“Filmnya itu … film ber-genre dewasa, Boo. 18+ gitu, deh. Banyak adegan ‘gitu’-nya.”
“Maksud kamu apa, Kar?” tanya Awan di seberang, terkejut mendengar penuturan Kara. Sementara Kara malah sibuk menggaruki surai cokelat panjangnya, tidak tahu bagaimana cara menjelaskan. Kara tahu bahwa sebenarnya Awan memahami itu. Bagaimana pun, Awan adalah pria dewasa.
Namun, kenapa pula harus dipertanyakan lebih mendetail seperti itu? Kara malu, tahu!
“Kara! Maksud kamu apa?” ulang Awan masih penasaran, dia tidak sabaran menunggu jawaban dari kekasihnya. Berharap Kara mau membuka diri dan menjelaskan mengenai hal-hal yang terjadi padanya. Namun, Kara masih membisu kaku.
“Kara! Hei, aku ngomong sama kamu, ini!”
Kara menunduk, sudah jelas kalau begini Awan pasti tidak mengizinkan, kan?
“Iya, Boo,” jawab Kara akhirnya, hati perempuan itu sangat resah. Matanya melihat ke segala arah, menimbang apa saja yang akan diutarakan. Rungunya terasa sangat sakit mendengar cara memanggil Awan yang tidak biasa.
“Maksud kamu apa, kok film ber-genre dewasa?” tanya Awan lagi, kali ini dengan nada yang jauh lebih melunak. Tidak mau membuat Kara takut padanya. Selama ini Awan sudah berusaha mengerti dengan semua pekerjaan Kara yang harus beradu peran dengan pria, apa kali ini dia harus mengalah lagi?
“Iya, ya … masa kamu nggak paham?” Kara mendesah lagi. Perempuan itu menatap langit-langit kamar pada akhirnya, berharap bisa meminta bantuan jawaban pada atap di sana.
Awan bingung, speechless. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. “Kar, kamu tahu, kan, selama ini aku udah selalu support kamu … tapi aku nggak bisa kalau ….”
“Iya, aku paham,” tutur Kara memotong, sebab bagaimana pun mana ada pria yang mengizinkan perempuannya ‘melakukan sesuatu’ dengan pria lain walau hanya sebatas beradu peran di film?
“Jadi kamu paham, kan? Jangan dilakuin! Aku nggak suka!”
Lagi-lagi sikap protektif dan posesif pria itu muncul lagi, Kara sudah gerah. Meski selama ini Awan berkata mendukung, kenyataannya Awan tidak terlalu seperti itu. Akan selalu ada perdebatan di antara mereka sebelum Kara benar-benar terjun pada sebuah projek film.
Telepon mereka lalu berakhir di sana saja … tanpa Kara mampu membalas apa pun lagi.
***
Gedung pencakar langit dengan arsitektur bergaya modern itu tampak begitu kokoh. Bangunan dengan dua puluh lantai itu merupakan tujuan akhir Kara setelah melalui berbagai dilema yang tidak berujung.
Sudah dua hari kemarin, Kara berpikir-pikir. Memang awalnya dia sangat menolak dan tidak bisa menolerir segala bentuk permainan film yang melibatkan adegan dewasa, tetapi … mengingat impiannya sebagai top aktris seperti akan di depan mata, Kara kembali menimbang.
Meski berat juga karena baru kali ini Kara mengabaikan perintah sang pacar yang posesif.
Berakhirlah dia di gedung ini, salah satu yang terbesar di Jakarta Barat. Usai memarkirkan mobil sedan Honda Civic silver kesayangannya, Kara lantas turun dan melangkah keluar. Dengan mengenakan heels berwarna merah yang sedikit memamerkan kaki jenjangnya, suara ketukan sepatu itu mampu membuat siapa pun yang ada di sana menoleh ke arahnya.
Kara memang bisa menarik perhatian orang dengan visual apiknya, tapi lagi-lagi … dia seperti terkena kutukan karena tidak pernah masuk nominasi top aktris walau sudah debut enam tahun.
Melihat kedatangan Kara, Dika lantas menarik senyum puas. “Dateng juga lo, Kar.”
Kara memegangi ujung surai cokelatnya, gugup. Meski begitu, dia tetap memperhatikan orang-orang di sekitar. Pang Management adalah rumah bagi setiap artis yang dimanajemen Dika.
Namun, kantor yang saat ini didatangi Kara hanya diisi dengan puluhan meja dan kursi kantor dengan sekat-sekat kaca. Tiap-tiap meja diisi komputer dengan karyawan-karyawan Dika yang mengoperasikannya.
Sudah lama juga Kara tidak mengunjungi kantor, karena dia hanya melakukannya tiap ada rencana projek film baru.
“Iya, Dik. Gila, udah lama banget gue nggak ke sini. Banyak perubahan juga, ya!” puji Kara takjub. Bagaimana pun, dia sangat terkejut melihat kesuksesan Dika yang awalnya hanya memiliki satu aktris saja.
“Haha, makanya sering-sering main dong ke sini!” ledek Dika sambil menjulurkan lidah, membuat Kara terkekeh. Tanpa berbasa-basi, Dika mengarahkan Kara ke ruangan Make Up Artist yang berada di lantai tiga. Dengan cermin besar menjulang dipenuhi lampu-lampu cantik membuat siapa pun terpana, Kara melangkah ke dalamnya.
“Halo!” sapa seseorang yang diketahui Kara bernama Eisa, Make Up Artist baru di kantor Dika. MUA yang lama enam bulan lalu sudah mengundurkan diri.
“Halo, cuy! Nih tolong bantu ya temen gue, Kara, dia mau ikut casting film ‘Oh, My Crush!” perintah Dika membuat Eisa menggangguk paham. Dika lalu menaik-turunkan alis, Kara merasa risi melihatnya. “Jangan lupa dibikin yang wow, cetar badai, dan bikin sutradaranya langsung pangling, yak!”
Kara mencebikkan labium tipisnya, lalu Eisa pun mengangguk kembali dan memperhatikan bentuk wajah Kara. Dia akan memberikan yang terbaik untuk salah satu aktris besutan manajemen Dika.
—
Setelah menaiki mobil Toyota Altis berwarna hitam milik Dika, kini Kara sudah sampai di depan salah satu rumah produksi perfilman terbesar di Indonesia, yakni Attacca Production House. Dimiliki Yeny Aditya dengan saham melimpah di mana-mana, dipastikan bahwa siapa pun aktor dan aktris yang bermain film besutan rumah produksi itu, pasti akan cepat menggenjot popularitasnya.
Pipi Kara agak semerah tomat karena baru pertama kali berpenampilan mencolok seperti ini. Eisa mendandaninya dengan softlens biru terang dan labium dipoles lipstick merah menyala. Seakan belum cukup, Kara dipakakaikan tank top crop berwarna hitam yang memamerkan perut rata miliknya, sangat sensual dan menggoda.
Dika melirik Kara sebentar, “Yuk?”
“Iya, Dik,” jawab Kara seraya mengangguk. Begitu mulai berjalan memasuki lantai dua, pandangan Kara langsung tertuju pada Jehan yang berada di dekat sutradara. Dialah Jeremy Handoko, salah satu top aktor 10 pada tahun kemarin. Perbedaan tinggi sepuluh senti membuat Kara meneguk saliva membayangkan rasanya jika beradu peran dengan Jehan dalam film dewasa.
Dengan surai gondrong seleher blonde miliknya yang mampu memanaskan hati kaum hawa yang melihatnya, ditambah kulit putih bersih membuat visualnya seolah bak malaikat yang turun ke bumi. Aura aktor top memang langsung bersinar!
Dika menyapa sang sutradara, Bryan, temannya. Sementara Kara sedikit mencuri-curi pandang ke arah Jehan yang sedang sibuk memainkan gawai. Casting sudah dimulai sejam lalu, tetapi untuk para aktris dan aktor undangan atau rekomendasi maka diizinkan untuk datang lebih akhir.
Jehan, sang aktor top itu sudah jelas mendapatkan undangan langsung dari pihak Attacca untuk mengisi peran ‘Tyson’, sementara Kara mendapatkan rekomendasi langsung dari Dika, pemilik Pang Management, ke Attacca Production House untuk mengisi peran ‘Bella’.
Sudah jelas, perlakuan untuk seorang aktor dan aktris yang mendapat rekomendasi dan undangan pasti berbeda. Kara masih harus melalui berbagai seleksi terlebih dulu, sementara Jehan tidak perlu.
“Ini udah selesai?” tanya Jehan tiba-tiba membuat Bryan menoleh, dia ingin cepat pulang sebab sudah kelelahan.
“Belum, Bro. Ini calon aktris terakhirnya,” jawab Bryan membuat Jehan mengangguk. Tanpa diduga, Jehan mengangkat kepala dari gawai dan langsung memandang wajah Kara.
Pandangan mereka saling bertemu. Netra besar Kara beradu dengan milik Jehan yang sangat tajam. Jantung Kara seolah diremas ketika dipandangi seperti itu. Jehan bak seorang harimau yang hendak menerkamnya! Kenapa pula Jehan menatapnya seperti itu? Perasaan macam apa ini? Kara jadi salah tingkah dibuatnya.
“Yuk, semangat,” bisik Dika pada Kara lalu melanjutkan. “Lo bakal bisa naikin popularitas lo pastinya kalo bisa bersanding sama dia.”
Kara mengangguk sambil meneguk saliva. Bagaimana bisa hanya berfokus pada casting saja kalau Jehan menatapnya seperti itu? Ya, Tuhan! Kara ingin pulang saja. Aktor Jehan sungguh-sungguh sangat meresahkan.