Main Sama Kakak

1022 Kata
Rasa manja Ana pada Raka memang terkadang membuat sebal Raka. Namun, itu tidak pernah membuat Raka ingin marah dan meninggalkan adiknya. Justru tingkah Ana membuat Raka semakin menyayangi adik perempuannya. Banyak hal yang sangat ingin Raka berikan pada adiknya, meski hal itu mungkin tidak akan semua disukai oleh Ana. Gadis kecil yang lebih menyukai hal yang berbau kasih sayang daripada banyak barang yang tidak dia minta. Raka pun selalu membelikan apa yang diminta adiknya, saat dia bisa memberikan apa yang diminta Ana. Saat tidak bisa pun, Raka tidak serta merta menyerah. Dia hanya akan mencoba menabung dan menimbang kegunaan barang tersebut untuk adiknya. "Kakak, nanti Mama ajak ke kafe, Kakak ikut?" tanya Ana pada Raka yang baru saja berjalan turun setelah bersiap untuk sekolah. "Kakak pulang sore. Kalau sempat deh, Kakak nyusul di sana ya. Kamu sama Icam mau ikut Mama?" balas Raka yang menaruh barang-barangnya di sofa. "Mau ikut, tapi sama Kakak juga," kata Ana pada Raka yang duduk di sampingnya. "Ya 'kan Kakak pulangnya sore, Dik. Masa Mama sore-sore harus ke kafenya. Kalau Papa pulang, malah Mama kepikiran sama Papa nanti. Papa 'kan sering banget minta kopi buatan Mama, bukan yang lain. Makanya, enggak bisa kaya gitu. Sudah ya, jangan aneh-aneh. Adik sama Mama berangkat aja dulu, nanti kalau Kakak boleh nyusul, Kakak pasti nyusul kok," kata Raka mencoba mengubah pikiran adiknya. "Enggak bisa pulang duluan?" tanya Ana. "Enggak dong, Dik. Masa Kakak izin pulang dulu cuma buat ke kafe, itu kan enggak benar, Dik. Nanti aja ya, kalau Kakak pulang, Kakak bakalan nyusul ya?" Raka masih membujuk adiknya agar mau menuruti kemauannya. Ana pun terlihat pasrah dan tidak lagi memaksa untuk Raka mau mengikutinya. Ana menganggukkan kepalanya dengan lemah menyetujui apa yang Raka katakan. Raka pun memangku adiknya dan mendekap erat tubuh mungil adiknya. "Adiknya kenapa, Kak?" tanya Arlan yang baru saja turun dari lantai dua. "Enggak papa, cuma sayang-sayangan aja, Pa. Ya 'kan, Dik?" balas Raka yang mengusap rambut Ana pelan. "Iya, Kakak sayang-sayangan sama aku, Papa." Ana turun dan pindah memeluk papanya yang baru saja duduk di sofa dekat mereka. Yah, Ana sebagai satu-satunya gadis di keluarga da Costa selalu menerima banyak cinta yang datang dari keluarganya. Bahkan kembarannya pun sangat menjaganya. Tidak ada yang boleh menyakiti Ana, itu seolah hal yang harus diingat oleh semua orang yang berurusan dengan keluarga Arlan. "Icam sama Mama di mana?" tanya Arlan sambil memangku anak perempuannya. "Di belakang, Pa. Icam bantu Mama siram tanaman." Ana menjawab pertanyaan Arlan yang sedang memangkunya. "Kenapa kamu enggak bantu Mama?" tanya Raka pada adik perempuannya. "Karena mau di sini tunggu Kakak. Aku mau main sama Kakak dulu," kata Ana. "Dik, masih pagi kok mau main. Kakak itu mau sekolah, kamu juga mau sekolah, kenapa harus ajak Kakak main jam segini?" tanya Arlan membalas perkataan Ana. "Karena Kakak bisanya main jam segini, kalau pulang sekolah pasti bilang capek." Ana mengerucutkan bibirnya dengan lucu membuat Arlan semakin tidak tega memarahinya. "Adik tahu, Papa enggak suka orang menyepelekan waktu istirahat?" Arlan melihat anaknya yang mulai menganggukkan kepalanya. "Ya itu, Kakak harus istirahat saat istirahat. Bukan malah ajak Adik main. Kalau capeknya sudah hilang dan Kakak masih ada banyak waktu, Kakak pasti ajak kamu main, Dik. Tanpa kamu minta malah," lanjut Arlan. "Tapi, Pa ... Kakak sekarang sering banget suruh aku main sama Kak Lani atau Icam. Kakak sudah jarang mau temani Aku, Pa. Kakak enggak mau berteman lagi sama aku. Kakak kemusuhan sama Aku," kata Ana melalui prespektifnya. "Kamu mau main sama Kakak? Karena itu kamu ajak Kakak ke kafe sama Mama?" tanya Raka yang melihat adiknya tengah menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaannya. "Tapi, Kakak sungguhan belum pulang jam segitu, Dik. Kakak nyusul aja ya, kalau kalian masih ada di kafe," lanjut Raka. Ana pun menganggukkan kepalanya dan pasrah menganggukkan kepalanya. Tidak banyak yang Raka katakan demi adiknya mengerti dan mampu memikirkan apa yang penting untuk mereka. Raka tidak ingin terus memberikan banyak pengertian dan hanya membuat adiknya semaunya sendiri. Raka mencoba sabar menghadapi adiknya, meski mulai memberikan batasan perhatian yang bisa membuat adiknya semakin manja. Keluarga da Costa yang sudah lengkap pun mulai berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Farin sudah mengambilkan makanan untuk satu persatu anggota keluarganya. Raka selalu tersenyum bahagia dan mengucap terima kasih pada ibunya. Hal itu diikuti dua adiknya dan menjadi kebiasaan yang tidak bisa hilang dari keluarga da Costa. Farin adalah wanita yang sangat suka dan merasa bahagia saat apa yang dia lakukan dihargai, meski hanya dengan kata terima kasih. Bahkan dia sejak dulu membiasakan anak-anaknya untuk sarapan pagi. Raka meminta Farin membantunya menyiapkan bekal makan siang yang akan dia bawa. Farin tidak pernah melarang anak-anak jajan di luar, tapi anak-anaknya sering sekali memilih untuk memakan makanan yang dibawakan oleh Farin. Padahal Farin hanya akan membawakan bekal saat anak-anaknya minta atau saat anaknya tengah sibuk dengan kegiatan yang padat. Hal itu membuat anak-anak bahkan Arlan merasa sangat diperhatikan karena Farin selalu memperlakukan mereka dengan sangat baik dan tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai ibu dan istri yang baik. Farin bahkan sungguh meninggalkan mimpi yang sangat dia inginkan demi menjadi ibu yang selalu ada untuk ketiga anaknya. Mimpi sebagai wanita karir berakhir sejak Ana dan Icam mulai sekolah. Berhentinya Farin menjadi wanita karir justru menjadi hal yang sangat membahagiakan untuk keluarganya, karena akan selalu ada untuk mereka, terlebih Arlan yang selalu keluar kota. "Mama, nanti Mama mau ke kafe?" tanya Raka saat menerima kotak bekal yang Farin berikan padanya. "Iya, Kak. Lama Mama enggak pernah ke kafe lagi," kata Farin menjawab pertanyaan anaknya. "Mama lama di sana? Sampai kapan?" tanya Raka kembali. "Mungkin, katanya Adik mau ikut soalnya," jawab Farin. "Iya, Adik tadi ajak aku ke kafe juga. kalau Mama sampai sore, aku bisa ikut nyusul Mama di kafe," kata Raka. "Ya sudah, nanti kamu susul aja, Kak. Nanti kalau pulang bilang aja sama Papa, biar Papa yang jemput kamu," kata Farin memberikan solusi untuk anaknya. Raka menganggukkan kepalanya dan mulai pamit saat Arlan memanggil anaknya satu persatu. Raka keluar diikuti oleh Farin yang selalu mengantar keluarganya keluar rumah. "Aku berangkat, Ma. Kalau ada apa-apa, telepon aku ya, Ma. Love you ...." Arlan mengatakannya saat semua anaknya sudah masuk ke mobilnya. Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN