Tugas paling mengesalkan untuk Raka saat ini adalah menulis karangan tentang dirinya sendiri. Dia tidak begitu suka mengingat semua masa lalu tentangnya, di mana ada beberapa hal yang sangat dia tidak sukai dan berharap untuk tidak pernah ada di dalam hidupnya. Kenangan yang tidak begitu baik untuknya membuat Raka berkali-kali meremas kertas yang sudah dia sediakan untuk tugasnya.
Mudah memang tugas yang diberikan gurunya. Hanya menuliskan sedikit kisah hidupnya dalam dua lembar folio. Namun, itu malah membuat Raka terus mendengkus kesal hingga Farin sebagai ibunya membuka pintu kamar Raka yang terlihat penuh kertas berserakan. Raka terdiam melihat Farin yang berada di ambang pintu menatap kertas-kertas yang dia buang sesukanya di kamarnya.
“Kak, ini Mama salah lihat atau memang kamarmu jadi kaya kapal pecah?” tanya Farin melihat anaknya yang duduk di kursi meja belajarnya.
“Kamarku sedang berantakan, Ma. Ini masalah sama kertas-kertas ini aja kok, Ma. Nanti juga aku bersihkan, Ma.” Raka menjawab pertanyaan Farin dengan senyum yang tidak pernah dia tinggalkan untuk berbicara dengan ibunya yang sangat dia cintai itu.
“Makan dulu, Kak. Papa sudah tunggu di bawah,” kata Farin mengingatkan anaknya yang terlihat sedang belajar.
Raka hanya menganggukkan kepala dan memberikan senyuman untuk Farin. Setelah wanita itu pergi dari kamarnya, nafas berat langsung dihembuskan oleh Raka. Dia pun menjatuhkan kepalanya di atas meja dan terlihat menahan kesal.
"Kenapa tugasnya agak menyiksa ingatanku ya? Enggak bisa gitu tugasnya full mengarang, enggak usah ingat-ingat masa kecil." Raka mengeluh dengan dirinya sendiri.
Setelah mengeluh, Raka membiarkan kertas di kamarnua berserakan dan memilih untuk makan malam bersama keluarganya. Raka sungguh menyiapkan diri untuk tidak terlampau kesal saat berkumpul di meja makan. Saat berada di tangga, samar-samar Raka mendengar adik perempuannya yang sedang mengobrol dengan ayahnya.
"Kapan kita ke rumah Yangti lagi, Pa?" tanya Ana yang terdengar oleh Raka.
"Nanti, kita gantian ya sama Om Gilang, sama Tante Hana." Arlan menjawab.
Entah apa yang Raka tangkap, tapi itu membuat dia memejamkan matanya seolah menekan semua rasa kesalnya. Setelah merasa baik-baik saja, barulah Raka melanjutkan langkahnya menuju meja makan. Yah, mereka memang sedang berada di rumah sendiri setelah beberapa hari tinggal di rumah orang tua Farin.
"Kakak!" sapa Ana dengan semangat.
Raka hanya tersenyum dan mengecup pipi Farin tanpa banyak bicara. Farin pun tidak menanyakan apa pun, dia langsung berdiri dan menganbilkan makanan untuk keluarganya. Arlan menatap anak sulungnya yang terlihat mengalihkan pandangan darinya. Raka mengobrol dengan Icam yang ada di depannya.
"Kakak, Ana enggak diajak bicara?" tanya Ana dengan wajah yang sudah memberengut.
"Gantian, Dik. Icam 'kan juga adiknya Kakak, masa kamu mengeksploitasi Kakak terus." Raka menjawab dengan sedikit senyuman.
"Sudah, jangan banyak bicara. Makan aja," kata Farin mengingatkan anak-anaknya yang sedang berada di meja makan. Tidak membutuhkan waktu lama untuk anak-anak Farin menuruti apa yang dikatakan ibunya. Mereka langsung diam dan tidak melakukan banyak pembicaraan yang tidak penting di meja makan saat ini.
Farin menghela napa saat melihat suaminya menatap anak sulung mereka dengan lekat, tapi Raka seolah tidak peduli dengan tatapan ayahnya. Farin mengangkat alisnya seolah melemparkan pertanyaan untuk suaminya yang sedang menatap lekat Raka. Arlan bukannya menjawab hanya menggelengkan kepalanya melihat istrinya penasaran dengan gelagatnya.
Setelah makan malam, Raka langsung pamit ke kamarnya dengan alasan tugas dan kondisi kamarnya yang sedang berantakan. Ana yang ingin ikut dengan Raka pun langsung ditolak mentah-mentah oleh Raka. Icam pun menggantikan Raka dan mengajak Ana bermain berdua agar gadis kecil itu mau membiarkan kakaknya menyelesaikan kewajibannya.
“Mas, kamu kenapa sih? Kok lihat Raka kaya ada sesuatu yang mau kamu tahu dari Raka. Memangnya ada apa sama Raka? Ada yang salah?” tanya Farin saat tersisa dirinya dengan suaminya di dapur. Arlan sedang membantu istrinya mencuci piring yang baru saja mereka pakai.
“Enggak papa. Aku mau ngobrol aja sama Raka. Kaya sudah lama enggak ngobrol heart to heart sama Raka. Aku mungkin papa yang baik buat Ana dan Icam, tapi Raka sudah tahu semua kisah kita, Sayang. Sampai sekarang pun ada rasa takut aku kehilangan Raka dan kamu. Kalian bagian paling penting buat aku. Kalian yang mengubah aku menjadi orang baik, jangan pernah pergi tinggalkan aku sendiri,” pinta Arlan saat melihat istrinya yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya.
“Eum, aku enggak akan meninggalkan kamu. Kayanya kalau bukan kamu, enggak ada yang bisa tahan sama semua sikapku yang kadang menguras emosi. Kamu ngobrol aja sama Raka, kayanya dia tadi kesulitan buat kerjakan tugasnya. Kertas-kertasnya sampai dibuang di lantai dan berserakan, Mas.” Farin memberitahu suaminya yang langsung menganggukkan kepalanya.
Raka yang berada di kamar hanya diam dan duduk di kursi putar yang menjadi tempatnya belajar. Berkali-kali dia menghela napas kasar dan menatap folio kosong yang ada di meja belajarnya. Gairahnya untuk mengerjakan tugasnya pun hilang membuat Raka membalikkan badannya tidak ingin melihat tugasnya yang masih kosong.
Raka menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur dengan posisi tengkurapnya. Dia menenggelamkan wajahnya. Ketukan pintu pun tidak dia hiraukan hingga terdengar pintu kamarnya terbuka. Raka mengangkat wajahnya mengambil napas sejenak dan membalikkan badannya melihat siapa yang membuka pintu kamarnya.
“Kamu kenapa, Kak? Katanya mau garap tugas, kok kaya orang nyerah gitu?” tanya Arlan yang masuk ke kamar anaknya tanpa lupa menutup kembali pintu kamar anaknya.
“Enggak papa,” jawab Raka dengan singkat dan terlihat tidak ingin berbicara dengan Arlan banyak-banyak.
“Papa buat salah sama kamu?” tanya Arlan yang ikut duduk di samping anaknya.
“Enggak kok, Pa. Biasa, anak Mama. Ikut moodswing-nya Mama,” kata Raka yang sedikit memberikan senyuman untuk ayahnya yang sedang berada di sampingnya.
“Kalau gitu cerita aja dulu, apa yang buat kamu tiba-tiba kaya gini. Papa tetap Papa kamu, Kak. Apa pun itu, cerita aja. Papa akan selalu bantu Kakak. Ingat ya, Papa selalu ada buat Kakak, enggak akan Papa biarkan Kakak sendiri sampai nanti Kakak siap untuk mulai hidup sendiri,” kata Arlan mengusap punggung Raka lembut.
“Kalau aku tiba-tiba marah sama Papa, apa Papa akan marah sama aku?” tanya Raka menoleh ke arah ayahnya yang sedang mengusap lembut punggungnya.
“Enggak. Kamu perlu mengeluarkan emosimu dan mengontrolnya sendiri. Cuma, Papa juga minta apa pun itu, kalau kamu marah sama Papa, Mama, atau Adik kasih tahu. Biar bisa diperbaiki dan enggak akan terulang lagi yang seperti itu.” Arlan memberikan pendapatnya untuk anak sulungnya yang sedang mencoba menyampaikan perasaannya. “Mau cerita sama Papa?” lanjut Arlan.
“Aku punya tugas yang suruh cerita tentang aku dari kecil. Kaya kilas balik gitu. Enggak tahu kenapa, kalau ngomong masalah tentang aku kecil, aku suka marah sama diriku dan Papa. Aku terkesan terlalu memaksa Mama buat tahan sama Papa di saat Mama sudah mau menyerah dan enggak kuat. Aku selalu berpikir, kalau Mama mau tahan sama Papa karena aku yang minta. Aku selalu ingat gimana Mama sedih, Mama tetap merawat Papa, bahkan saat Papa enggak bangun karena kecelakaan pun, Mama masih mau sama Papa. Mama mau merawat Papa dengan baik di saat Papa dulu sering menyakiti Mama,” kata Raka mengeluarkan semua pikirannya untuk ayahnya.
“Kak, itu bukan salah kamu sama sekali. Papa dan Mama enggak berpisah karena kita memikirkan kalian. Papa yang meminta Mama untuk bertahan di samping Papa, karena Papa enggak mau hidup sendiri tanpa Mama. Berat, Kak. Hidup tanpa Mama mungkin Papa bisa, tapi akan sangat terasa berat, makanya Papa enggak mau. Papa tahu, Papa enggak sempurna untuk Mama yang mencintai Papa dengan tulus, meski Kakak sendiri tahu cinta itu enggak akan mudah membesar karena Mama sangat mencintai pria yang membuat Mama mau belajar mencintai. Kakak enggak salah sama sekali karena hal itu buat Mama dan Papa.” Arlan masih setia mengusap lembut punggung anaknya.
“Aku tahu, Pa. Cuma perasaanku bilang, kalau aja dulu aku enggak minta Mama buat enggak tinggalkan aku dan Papa, Mama enggak akan sangat tersiksa sampai harus tertusuk. Aku menyayangi Mama dengan sangat dan Mama terluka karena melindungi aku sama Papa. Aku enggak bisa lupa sama kejadian itu, Pa. Mama sudah kaya malaikat penyelamat buat aku. Kalau aja bukan Mama yang tertusuk, aku enggak tahu masih ada di sini sama Papa dan Mama atau enggak.” Raka menatap ayahnya dengan wajah sendunya.
“Iya, Mama kaya malaikat. Buat Papa pun kaya gitu. Mama terlalu baik, seburuk apa pun orang memperlakukan Mama, Mama masih akan mencoba untuk bersabar hingga batas kesabarannya habis. Itu juga enggak akan membuat Mama menyakiti orang lain, Mama akan meninggalkan orang itu tanpa menyakitinya. Papa bersyukur punya Mama, Papa juga bersyukur Mama menjadi ibu dari anak-anak Papa. Dalam hati Papa, Papa sangat mau memperlakukan Mama layaknya ratu, tapi Mamamu terlalu mandiri sampai jarang sekali meminta sama Papa.” Arlan merangkul anaknya erat.
“Boleh aku enggak kerjakan tugas kali ini aja, Pa? Aku terlalu malas sama pemikiran burukku,” kata Raka meminta dengan baik hati.
“Papa enggak akan bilang boleh atau enggak. Kakak yang tahu apa konsekuensi dari setiap perlakuan yang akan Kakak lakukan. Papa enggak akan memaksa Kakak buat tetap kerjakan tugas, tapi kali ini Papa cuma mau minta Kakak istirahat dulu. Kalau perasaannya baik dan memungkinkan untuk mengerjakan tugasnya, kenapa Kakak harus menyerah?” balas Arlan.
“Maaf, aku kali ini enggak sopan sama Papa. Aku mengabaikan Papa.”
Bersambung …