Waktu yang terus berjalan tanpa bisa dihentikan, memang selalu meninggalkan kesan tersendiri untuk semua orang yang merasakan nikmatnya waktu berganti. Sama seperti Raka yang saat ini sedang menunggu Arlan di ruang kerja papanya itu. Arlan sedang melakukan meeting dan Raka diminta untuk menunggu di ruang kerjanya untuk pulang bersama. Raka menunggu sambil memainkan HPnya.
“Kak, lama banget ya, Papa meetingnya?” tanya Arlan yang baru saja masuk ke ruangannya dan melihat Raka sedang bermain game tanpa peduli sekitarnya.
“Lumayan, Pa. Papa sudah selesai, ‘kan? Enggak ada apa-apa lagi?” tanya Raka yang langsung menaruh HPnya ke meja.
“Sudah, tadi kamu mau bicara apa sama Papa, Kak?” Arlan ikut duduk di samping anaknya bersama dengan putra sulungnya itu.
“Aku mau kasih kado buat Mama, Pa. Aku bingung mau kasih apa, Papa ada ide enggak, Pa?” tanya Raka yang memperhatikan Arlan yang mulai melonggarkan dasinya.
“Kenapa kasih Mama hadiah tiba-tiba? Ada acara apa, Kak?” balas Arlan yang bingung melihat anaknya sedang memikirkan untuk membelikan hadiah.
“Emang harus ada alasan besar buat kasih Mama hadiah? Papa aja sering kaya gitu ke Mama, kenapa aku enggak boleh kaya gitu ke Mama? Balas Raka mengerucutkan bibirnya.
“Bukan enggak boleh, Kak. Papa ‘kan bingung harus reaksi kaya gimana, Kak. Papa kasih Mama barang juga sama kaya kasih Kakak, reward atas apa yang Mama lakukan. Apa pun itu, Mama selalu bisa mengatasi dengan cara Mama sendiri tanpa memperlihatkan usahanya. Buat Papa, Mama pantas selalu mendapatkan banyak perhatian Papa, karena sampai saat ini, Mama selalu mengutamakan kita dan merelakan banyak hal yang dulu sangat Mama inginkan,” kata Arlan menjawab pertanyaan anak sulungnya.
“Sama, aku mau aja kasih hadiah buat Mama. Buat aku, Mama terlalu keren mau menyelesaikan masalah aku yang sama Papa waktu itu. Aku kalau jadi Mama pasti enggak akan sesabar Mama.” Raka mengatakan alasan dari keinginannya tersebut.
“Kalau alasan kamu itu, kita belinya pakai uang Papa aja. Karena Mamamu enggak akan rela kamu mengeluarkan uang buat Mama. Bilang aja nanti itu uang kamu, Papa sendiri enggak akan tega kamu mengeluarkan uang, Kak.” Arlan masih setia duduk di samping anaknya dan mendengarkan keinginan anaknya.
“Kalau dari uang Papa, berarti hadiahnya dari Papa. Bukan dari aku, Pa. Papa kasih sendiri aja deh, Pa.” Raka menolak untuk membagi dengan ayahnya tentang hadiah untuk mamanya.
“Ya sudah dipikirkan sambil pulang aja. Besok aja kita cari hadiahnya, kalau sekarang Mama akan semakin kepikiran sama kamu karena jam segini belum pulang dan harus ikut Papa di kantor kaya gini,” kata Arlan yang berdiri untuk mengambil kunci mobil dan barang-barangnya yang ada di meja kerja.
“Pa, kalau Tante Imel masih ada dan Tante Imel masih suka ganggu Mama sama Papa, apa yang akan Papa lakukan?” tanya Raka melihat punggung tegap ayahnya yang sedang berada di depan meja kerja.
“Papa akan lepaskan Mama kalau Mama tersiksa karena Papa dan Tante Imel. Mama pantas bahagia dengan atau tanpa Papa. Papa akan sangat terluka kalau Mama terluka sama Papa,” jawab Arlan yang mulai membalikkan badannya.
Raka sudah berdiri dan mulai memeluk ayahnya yang sedang berdiri tegap. Arlan membalas pelukan anaknya dengan hangat. Arlan mengusap lembut punggung anaknya.
“Kenapa, Kak?” tanya Arlan.
“Terima kasih sudah menjadi suami yang sangat baik buat Mama. Terima kasih sudah menjadi orang yang memperlakukan Mama bagai ratu. Aku tahu dari Mama, kalau Papa sudah jadi suami yang sangat baik buat Mama, meski pernah gagal sebelumnya,” jawab Raka.
“Papa masih belum jadi suami yang baik, Kak. Papa kali ini cuma berharap Kakak sama Icam enggak akan sama kaya Papa yang menyakiti perempuan. Papa sampai sekarang aja takut karma turun ke anak-anak Papa. Papa enggak akan tega kalau hal itu akan terjadi, Kak.” Arlan melepaskan pelukan anaknya dan melihat putra sulungnya itu berada bersama dengannya.
“Tapi, aku bangga sama Papa. Papa sangat sabar menghadapi Mama yang mood swing banget. Papa keren pokoknya," kata Raka membanggakan ayahnya.
Arlan tertawa mendengar perkataan anaknya yang sangat memujinya kali ini. Dia hanya menganggukkan kepalanya saat mendengar perkataan anaknya. Raka pun ikut tertawa sebelum Arlan merangkulnya dan mengajaknya pulang.
"Om Roland!" sapa Raka saat melihat sekertaris ayahnya sedang berdiri di meja kerjanya.
"Halo, anak ganteng. Sudah besar sekarang ya. Tingginya Papamu aja sudah mau kamu kalahkan itu." Roland tersenyum melihat Raka yang ada di depannya.
"Belum bisa kalahkan Papa, aku jarang olahraga, Om. Om main-main ke rumah dong. Bawa anaknya. Biar Ana ada teman main cewek," kata Raka setelah menyalami Roland.
"Istri Om lagi ada di luar kota, Ka. Lain kali aja ya. Kalau mereka sudah pulang. Mamamu apa kabar?" tanya Roland.
"Mama baik dan sama aja cari banyak kesibukan sendiri. Kalau gitu aku pulang dulu sama Papa ya, Om. Nanti Mama cari aku yang enggak pulang-pulang," balas Raka.
"Iya, hati-hati di jalan ya, Ka. Salam buat Mama," ucap Roland.
Raka dan Arlan pun kembali melanjutkan jalannya untuk pulang. Selama perjalanan pulang, Raka menceritakan di mana dia sangat suka saat bersama dengan Roland yang terkadang menjadi temannya saat sang Papa sibuk dengan pekerjaannya. Arlan tidak mengelak, karena sedari Raka kecil pun dia juga yang memperkenalkan pada Roland dan meminta pria itu menemani anaknya itu.
"Kak, tahun ini Kakak 'kan ujian ... kali ini enggak liburan enggak papa, ya?" tanya Arlan mengingat anaknya yang harus mencari sekolah terlebih dahulu.
"Iya, Pa. Aku lanjut di sini aja, takut lama-lama tinggal Mama, nanti malah kelewat kangen. Waktu kuliah aja ke luar negeri ya, Pa. Boleh?" balas Raka.
"Papa sama Mama selalu dukung apa pun yang jadi keinginan kamu, selama itu masih wajar dan berada di koridor yang benar. Enggak banyak yang bisa Papa bantu selain kasih kamu dukungan dan bantu kamu sedikit. Jangan sampai kamu kecewakan Mama ya, Kak." Arlan berpesan pada anaknya.
"Pasti, Pa. Aku aja belum bisa bahagiakan Mama sama Papa, masa sudah aku kecewakan," kata Raka pada ayahnya.
HP Raka berdering dan terlihat nama ibunya yang terpampang di layar benda pipih yang sedang dia pegang saat ini. Raka melihat ke arah ayahnya dan memberitahu tentang panggilan yang masuk. Arlan meminta Raka segera mengangkatnya sebelum Farin semakin panik.
"Halo, Ma. Assalamualaikum," sapa Raka dengan hangat.
"Kakak di mana? Sama Papa? Kok belum pulang? Ada ekstra, Kak?" Terdengar suara panik Farin dari ujung sana yang membuat Arlan tersenyum mendengarnya.
"Aku di jalan, Ma. Iya, sama Papa. Habis ikut Papa ke kantor. Tadi Papa nolak, tapi aku yang paksa biar Papa enggak terlambat meetingnya, Ma. Maaf kalau buat Mama khawatir, aku enggak bilang sama Mama. Maaf ya, Ma." Raka menjelaskan semua yang ada di kepalanya.
"Lain kali kasih kabar ke Mama. Ya sudah, Mama matikan. Hati-hati di jalan. Papa jangan boleh ngebut, ngeti, Kak?" ucap Farin dari ujung sana.
"Iya, Mama Cantik. Love you!" balas Raka.
"Love you more, Kak." Farin membalas ucapan anaknya dengan hangat membuat Raka melihat ke arah Arlan yang ada di sampingnya dengan wajah meledeknya.
“Kamu kalau kaya gitu mirip banget sama Mama, Kak. Suka banget goda orang.” Arlan membuka suaranya setelah anaknya menaruh HPnya.
“Wajar anak Mama,” balas Raka dengan enteng membuat Arlan hanya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan anaknya.
Bersambung …