bc

SUAMI KEMBAR

book_age18+
705
IKUTI
3.3K
BACA
goodgirl
brave
confident
comedy
sweet
childhood crush
secrets
naive
substitute
like
intro-logo
Uraian

Adistia Indira Kamania terjebak di antara si kembar Juna dan Jeno. Sebuah kebohongan dan rahasia besar dari keluarga Artama Adi Jaya, membuatnya menikahi kembaran dari kekasihnya sendiri. Gadis yang biasa dipanggil Dita itu tidak menyadari jika kekasihnya memilki saudara kembar. Parahnya, dia menikahi Jeno Artama - pria menyebalkan yang bukan pacarnya.

Bagaimana kisah cinta Dita dan si kembar?

Siapa yang akhirnya dipilih Dita untuk menjadi imam dunia-akhirat baginya?

chap-preview
Pratinjau gratis
Petaka Hari Pertunangan
Adistia Indira Kamania. Nama yang cantik, bukan? Bahkan visualnya begitu cantik luar biasa. Dita adalah seorang gadis yatim piatu sejak ayah dan ibunya meninggal akibat gempa dan tanah longsor. Sejak usianya 6 tahun, Dita dibawa seorang pria baik hati ke Jakarta. Sejak saat itulah, seorang Dita yang sebatang kara diasuh dan dibesarkan di dalam keluarga Artama Adi Jaya. Tahun terus beganti, gadis kecil itu telah tumbuh dewasa. Usianya sekarang, hampir menginjak awal 20 tahun. Dita sangat bersyukur untuk hidupnya yang baru. Khususnya hari ini, hari di mana Dita akan bertunangan dengan kekasih pujaannya. Siapa pria beruntung itu? Pria itu bernama Juna Artama Adijaya. Dia adalah putra Pak Artama Adijaya, seseorang yang membawa Dita tinggal di Jakarta. Bisa dikatakan, Dita dan Juna adalah teman masa kecil, mereka tumbuh bersama di dalam keluarga yang sama. Hidup memang misteri. Siapa sangka, Dita dan Juna saling jatuh cinta ketika mereka dewasa. Bukan tanpa hambatan, hubungan keduanya sempat di tentang Ibu Diana yang adalah ibu kandung dari Juna, juga wanita yang merawat Dita dari kecil sampai tumbuh menjadi gadis yang cantik. Namun kekuatan cinta dan usaha keduanya untuk terus meyakinkan Ibu Diana, berbuah manis. Hubungan keduanya pun direstui sang ibunda. Sesuai namanya, Adistia Indira Kamania yang berarti seseorang yang dianugerahi cahaya kehidupan. Dia begitu bercahaya di hari pertunangannya dengan Juna. Beberapa tamu sudah datang di venue acara pertunangan itu. Para tamu yang hadir disambut hangat oleh Pak Artama dan istrinya. Sementara Dita sedang dirias bersama Juna di ruang make up. Sesekali keduanya saling menggoda, memberi lirikan kecil dan berbicara satu sama lain. "Kamu sudah siap calon istri?" senyuman itu menggantung dari bibir Juna, itu sangat indah seperti kelopak mawar yang baru mekar. "Sudah calon suami," jawab Dita dengan tersipu kemudian Dita mengingat-ingat sesuatu. "Kamu tidak melupakan sesuatu, kan, calon suami? Kamu tidak meninggalkan cincin pertunangan kita, kan?" lanjutnya, Dita melirik Juna dengan ekor matanya, karena wajah Dita sedang ditahan penata rias. Juna tersadar, dia merogoh saku celana dengan cepat dan mulai mencari-cari. Namun, rautnya tiba-tiba hampa dan senyumnya memudar sepenuhnya. Tidak ada cincin di semua sakunya. Saku jas, saku kemeja dan juga celananya, semuanya kosong dan tidak ada cincin apapun di dalamnya. Hanya ada puring tipis yang terasa. Juna menoleh ke arah Dita dengan tatapan gelisah dan merasa bersalah. "Maafkan aku calon istri, sepertinya cincin pertunangan kita tertinggal di rumah." Kata Juna, wajah memelas kentara jelas di sana. Juna juga sangat takut Dita marah, atau gadis itu akan mengeluh kesal dan memaki kecerobohannya. Mendengar ucapan Juna, kontan Dita menolehkan kepalanya buru-buru. Bibir Dita yang sedang dipoles lipstik menjadi rusak, ujung lipstik itu melenceng menggores pipi gadis itu menjadi coretan panjang dari ujung bibir sampai pipinya. Walau Juna merasa bersalah, tetapi tidak bisa menahan tawanya saat melihat Dita, dia begitu bersemangat menertawai calon tunangannya. Namun Dita tidak perduli, dia menyipitkan matanya dengan ngeri, bibirnya mengerucut kesal ke arah Juna. "Kamu gimana, sih, calon suami?! Bisa-bisanya kamu lupa membawa cincin pertunangan kita," gerutu Dita yang mengomeli Juna. "Maaf calon istri. Kamu jangan marah, aku akan pulang dan mengambil cincin itu di rumah," kata Juna mencoba menenangkan Dita sembari jari-jari rampingnya membersihkan noda lipstik di pipi gadis itu. Juna melakukannya dengan penuh kelembutan. Dita berpikir sejenak kemudian menatap pria di sampingnya. Terlihat pula gadis itu menghela nafas berat, dan sepertinya sangat berat mengizinkan Juna pergi mengambil cincin itu. "Minta saja orang lain untuk mengambilnya. Kamu di sini saja dan cukup temani aku." Dita lembut, dia genggam tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Tidak apa-apa calon istri, biar aku saja yang ambil cincinnya. Jika meminta orang lain akan lama karena mereka tidak tau letak kotak cincin itu disimpan, " kata Juna menjelaskan. Entah kenapa Dita begitu tidak ingin Juna pergi, namun dia tidak mampu melarang dan hanya mengangguk saja. Juna yang berkeras hati ingin mengambilnya sendiri, membuat Dita tidak bisa menahannya lagi. Akhirnya, dia membiarkan Juna kembali ke rumah untuk mengambil cincin. Juna berjalan meninggalkan ruangan, Dita menatap bahu lebar milik Juna dari belakang. Pria itu berjalan santai kemudian meneoleh lagi ke arahnya dengan tatapan lembut, dan lalu menghilang dibalik pintu. Ada getaran di hati Dita saat Juna menatapnya dan menghilang sesudahnya. Entahlah, itu getaran cinta atau getaran apa? Dita tidak faham. Sedangkan Juna, dia berpamitan kepada orang tuanya sebelum kembali ke rumah. Seperti Dita, Ibu Diana pun memberi saran untuk orang lain saja yang mengambil cincin itu. Namun lagi-lagi Juna menolak dan meyakinkan ibunya untuk dia saja yang mengambilnya. Ibu Diana luluh dan mengizinkan Juna. Juna berjalan keluar gedung ke arah parkiran mobil, sesampainya di sana dia segera naik dan tancap gas menuju arah pulang. Mobil melaju di jalan utama, dia sedikit khawatir karena jalanan agak macet, tetapi untungnya, itu hanya beberapa menit dan jalan sudah kembali lancar. Waktu menunjukan pukul 9 pagi ketika Juna sampai di rumahnya di kawasan pondok indah. Dia segera memasuki komplek perumahan mewah itu, kemudian mobil berhenti tepat di rumah nomor kosong lima. Juna memarkirkan mobilnya dan bergegas masuk. Dia berlari menapaki anak-anak tangga, saking tergesa, dia sampai tidak mendengar Mbok Anik memanggilnya. Juna sudah sampai di depan pintu kamarnya di lantai dua. Segera dia buka pintunya dan mencari sepasang cincin yang tersimpan di sebuah kotak kristal. Dia mulai mencari di laci dan juga lemari. Tetapi cincin itu tidak ada. Juna terdiam sembari mengingat-ingat. Di mana dia menyimpan kotak itu? Beberapa detik berlalu dan Juna mengingatnya. Kotak cincin itu ada di saku kemeja yang kemarin dia kenakan untuk ke kampus. Juna berbalik arah dan keluar kamar buru-buru. Dia memanggil-manggil nama Mbok Anik untuk menanyakan kemejanya. Dia yakin kemeja itu sudah diambil Mbok Anik untuk dicuci. "Mbok! Mbok Anik!" Juna berteriak panik memanggil Mbok Anik, dia berlari menuruni anak tangga buru-buru dengan sesekali melihat jam di pergelangan tangannya. Juna berlari tanpa memperhatikan deretan anak tangga, dia sangat cepat dan matanya ke mana-mana seolah kepanikan berkumpul di otaknya, dia harus mengejar waktu supaya tidak terlambat datang ke acara pertunangannya. Namun celakanya, dia tidak menyadari bahaya sudah mengintipnya. Benar saja, tepat kakinya berada di anak tangga ke empat Juna tergelincir, dia jatuh sampai tubuhnya berguling-guling tanpa henti sampai di akhir anak tangga. Aaaaaargh! Teriakan itu meledak seperti sebuah hantaman besar di telinga. Mbok Anik tergopoh-gopoh, dia menyeret paksa kakinya berlari cepat menghampiri Juna. Tubuh muda itu terkapar dengan kepala berlumuran darah. Lutut Mbok Anik lemas dan juga gemetaran. Wajah tampan Juna seperti dicat warna merah, kontras sampai siapapun yang melihatnya ingin jatuh pingsan. Darah Juna mengalir keluar memenuhi lantai putih di rumah itu. Itu adalah hari di mana Juna akan bertunangan dan dia justru mengalami cidera sangat parah. Tersadar dari emosi pilu, Mbok Anik meminta pertolongan dengan berteriak-teriak memanggil Mang Udin yang adalah seorang satpam rumah itu. "Mang! Mang Udin...!" teriak Mbok Anik yang langsung didengar Mang Udin. Mang Udin dengan raut panik medekat ke arah Juna yang kritis. Segera dia meminta Mbok Anik menelpon rumah sakit untuk membawakan ambulan dan juga mengabari Pak Artama dan Ibu Diana. Mbok Anik mengangguk, segera dia menelpon rumah sakit sementara Mang Udin mencoba menutupi kepala Juna dengan kain untuk menghentikan pendarahannya. Mang Udin ketakutan karena Juna mulai kejang-kejang bahkan buku-buku jarinya mengerat seperti menahan sakit, Juna terlihat sekarat di matanya. Namun saat itu, saat keadaan Juna setengah sadar, dia membayangkan Dita, ibunya, ayahnya dan juga kembaran Juna yang terpisah darinya sejak kecil, tetapi Juna masih dapat mengingatnya. Setelah semua ingatan itu, seluruh tubuh Juna menegang kemudian kejang-kejang. Mulutnya terbuka dengan kelopak mata yang hampir menutup sepenuhnya. To be continued reader...

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.8K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
59.8K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook