Nenek

1304 Kata
Bermalam di rumah keluarga Arlan memang selalu membuat Raka nyaman. Bukan karena dia tidak pernah merasa nyaman di rumah Farin, tapi perbedaan Arlan yang anak tunggal dan Farin yang memiliki adik. Rumah keluarga Farin yang selalu ramai karena adanya keluarga Hana. Anak-anak Arlan memiliki kamar sendiri di rumah Metha, berbeda dengan berada di rumah Karin yang harus menggunakan kamar Dana, saudara Farin.   Raka terbangun setelah tertidur beberapa jam tertidur. Rasa haus yang hadir membuat Raka harus keluar dari kamarnya. Dia keluar dan melihat kamar neneknya dengar rasa penasaran. Dia merasa ada hal yang membuatnya sangat terpanggil untuk melihat ke dalam kamar tersebut.   “Kok kamar Nenek enggak dimatikan lampunya? Tumben banget,” kata Raka pada dirinya sendiri.   Raka masuk ke dalam kamar itu dan melihat neneknya yang sedang terduduk lemas di tempat tidur dengan memegang buku album lama tentang keluarga da Costa. Raka mendekat dan mengambil album itu. Dia memindahkannya ke nakas.   “Nek, tidurnya dibenarkan ya.” Raka mencoba membangunkan Metha untuk mengubah tidurnya.   Raka merasa sangat aneh dengan apa yang terjadi dengan neneknya. Metha sama sekali tidak merespons panggilannya. Raka menyentuh tangan Metha yang terasa sangat dingin. Raka mulai merasa sangat merinding dan merasa ada yang aneh dengan apa yang terjadi. Raka berdiri dan keluar dari kamar Metha untuk mencari ayah dan ibunya.   Raka mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan perasaan campur aduk yang tidak bisa dia jabarkan. Raka menunggu di depan kamar kedua orang tuanya dengan jantung yang berdebar dengan cepat. Perasaannya yang tidak menentu membuat Raka berjongkok di depan kamar kedua orang tuanya.   “Kenapa, Kak?” tanya Arlan yang keluar dengan rambut yang masih acak-acakan.   “Papa … Papa, aku enggak tahu apa-apa, Pa. Aku takut, Pa.” Raka langsung berdiri dan memeluk ayahnya dengan erat.   “Takut kenapa, Kak?” tanya Farin yang ikut muncul sembari menggulung rambutnya.   “Aku enggak bisa jelaskan. Ayo ke kamar Nenek aja. Aku enggak mau lihat sendirian. Aku takut,” kata Raka menarik kedua orang tuanya menuju ke kamar Metha yang terbuka lebar dengan lampu kamar yang masih menyala dengan terang.   “Loh, Mama kok duduk, Mas?” tanya Farin yang langsung mendekati ibu mertuanya yang sedang terduduk dengan mata terpejam. Farin mencoba membangunkan ibu mertuanya dengan wajah yang perlahan berubah. “Mas, Mama kok dingin ya?” tanya Farin yang masih menyentuh sekujur tubuh ibu mertuanya.   Arlan mendekat dan mengecek nadi serta napas ibunya. Pria itu terduduk lemas di samping tubuh ibunya dan mengecup punggung tangan wanita yang melahirkan serta merawatnya hingga kini.   “Mama sudah ketemu sama Papa ya? Maaf, aku enggak temani Mama di sini.” Arlan berbisik saat mengecup kening ibunya.   “Mas, kamu jangan bercanda deh. Enggak lucu tahu. Mama cuma tidur, ‘kan? Mama kedinginan, ‘kan? Aku matikan AC buat Mama ya,” ucap Farin yang mendengar bisikan suaminya.   “Pa, Nenek kenapa?” tanya Raka yang masih berdiri di ujung tempat tidur tidak berani mendekat.   “Innalillahi, Nenek sudah pergi, kak. Nenek pergi sama Kakek,” jawab Arlan yang menoleh ke arah anaknya yang seketika lemas mendengarnya.   Farin menangis mendengar apa yang suaminya katakan. Arlan membenarkan posisi ibunya sebelum memeluk istrinya yang histeris mendengar apa yang suaminya katakan. Arlan mengusap punggung istrinya dengan lembut menenangkan Farin.   “Pa, Papa enggak bohong, ‘kan?” tanya Raka pada ayahnya yang mulai mendekati tempat tidur Metha.   Raka terus mendekati Metha dan menyentuh tangan neneknya dengan lembut. Raka mencoba meyakinkan dirinya sendiri dengan mengecek nadi serta napas Metha sendiri. Raka menundukkan kepalanya saat menyadari kebenaran dari apa yang ayahnya katakan.   “Maafkan aku, Pa. Aku enggak tahu kalau Nenek pergi. Aku enggak tahu kalau Nenek --” Raka tidak sanggup melanjutkan ucapannya.   “Kakak enggak salah. Papa justru berterima kasih karena Kakak bangun dan mengecek keadaan Nenek. Sekarang Kakak relakan Nenek pergi ya, Papa tahu ini berat, Kak. Nenek sudah enggak sakit-sakit lagi. Kakak jangan sedih ya,” kata Arlan menenangkan anak sulungnya yang menangis.   Arlan melepaskan pelukan istrinya dan mendudukkan Farin yang masih terlihat shock dengan berita yang ada. Dia menghubungi orang-orang yang mengurus kematian di daerah rumah Metha. Raka menemani ibunya yang sedang kosong pandangannya.   “Mama, jangan sedih kaya gini. Aku tahu Mama bisa kuatkan Papa. Enggak ada yang enggak sedih karena kepergian Nenek, Ma. Papa hanya enggak mau Mama semakin rapuh, kalau Papa ikut menangis. Maaf, aku enggak bisa kuatkan Papa. Ini masih jadi kesedihan yang menyakitkan buat aku, Ma.” Raka memeluk ibunya dengan erat.   ***   Pemakaman baru saja berakhir. Arlan sedang menidurkan Ana dan Icam yang sedari tadi menangis sejak tahu Nenek kesayangannya meninggalkan mereka. Raka sedang bersama dengan Hana dan Gilang yang menenangkannya. Farin berjalan sendiri ke kamar mencari suaminya. Dia tahu perasaan suaminya yang sedang berkabung, tapi tidak bisa menangis.   Farin membuka kamar suaminya dan tidak menemukan pria itu di dalamnya. Dia masuk sendiri dan terduduk di tempat tidur dengan menghela napas panjang beberapa kali. Banyak hal yang lewat di kepalanya membuat Farin menundukkan kepalanya.   “Kenapa, Ma?” tanya Arlan yang langsung mengangkat kepalanya melihat suaminya yang sedang berada di pintu kamarnya.   Farin berdiri dan memeluk suaminya. Arlan yang paham dengan kondisi hati istrinya pun membalas pelukan sang istri yang menemaninya hingga saat ini. Farin mengusap punggung suaminya dengan lembut.   “Apa? Mau ngomong apa?” tanya Arlan saat Farin mendongakkan kepalanya melihat suaminya.   “Kamu enggak mau nangis? Aku sudah selesi nangisnya, gantian kamu yang luapkan semua. Aku mau dengarkan kamu,” jawab Farin memandang suaminya.   “Mau dengar aku nangis dulu?” balas Arlan yang langsung diangguki oleh istrinya.   Arlan mengajak istrinya untuk duduk di tempat tidur mereka. Arlan memeluk erat istrinya dan menenggelamkan kepalanya di bahu sempit istrinya. P[ria itu menangis dalam diamnya dengan pelukannya yang erat. Farin mengusap lembut punggung suaminya yang sedang menangis dalam pelukannya.   “Mama sudah merasakannya dan pamit sama aku. Mama sudah kasih banyak wejangan sama aku. Mama tahu kalau mau meninggalkanku.” Arlan menangis sembari mengatakannya.   “Kenapa kamu enggak bilang sama aku semalam, Mas? Kamu enggak mau aku kepikiran apa gimana?” tanya Farin pada suaminya yang sedang ada di dalam pelukannya dan sedang menangis.   “Bisa dibilang kaya gitu, selebihnya karena aku juga berharap apa yang aku dengar hanya wejangan seperti biasanya. Wejangan karena kita jarang ketemu sama Mama. Aku enggak pernah berpikir itu akan menjadi wejangan terakhir buat aku dan terakhir kalinya aku memeluk Mama saat Mama kasih aku wejangan,” jawab Arlan yang masih memeluk erat istrinya dengan seluruh kasih sayang yang muncul untuk istrinya.   “Kamu terlalu kuat, kamu sangat kuat menghadapi semua, Mas. Mama sangat bangga sama kamu. Enggak cuma Mama, aku, Raka dan kembar pun sangat bangga punya kamu, Mas. Kamu boleh menangis kok. Kamu sudah menjadi orang yang sangat membanggakan untuk siapa pun yang ada di sampingmu, Mas. Aku sangat bangga sama kamu.” Farin mengusap punggung suaminya yang sudah mulai tenang.   “Ana sama Icam baru kali ini merasakan kehilangan, Sayang. Pasti berat buat mereka mengerti. Raka juga masih merasa bersalah, bantu Raka kalau aku enggak bisa mengubah pemikiran Raka ya, Sayang.” Arlan mulai melepaskan pelukannya pada istrinya yang setia melihatnya dengan wajah yang sangat lembut.   “Tanpa kamu minta, aku akan melakukannya, Mas. Anak kamu juga anak aku, enggak akan pernah aku biarkan mereka merasa berat menjalani hidupnya,” kata Farin dengan senyuman yang sangat hangat hadir di wajah cantiknya.   “Cantiknya istriku yang enggak pernah kelihatan semakin tua,” kata Arlan menggoda istrinya dengan senyum yang mulai muncul kembali di wajahnya.   “Bisa goda aku lagi kamu? Sudah deh, kamu istirahat duluya, aku bantu di bawah dulu. Kamu pasti capek banget,” kata Farin yang mengecup kening suaminya dengan lembut dan menyuruh suaminya untuk beristirahat.   “Mama enggak salah menyayangi kamu dan meminta aku menjaga kamu, Rin. Kamu harta paling berharga yang aku punya selain anak-anak,” gumam Arlan saat melihat istrinya keluar dari kamarnya.   Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN