Canda tawa untuk keluarga Arlan memang sudah biasa. Sebagaimana sebagai ayah, Arlan selalu mencoba untuk selalu ada untuk anak-anaknya. Sama seperti saat ini, di mana dia baru saja datang dan sudah bersama dengan dua anaknya yang sedang berada di ruang keluarga. Raka hanya menyapa adiknya dan langsung menuju ke kamar untuk mengganti bajunya.
“Mama di mana, Dik?” tanya Arlan yang belum menemukan istrinya yang biasanya sudah muncul saat dia datang.
“Mama lagi di belakang, Papa.” Icam menjawab pertanyaan Arlan dengan sopan.
“Sama Bona?” tanya Arlan kembali.
“Iya, Pa. Mama lagi kasih vitamin buat Bona.” Ana yang kali ini menjawab pertanyaan Arlan.
“Ya sudah, Papa ke Mama sebentar ya. Kalian mainnya jangan berantem, oke? Pesan Arlan sebelum meninggalkan dua anaknya yang sedang bermain bersama.
Arlan berjalan menuju ke halaman belakang, di mana istrinya berada. Arlan melihat punggung sempit istrinya yang sedang membelakanginya dan duduk di kursi rotan yang ada di halaman belakang. Pria itu mendekatinya dan mengecup pipi istrinya dengan lembut.
“Dingin, kamu ngapain lama-lama di sini?” tanya Arlan yang langsung duduk di samping istrinya.
“Kamu kok belum ganti? Aku dengar kamu sudah datang dari tado loh, Mas.” Bukannya menjawab pertanyaan suaminya, Farin malah membuka pertanyaan baru untuk suaminya.
“Kebiasaan buruk banget, Sayang. Aku yang tanya dulu, kenapa malah kamu kasih pertanyaan lain,” balas Arlan setelah mendengar pertanyaan istrinya.
“Iya … iya, maaf. Aku di sini tunggu kamu sama kasih vitamin ke Bona. Kamu enggak ganti baju? Kita di suruh Mama ke rumah Mama sama anak-anak. Mama bilang kangen sama cucunya tadi, kamu ganti baju siap-siap sana. Ana sama Icam sudah siap dari tadi tinggal tunggu kamu sama Raka, ingatkan juga Raka, aku masih sama Bona dulu,” kata Farin yang menjelaskan semua dengan detail.
“Anak kamu juga butuh kamu, kenapa jadi Bona yang nomor satu sih, Sayang!” keluh Arlan mendengar ucapan istrinya.
“Kamu sama Raka kelamaan pulangnya. Aku sudah duduk rawat Bona, ya sudah kamu aja yang urus Rak. Toh, Raka enggak kaya Ana sama Icam yang masih butuh bantuan ganti bajunya. Kamu enggak usah ngomel deh, Mas. Aku sudah tahu bahasan kamu yang kaya gini. Enggak usah cemburu sama Bona deh, Mas!” balas Farin yang sudah hafal di luar kepala tentang ucapan suaminya, jika dirinya sedang bersama dengan Bona, kucing lucu mereka.
“Kebiasaan banget. Aku siap-siap deh. Kenapa tadi enggak langsung bilang waktu telefon Raka. Kalau kamu bilang ‘kan aku langsung ganti atau langsung susul ke Mama,” kata Arlan yang mulai berdiri.
“Ngomel aja terus. Sudah mandi sana loh, Mas. Masa kamu ngomel terus di sini. Yang ada enggak akan berangkat ke Mama,” balas Farin yang masih fokus memberi kucing di pangkuannya vitamin.
Arlan pun menyerah mencari perhatian istrinya saat sedang bersama kucing yang dibawa pulang anaknya dulu. Pria itu pun berjalan masuk meninggalkan istrinya sendiri yang masih sibuk dengan kucing yang sudah layaknya anak mereka sendiri, untuk Farin. Arlan melihat dua anaknya yang masih bermain bersama tanpa suara ribut dan meninggalkannya berdua di ruang keluarga. Dia memilih untuk segera ke kamar dan mandi sebelum istrinya akan membalikkan banyak ucapannya.
Raka yang baru saja selesai membersihkan dirinya keluar dari kamar dan bertemu dengan Arlan yang baru saja naik ke lantai dua, di mana akan menuju ke kamarnya. Raka menahan tawanya melihat wajah ayahnya yang terihat sedang kesal. Sekilas saat membuka pintu balkon kamarnya, Raka mendengar ibunya yang mementingkan Bona daripada ayahnya. Sudah jelas itu akan membuat ayahnya merajuk seperti saat ini.
“Kamu kok pakai baju gitu, Kak?” tanya Arlan melihat anaknya memakai training.
“Memang kita mau keluar, Pa?” balas Raka yang tidak tahu apa-apa dan hanya menanggapi ayahnya yang masih terlihat kesal.
“Mamamu bilang disuruh ke rumah Nenek habis ini. Kamu ganti baju sana, sebelum Mamamu ngomel ke Papa. Mamamu masih asyik sama Bona, jadi enggak bilang ke kamu. Katanya, kita pulang kelamaan, Kak. Kamu ganti aja atau kaya gitu juga enggak papa. Toh, di rumah Nenek juga tidur sana. Kamu bawa seragam sama bukunya biar Mamamu enggak ngomel,” kata Arlan mengingatkan anaknya yang hanya diangguki oleh Raka sebelum masuk kembali ke dalam kamarnya.
Arlan melanjutkan jalannya ke kamarnya dan segera masuk ke kamar mandi. Dia sedang berada di mood yang tidak bisa dibilang baik-baik saja setelah diabaikan oleh istrinya. Arlan keluar dari kamar mandi dan melihat istrinya yang sedang berada di depan lemari. Arlan menghela napas perlahan melihat wanita yang menemaninya hingga saat ini.
“Aku bisa sendiri, Farin. Kamu sama anak-anak aja,” ucap Arlan saat melihat istrinya mengambilkan baju untuk dirinya.
Farin seolah tidak mendengar apa yang suaminya katakan dan terus menyiapkan pakaian untuk suaminya. Arlan pun hanya menghela napas dan mengambil apa yang sudah Farin taruh di tempat tidur. Arlan segera memakainya dan berdiri di depan cermin menata penampilannya.
“Maaf, jangan marah dong, Mas.” Farin memeluk suaminya dari belakang yang sedang menata penampilannya.
“Aku enggak marah. Aku cuma capek aja. Sudah, kamu sama anak-anak aja. Jangan lupa suruh anak-anak bawa jaket,” kata Arlan masih fokus pada pantulan cermin yang ada di depannya.
“Aku tahu tadi aku kelewatan ngomongnya. Aku bukan mengutamakan Bona, Mas. Aku kesal aja, kamu sama Raka enggak ada yang kasih kabar ke aku kalau pulang terlambat. Kamu enggak pernah mau bawa Raka ke kantor sesibuk apa pun, tapi Raka enggak pulang-pulang dan enggak ada kabar. Aku sudah mikir yang enggak-enggak, Mas. Maaf, aku serius minta maaf, jangan didiamkan dong.” Farin masih memeluk erat perut suaminya yang rata.
“Cukup, aku enggak marah dan iya aku salah enggak bilang ke kamu kalau aku ajak Raka ke kantor. Kamu siap-siap aja, kita berangkat ke Mama sekarang.” Arlan melepaskan tangan istrinya dan berjalan meraih jaket yang ada di tempat tidur. Dia membawanya tanpa memakainya terlebih dahulu.
***
Bertemu dengan cucu membuat Metha yang sudah sangat renta tersenyum dengan sangat lebar melihat tiga bocah yang ada di dekatnya dan heboh bercerita sendiri-sendiri tentang diri mereka. Arlan hanya diam memperhatikan anak-anaknya yang sedang bercengkerama dengan wanita yang melahirkannya.
“Kamu kenapa, Lan?” tanya Metha pada anaknya.
“Enggak papa, Ma. Memang aku kenapa?” balas Arlan dengan senyum yang sangat tulus.
“Papa lagi cemburu sama Mama, Nek. Biasa cemburunya sama Bona, anabulnya Mama.” Raka menjawab pertanyaan Metha dengan wajah yang seolah menikmati perasaan cembru Papanya terhadap kucing lucu yang menjadi pusat perhatian keluarganya.
“Nenek boleh ngobrol sama Papa sebentar? Kalian main sendiri dulu ya. Mama kalian masih di kamar,” kata Metha pada ketiga cucunya.
“Iya, kalau gitu kita ke Mama aja,” kata Raka sembari mengajak adik-adiknya untuk menghampiri ibunya yang sedang berada di kamar menaruh barang-barang bawaannya.
“Lan, Mama semakin tua. Umur Mama mungkin enggak akan lama. Papa, Mama sangat menyayangi kamu, Farin dan anak-anak kamu. Kalau Papa enggak sempat bilang sama kamu tentang ini, Mama yang akan bilang. Farin jangan kamu biarkan tersakiti lagi sama tingkah kamu. Sakit, Lan, menahan semuanya sendiri. Semua kebodohan kamu, biar ada di masa lalu kalian, Mama percaya kamu bisa jaga Farin dan keluarga kalian dengan baik. Mama hanya berharap hubungan kalian akan terus berjalan dengan sangat baik tanpa ada yang mau merusak kembali,” kata Metha membuat Arlan mendekatkan tubuhnya pada ibunya.
“Ma, Mama jangan bilang kaya gitu. Tuhan masih mau Mama di sini sama aku, Farin dan anak-anak. Tuhan masih mau Mama lihat anak-anakku tumbuh dan aku masih membutuhkan Mama saat aku punya masalah dan enggak pernah bisa cerita dulu sama Farin. Jangan pernah bilang kaya gitu, Ma. Maaf, aku sering mengecewakan menantu kesayangan Mama. Maaf, Ma.” Arlan memeluk tubuh ringkih Metha yang ada di sampingnya.
“Kuasa Tuhan enggak ada yang tahu. Mama harap kamu bisa wujudkan keinginan Farin, Lan.” Ucapan Metha membuat Arlan melepaskan pelukannya.
“Keinginan? Yang mana, Ma?” tanya Arlan.
“Dia hanya berharap kamu enggak akan sama kaya ayahnya yang meninggalkan dia dan bundanya. Dia enggak mau anak-anaknya tumbuh tanpa kamu, bisa Mama percaya kamu akan mewujudkan itu buat menantu dan cucu-cucu Mama?” balas Metha.
“Aku pasti melakukannya, Ma. Aku enggak akan membiarkan anak-anak aku tumbuh tanpa aku dan membuat Farin menderita sendiri. Aku akan selalu berusaha ada untuk mereka, Ma. Mama sehat-sehat ya,” ucap Arlan pada ibunya.
“Kamu di sini satu minggu ya, Lan. Mama mau sama anak-anak,” pinta Metha.
“Iya, Ma. Nanti aku bilang sama Farin buat satu minggu ini ada di sini temani Mama sama anak-anak ya,” jawab Arlan yang menghadirkan senyum Metha.
Bersambung …