Jangan Menjadi Dewasa Dulu

1176 Kata
Menjadi seorang istri dan ibu membuat Farin merasa harus benar-benar menjaga perasaan keluarganya. Dia tidak ingin ada keributan yang membuat keluarga menaruh kebencian dan menjadi masalah yang berujung panjang nantinya. Karena itu setelah mendengar ucapan Arlan yang menceritakan tentang anak mereka, Farin merasa bersalah juga.   Untuk Farin, perasaan anaknya itu sangat penting dan ia sungguh tidak ingin anaknya memiliki sebuah kebencian untuk keluarganya sendirirl, terlebih untuk ayahnya. Farin sudsh pernah membenci orang tuanya dan itu sungguh menyiksa intuk kedua belah pihak, maka dari itu Farin ingin menjadi ibu yang mau mendengarkan keluh kesah anaknya, istri yang mau menemani suaminya dan terus mendenfarkan ceritanya.   Farin membuka kamar anaknya dan melihat Raka yang sedang menggunakan headset sembari menulis di meja belajarnya. Wanita itu tersenyum melihat anaknya yang sedang belajar. Farin menutup pintu sebentar dan menghampiri anaknya yang belajar.   "Mama?" Raka terkejut saat Farin mengelus kepalanya saat dia sedang fokus mengerjakan tugasnya. “Mama kenapa?” tanya Raka menghadap ke Farin dengan wajah hangatnya.   “Kok belum tidur? Ini sudah lewat tengah malam, Kak.” Farin membalikkan pertanyaan pada anaknya yang jarang sekali tidur saat tengah malam. Arlan selalu mendidiknya dengan mengatur jam tidur anak-anaknya.   “Ini baru kerjakan, Ma. Tadi aku tidur sebentar, terus kepikiran ini. Masa enggak aku kerjakan tugasku. Mama sama Papa bayar sekolahku mahal dan aku juga mau kaya Mama yang bisa sekolah di luar negeri, jadi aku harus disiplin sama tugas ‘kan, Ma?” balas Raka.   “Kenapa baru kerjakan? Bukannya tadi izin enggak temani Ana belajar karena mau kerjakan tugas, Kak?” tanya Farin dengan sabar menghadapi anaknya yang kini mulai menginjak usia remaja awal.   “Karena tugasnya buat Kakak malas mengerjakannya. Tugasnya buat aku ingat Mama sakit karena aku,” jawab Raka yang menundukkan kepalanya.   Farin menghela napas sebentar dan menggandeng anaknya menuju ke tempat tidur. Raka mengikutinya dan duduk tenang di samping mamanya, meski kepalanya masih saja menunduk. Farin mengusap punggung tangan anaknya dan membuat Raka menoleh ke sampingnya.   “Tugasnya tentang masa lalu?” tanya Farin pada anaknya yang langsung diangguki oleh Raka. “Mama tahu, ingatan itu enggak bisa dihapus dan itu juga enggak akan bisa dilupakan. Mama juga pernah seperti itu, Kak. Butuh banyak waktu untuk menerima apa yang pernah terjadi di masa lalu. Cuma, Kak … kalau kamu menyalahkan diri kamu sendiri, itu juga enggak baik buat kamu. Semua yang terjadi dulu, baik kamu, Ana dan Icam enggak ada sangkut paut sama masalah Mama dan Papa. Papa enggak pernah gagal menjadi papa buat kalian, meski Papa pernah gagal menjadi suami Mama yang baik sebelumnya. Papa sekarang menjadi sangat baik dari dulu, orang selalu bisa berubah, Kak.” Farin menjelaskan masalahnya.   “Tapi, Ma … ada rasa enggak terima yang terus membesar saat aku mengingat masa lalu tentang Mama dana Papa. Papa keterlaluan menyakiti Mama,” sahut Raka.   “Itu jauh sebelum Kakak ada. Sebelum Kakak lahir, Papa sudah berubah. Papa menyayangi Mama dengan apa yang bisa Papa lakukan. Saat Kakak lahir pun Papa memperlakukan Mama bak ratu, Papa selalu melarang Mama melakukan hal berat dan Papa juga sering minta Mama berhenti dari pekerjaan Mama. Cuma, saat itu Mama takut Papa akan berbuat hal yang lebih menyakitkan lagi sampai membuat Mama harus benar-benar berpisah sama Papa dan menghidupi Kakak sendiri kaya Yangti menghidupi Mama dan Tante Hana sendiri. Mama enggak akan sanggup lihat Kakak tumbuh tanpa Papa. Mama enggak siap buat menyakiti Kakak dan membuat Kakak membenci Mama dan Papa. Sampai Mama pergi dari Papa dan berujung salah paham itu membuat Mama perlahan belajar, Papa enggak akan membiarkan Mama dan Kakak sengsara karena Papa. Papa sangat menyayangi anak-anaknya, baik itu Kakak, Ana maupun Icam. Semua buat Papa sangat penting. Jadi, perlahan aja, Kak … Mama minta rela sama apa yang sudah terjadi. Karena itu juga enggak akan hilang kalau Kakak enggak merelakan. Ujung-ujungnya Kakak hanya akan menumbuhkan perasaan benci ke Papa,” nasihat Farin.   “Mama, kenapa Mama tegar sekali mau bertahan hingga saat ini? Mama selalu melakukan hal yang belum tentu orang di luar sana melakukan saat disakiti seperti Mama.” Raka memeluk Farin dengan erat.   “Karena ini Mama. Mama enggak mau menjadi orang jahat seperti orang diluar sana. Mama enggak mau apa yang Mama lakukan akan menjadi tolak balik ke anak-anak Mama. Mama hanya mau kebaikan yang berbalik untuk keluarga kita. Mama tahu, Mama enggak sempurna. Buat Mama, berbuat baik itu perlu sadar diri, saat kebaikan sudah enggak dianggap, ya, sudah pergi dari circle itu. Enggak usah diteruskan.” Farin membalas pelukan anaknya dan mengusap lengan Raka dengan lembut.   “Aku sayang Mama sama Papa. Semoga yang dulu sempat menggoyahkan Mama sama Papa akan menjadi kekuatan buat Mama sama Papa bersama. Aku enggak akan bisa memilih saat Mama atau Papa tanya ‘Mau ikut Mama atau Papa?’. Aku enggak akan sanggup menjawab itu, karena meski aku sering menolak Papa dan kesalahannya dulu, aku tetap sering berharap Mama akan selalu menemani aku dan Papa. Mama tetap ada sama aku, meski dunia enggak akan mau sama aku. Aku cuma mau Mama dan Papa.” Raka menangis sembari memeluk Farin dengan erat.   “Mama dan Papa selalu ada buat Kakak, Ana dan Icam. Mama dan Papa akan selalu mendukung kalian, apa pun yang akan kalian lakukan. Selama itu baik untuk kalian, enggak akan Mama dan Papa menolaknya. Kakak juga, kalau ada masalah apa pun itu, cerita aja sama Mama atau Papa. Sesibuk apa pun Mama atau Papa, akan selalu mau dengar Kakak cerita. Meski hanya cerita tentang  apa yang Kakak lakukan satu hari ini di sekolah.” Farin tersenyum saat anaknya menatapnya dengan wajahnya yang masih sembab karena air matanya sendiri.   “Aku sudah besar, masa harus terus cerita sama Mama dan Papa?” keluh Raka.   “Kakak memang sudah besar, tapi untuk Mama dan Papa … Kakak masih anak kami yang perlu berbagi. Jangankan Kakak, Mama juga masih sering cerita ke Papa, begitu juga sebaliknya. Cerita bukan ukuran dewasa atau tidak, tapi komunikasi itu kunci untuk memperbaiki hubungan, Kak. Lebih baik sakit mendengar langsung daripada mendengar dari orang lain yang akan melebihkan cerita dan menaruh kita sebagai tersangka, Kak.” Farin menjelaskan alasan atas permintaannya.   “Mama, Mama tahu, banyak temanku yang mau punya keluarga kaya kita tanpa mereka tahu bagaimana aku hampir kehilangan Mama dan Papa, tanpa mereka tahu Mama dan Papa juga sama pernah hampir berpisah, tanpa mereka tahu masalah keluarga kita, tapi mereka selalu menganggap kita adalah keluarga yang harmonis dan selalu berjalan seperti apa yang gambarkan sendiri tentang keluarga yang harmonis.” Raka bercerita sedikit.   “Sejak dulu juga seperti itu. Sejak Mama menikah sama Papa juga banyak yang bilang kaya gitu, Kak. Enggak kaget kok. Karena sering sekali rumput tetangga terlihat lebih hijau dari pada rumput di pekarangan sendiri.” Farin menanggapi cerita anaknya. “Sekarang istirahat sana. Mama minta sekali lagi, jangan terlalu cepat dewasa, karena Mama masih mau memanjakan anak Mama,” lanjut Farin.   “Aku akan selalu jadi anak Mama. Amma boleh memanjakan aku sampai kapan pun, aku sayang Mama,” ucap Raka yang mengecup pipi Farin dengan lembut sebelum mengantar ibunya itu keluar dari kamarnya.   Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN