silver saja dengan kecepatan sedang, Kara sudah sampai di sana. Di sana, banyak sekali pepohonan hijau dan udara sejuk serta berbagai bangku panjang untuk pengunjung. Meski begitu, pikiran Kara sudah terbang ke mana-mana. Seolah tidak tertarik menikmati suasana alam sama sekali, perasaannya resah dan gundah. “Sorry ya, Ra. Gue agak telat.” Kara lantas tersadar dari lamunan kala mendengar suara seseorang yang familier itu dan langsung bangkit dari duduknya. Sebelah tangannya terulur untuk mengajak Dika bersalaman, Dika tersenyum kecil lalu membalas uluran itu. Setelahnya, mereka duduk bersama. “Nggak papa, Dik,” jawab Kara berusaha santai. Meski sebenarnya setelah melihat Dika, jantung Kara semakin berdegup kencang. Mau bagaimana pun, pertemuan ini sudah direncanakan mereka sebelumnya. Dika, sang manajer Pang Management, akan segera menjelaskan film layar lebar yang akan menjadi salah satu projek besar teman sutradaranya. “Jadi gini, Ra … Film yang lagi otw digarap sama temen gue, Bryan, itu judulnya ‘Oh, My Crush!’ Nah itu, tuh, film romantis, sih. Kayak film pada umumnya aja, tentang cewek dan cowok. Cuma … emang genre-nya dewasa, sih,” lirih Dika memelankan suara, sebab takut jika orang-orang di sekitar mereka mencuri dengar ucapannya mengingat Kara adalah seorang aktris walau tidak begitu terlalu popular. Kara mengangguk berusaha memahami ucapan Dika. “Terus … filmnya tentang apa?” “Jadi ceritanya, ada cewek namanya Bella. Dia ini seorang bankir yang kegep sama bosnya suka main di kelab malam. Nah bosnya tuh, namanya Tyson. Dia terpana gitu sama Bella karena hot terus seksoy, abis dah pokoknya!” Dika berseru sambil menggebu-gebu. Senyum secerah mentari tidak lenyap sama sekali dari labiumnya, bahkan giginya yang putih nampak dipamerkan. Kara mengangguk lagi, wajahnya seolah menunjukkan ekspresi penasaran dan ingin Dika meneruskan cerita. Namun, Dika malah menyodorkan sebuah map besar di depan wajah Kara. Map besar itu berisi tumpukan file skenario film ‘Oh, My Crush!’ “Apaan, tuh?” tanya Kara, pandangannya tidak lepas dari map besar tersebut. Dika memutarkan bola mata, mulai gemas. “Selebihnya lo baca sendiri aja, deh, Kar.” Mengerti maksud Dika, tangan Kara terulur untuk mengangsurkan map merah tersebut dari tangan Dika. Setelahnya, Kara membukanya dan memperhatikan beberapa file draft skenario tersebut. Dika memberi Kara waktu untuk membaca dan meresapi isi jalan cerita skenario yang ditulis penulis skenario berinisial RSP tersebut. Sekitar sepuluh menit Kara membaca, sudah berbagai respons tampak dari wajahnya. Dari mulai senyum mengembang sampai tercengang dan segala reaksi lain. Begitu usai, Kara langsung menatap Dika dengan wajah horor. “Dik ….” “Iya, Kar?” “Ini sih … gila,” ungkap Kara lemas. Dika menarik senyum miring. “Ya, mau gimana ya, Kar? Menurut gue ini tuh cara yang bagus banget kalo lo mau langsung naik ke top aktris!” Kara termenung. Di dalam film tersebut, banyak sekali adegan-adegan panas yang akan dilakukan tokoh pria dan wanitanya. Sedari dulu meski terjun ke dunia perfilman, Kara sangat anti dengan hal begituan. Idealismenya begitu kuat untuk hanya memerankan film-film yang ‘aman’ ditonton. “Tapi … Dik, lo, kan, tahu kalo gue nggak bisa main film yang beginian,” lirih Kara, nuraninya merasa enggan. Napasnya berderu panas. Dilema. “Katanya lo mau jadi top aktris, Kar! Lo tahu, kan, kalo top aktris 10 tahun kemaren itu semuanya udah pernah meranin film dewasa? Nggak usah munafiklah! Kalo lo main film ‘begituan’, pasti bakal cepet dikenal!” tekan Dika membuat Kara memelotot tidak percaya dan langsung memegangi surai panjangnya. Memang awalnya Kara meminta Dika untuk mencarikan projek film layar lebar baru karena sudah hampir enam bulan tidak ada kegiatan. Namun, Kara sangat merasa berat jika harus bermain film romantis dengan rating dewasa. Meski umurnya sudah legal yakni 24 tahun, tetapi yang namanya tidak nyaman dan prinsip tidak mengenal umur, bukan? “Tapi Dik, maksud gue juga bukan yang kayak begini. Kan, lo bisa nyariin gue film yang lain, yang lebih safe gitulah,” sanggah Kara. “Udahlah, Kar. Ikutin aja, sih! Apa susahnya? Toh, ini juga belum fix dan masih bisa diubah,” cibir Dika. Kara malah semakin terkejut mendengar ucapannya yang seperti itu. Sungguh sangat berbeda dari yang Kara kenal dulu. Setelah enam bulan jarang bertemu, apa yang mengubahnya? “Ini belum fix final draft?” Dika menggeleng, emosinya mulai mereda. Kara merenung panjang, tidak mau membuat Dika terpancing lagi. Bagaimana pun, di luar dari hubungan manajer-aktris, Dika juga merupakan sahabat Kara sejak SMA. Kara tidak ingin kehilangannya karena sebuah konflik tidak bermutu. Kara berusaha berpikir positif, mungkin Dika sedang ada masalah makanya jadi mudah emosi. “Ya udah, Dik. Gue pertimbangin dulu. Casting-nya kapan emang?” Dika tampak berpikir sebentar mendengar pertanyaan Kara, bahkan sampai mengangsurkan gawai di tas dan melihat tanggal fix casting film ‘Oh, My Crush!’ “Tiga hari lagi, Kar. Tanggal 26, langsung di Gedung Attacca Production House-nya,” jawab Dika dengan nada rendah, aura emosi sudah lenyap darinya. Kara kemudian menghela napas panjang dan kemudian berkata, “Oke. Kalo gitu, gue pikir-pikir dulu.” “Oke, Kar. Kalo lo emang setuju, pas hari H langsung ke kantor aja. Nanti biar di-make up-in dulu sama anak-anak. Ntar abis itu gue yang anterin lo deh ke sono.” “Oke. Siap, Pak Manajer!” Kara menyeru sambil membercandai Dika dengan memasang telapak tangan ke atas dahi seolah memberi hormat. “Haha elah lo, santai aja napa! Kayak sama siapa aja! Ya udah. Gue balik, ya!” “Yoi, cuy! Tiati lo!” “Sip, Mbak Calon Aktris Top 10!” Kara tertawa mendengar gurauan Dika seraya mengaminkan dalam hati. Setelah melayangkan high-five, mereka pun resmi berpisah menaiki mobil masing-masing. — Setelah Kara berdiskusi dengan orang tua, sepertinya tidak ada masalah. Mereka berusaha memahami Kara dan mengizinkan. Apalagi katanya draft skenario itu belum final dan masih bisa diubah lagi saat nanti sudah dilakukan penyaringan aktris dan aktor melalui casting. Sekarang masalah Kara bukan lagi pada kedua orang tuanya, melainkan seseorang. Orang itu cukup berarti bagi hidup Kara, yakni Awan Brandon. Pria berwajah chubby dengan surai messy hair itu adalah kekasihnya. Mereka sudah berpacaran lebih dari enam tahun sejak duduk di bangku SMA. Masalahnya, Awan itu sangat posesif! Selama ini, Awan sudah berusaha menurunkan egonya dengan mendukung Kara berkarier di bidang perfilman. Namun … jika filmnya jelas-jelas dimasukkan ke daftar film rating dewasa, apa Awan akan mengizinkan? Kara berusaha menarik napas dalam-dalam lalu mulai mengetikkan sesuatu di roomchat-nya bersama Awan. Boo, aku mau ngomong sesuatu. Penting, pake banget! Telepon bentar bisa, nggak? Boo adalah panggilan kesayangan Kara ke pacarnya. Setelah sepuluh menit menunggu, Awan membuka pesan tersebut dan langsung membalas. Ntar dulu, ya. Sepuluh menit aja. Aku lagi nugas. Kara mendesah pasrah. Dia berusaha bersabar dengan sikap Awan. Sudahlah slow response, masih harus dibuat menunggu pula. Namun, Awan menepati janji. Kara lantas segera mengambil kesempatan itu untuk tancap gas meneleponnya! Setelah menyapa sebentar, Kara langsung to the point. “Boo, jadi gini … hm … aku mau minta izin.” “Apa?” “Kalau misalnya aku … main film sama aktor Jehan boleh, nggak?” “Ya kamu, kan, emang aktris, Kara. Sudah pasti bakal beradu peran sama aktor-aktor ganteng, kan? Gapapalah, udah biasa juga. Mau gimana lagi? Yang penting kamu sadar aja, kalo kamu punya aku!” tekan Awan pada setiap kalimatnya. Dia benar-benar tidak mau seorang pun mengambil Kara darinya. “Tapi masalahnya ….” Ucapan Kara terputus, dia benar-benar tidak sanggup membayangkan reaksi apa yang akan ditunjukkan Awan. “Apa?” “Filmnya itu … film ber-genre dewasa, Boo. 18+ gitu, deh. Banyak adegan ‘gitu’-nya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN