Arlan berada di ruang kerjanya setelah sempat mengobrol dengan anaknya. Pembicaraan dengan anaknya itu membuat Arlan menyendiri di ruangannya merenungkan apa yang menjadi pikiran anaknya. Sudah biasa untuk Arlan menyendiri di ruang kerjanya dengan dalih pekerjaan yang menumpuk dan tidak sempat dia selesaikan, meski terkadang dia juga akan bermain dengan Ana dan Icam.
Ketukan pintu membuat Arlan menoleh dan melihat siapa yang masuk ke ruangannya. Senyum Arlan hadir saat melihat gadis kecilnya masuk ke ruangan dan berlari kecil ke arahnya. Ana berdiri di depannya dan tersenyum lucu menatap Arlan.
"Ada apa, Dik?" tanya Arlan pada gadis kecilnya yang tersenyum.
"Sudah selesai belajar, Mama ajak bobok, Papa. Aku mau pamit sama Papa," jawab Ana pada ayahnya yang mengelus lembut rambutnya.
“Oke, Mama suruh tidur aja dulu ya. Papa masih ada pekerjaan. Besok Papa ada meeting, Sayang.” Arlan menatap bangga anak perempuannya yang tumbuh dengan baik bersamanya selama ini.
“Oke, Icam pasti sudah sama Mama. Aku ke kamar ya, Papa. Nanti Mama cari,” kata Ana dengan senyumnya yang sangat lucu dan membuat orang tidak kuat menahan diri untuk tidak mencubit pipinya.
"Hati-hati ya, Dik. Kalau naik tangga, enggak boleh lari ya. Oke?" ucap Arlan mengingatkan pada anaknya. Arlan masih tersenyum dengan lebar saat anak perempuannya berjalan keluar dan melambaikan tangannya. Senyum itu terlihat sangat lega melihat pertumbuhan anak-anaknya yang hingga saat ini masih bersama dengannya di bawah pantauannya. Semua membuat dirinya menjadi ingin terus menjadi sosok ayah yang dapat dibanggakan oleh ketiga anaknya.
Sekelebat ingatan tentang percakapan antara dirinya dan Raka, anak sulungnya membuat dirinya menghela napas berat. Ada rasa kecewa pada dirinya sendiri yang merasa terus menyakiti sang pujaan hati yang hingga kini masih mau mendampinginya dengan semua kekurangannya dan mau merawat ketiga anaknya dengan penuh kasih sayang. Bahkan, wanita yang sangat dia cintai itu mau meninggalkan karir yang diimpikan sejak dulu demi bersama dengan anak-anaknya dan menuruti permintaannya.
Malam semakin larut dan Arlan masih betah berada di ruang kerjanya tanpa melakukan apa pun. Pikirannya bercabang ke mana-mana dengan keluarganya sebagai pusat. Ingatannya terus berputar tentang dirinya yang menyakiti Farin, istrinya. Rasa sesal paling besar hingga beberapa kali hampir kehilangan sosok istrinya membuat dirinya tidak ingin kembali kehilangan istri dan anak-anaknya.
Rasa egois memang ada dulu ingin memaksa istrinya untuk tetap berada di sampingnya, meski sejak dulu diat tahu untuk memenangkan hati istrinya itu adalah hal yang tidak mudah. Kecantikan istrinya pun membuat dirinya sering menemukan pria lain yang sangat mengagumi istrinya, bahkan hingga berniat mengambil istrinya dari sampingnya.
Farina Azzalea, wanita yang dia kenal sebagai rekan kerja dan berujung menjadi wanita yang dijodohkan keluarganya untuknya. Wanita yang mempesona dengan banyak caranya. Wanita yang mampu memenangkan hatinya saat dirinya sempat terjebak dengan wanita yang juga sempat menyakiti istrinya.
“Mas, kamu mikirin apa?” Suara istrinya membuat Arlan memutar kursinya dan melihat istrinya yang sudah berada di ruangannya dan sedang menutup pintu ruangan.
“Kamu kok belum tidur? Ini sudah malam loh,” tanya Arlan pada istrinya yang menghampirinya.
“Karena kamu enggak ada di kamar. Ini sudah tengah malam, Mas. Masa kamu masih belum selesai. Orang kamu juga enggak ngapa-ngapain di sini. Kenapa sih? Ada masalah di kantor?” balas Farin yang berdiri di samping suaminya dan melihat meja kerja suaminya yang bersih dari apa pun yang bisa dibilang pekerjaan.
“Aku mau peluk kamu sebentar,” kata Arlan yang langsung menarik tubuh istrinya dan memeluknya dengan erat hingga menenggelamkan wajahnya di perut rata Farin.
“Ada apa sih, Mas? Aku enggak bisa bantu apa-apa kalau kamu enggak kasih tahu aku,” balas Farin yang membalas pelukan Arlan dan mengusap kepala suaminya dengan lembut menenangkan suaminya tersebut.
“Maafkan aku, Sayang. Aku bukan suami dan ayah yang baik buat kamu sama anak-anak. Aku terlalu banyak meninggalkan luka buat kalian. Aku enggak mungkin bisa disebut Papa yang baik lagi, karena aku bukan ayah yang seperti itu. Aku b******n yang sedang bertahan dengan cinta yang aku miliki saat ini. Aku egois berharap kamu tetap bersama denganku hingga nanti akhir hidupku. Aku ingin kisah seperti itu bersama anak-anak, tapi apa aku pantas mendapatkannya?” racau Arlan yang masih memeluk istrinya.
“Apa ini ada hubungannya sama ngobrol bareng Raka tadi?” tanya Farin yang melepaskan pelukan tersebut untuk menginterogasi suaminya.
“Apa pun yang aku bicarakan sama Raka, semua enggak salah. Aku yang salah dan membuat kamu juga anak-anak terluka. Dulu, kalau bukan karena Raka, kamu pasti sudah enggak ada di sini. Aku enggak akan memiliki istri cantik, cerdas, sabar, dan ramah seperti kamu. Enggak perlu ada tentang drama Riko yang ngebet banget sama kamu atau yang lain yang suka cari perhatian kamu.” Arlan masih tidak menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya.
“Kamu sebenarnya kenapa sih, Mas?” tanya Farin sekali lagi.
“Aku mengecewakan Raka. Dia enggak bisa lupa sama apa yang terjadi antara kita, di mana dia tahu bagaimana aku menyakiti kamu dan membuat kamu hampir pergi dari kami selamanya,” jawab Arlan sembari mengangkat kepalanya melihat istrinya yang sedang berada di depannya.
“Mas, apa yang terjadi? Raka bilang apa sama kamu?” tanya Farin pada suaminya. Farin menarik suaminya untuk duduk berdua di sofa yang ada di dalam ruangan tersebut. Arlan mengikuti apa yang diminta oleh istrinya tersebut.
“Raka punya tugas buat cerita gitu, terus dari tadi dia enggak mood sama aku. Dia bilang kalau dia enggak ,au kerjakan tugasnya karena dia enggak mau ingat itu dulu. Aku enggak paksa dia buat kerjakan tugasnya, Sayang. Aku sudah kecewa dengan diriku sendiri yang ternyata meninggalkan luka yang enggak terlihat buat Raka. Luka itu cukup dalam sampai-sampai Raka enggak bisa menerima dan terus menyalahkan dirinya dan aku.” Arlan menjelaskan pada istrinya yang sudah tidak bisa menahan rasa penasaran yang sedari tadi ditekan.
“Mas, usia Raka memang terus bertambah, tapi bukan berarti dia sudah dewasa. Sedari dulu, dia selalu mendewasakan diri tanpa kita suruh. Mendapat kenyataan yang enggak selaras sama apa yang dia inginkan sudah pasti membuat dia sedikit kecewa, aku enggak masalah dengan pikiran Raka yang belum bisa menahan rasa sedih dengan apa yang sempat terjadi di antara kita, aku juga enggak marah sama sikap kamu yang tidak memaksa Raka untuk mengerjakan tugasnya, karena aku percaya sama Raka, tapi aku enggak bisa kalau kamu sampai kepikiran kaya gini.” Farin mengusap rahang suaminya yang sedang ditumbuhi rambut halus.
“Kaya gini apa?” Arlan mengangkat alisnya melihat istrinya yang selalu bisa menenangkan dirinya dengan caranya sendiri.
“Kaya gini, mikir sendiri tanpa mencari jalan keluar. Kamu sudah selalu berusaha menjadi Papa yang baik buat anak-anak. Kamu bahkan sudah menjadi suami yang baik, meski kamu pernah gagal sebelumnya. Aku enggak pernah mengingat itu lagi. Bukankah sudah sangat jelas, kalau kita enggak akan pernah bisa menghapus masa lalu? Kamu sendiri loh, Mas, yang bilang.” Farin masih menatap lembut suami yang sedang berada di depannya.
“Aku enggak akan memaksa Raka untuk menjadi dewasa, karena aku tahu kamu akan merasa sangat kehilangan momen untuk sama dia. Kamu selalu bilang kaya gitu, aku juga enggak mau kehilangan banyak momen sama kamu dan anak-anak. Jadi, bisa aku minta apa pun yang kalian butuhkan atau mau kalian lakukan, libatkan aku di dalamnya. Aku tahu, kamu bisa tanpa aku, tapi aku enggak mau kamu selalu mandiri dan bisa berdiri sendiri. Karena aku semakin merasa useless kalau kamu kaya gitu, Sayang.
“Ini kita bahas Raka loh, kenapa jadi ke mana-mana ya, bahasannya?” tanya Farin dengan wajah kesalnya.
“Ya, itu tadi. Pikiran Raka semakin hari semakin dewasa. Kamu sendiri yang bahas kedewasaan, karena itu aku mengutarakan juga apa yang aku mau dari kamu dan anak-anak.” Arlan mengatakannya dengan wajah yang kini sudah diisi dengan senyum yang terlihat sangat tampan, meski usianya tidak bisa dibilang mudah, tapi wajahnya sungguh masih sangat terlihat muda dan tampan.
Bersambung …