Bab 5
Dita gelagapan, dia panik ketika Jeno terus menariknya jatuh ke atas tempat tidurnya.
"Juna, apa yang kamu lakukan? Kamu jangan macam-macam. Kamu sedang mabuk dan jangan sampai kamu menyesalinya setelah sadar. Lepas Juna!"
Dita masih berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan Jeno, sangat khawatir saat mereka belum resmi menikah dan pria itu melakukan sesuatu padanya. Jeno yang sedang mabuk menarik tubuh Dita ke bawah. Posisi mereka bergantian dengan Jeno yang ada di atasnya. Pria itu menatap wajah Dita, dia bergumam samar.
"Gadis jelek," gumamnya dengan tatapan seringai tepat di wajah Dita.
Jeno menempatkan tangannya di kepala Dita, menyasar sampai wajahnya. Dita bergerak berontak, dia menggelengkan kepalanya.
"Kita tidur bersama gadis jelek. Kamu adalah tunangan ku sekarang," bisik Jeno yang mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir Dita. Gadis itu panik, dia tidak tau harus berbuat apa. Tubuh Jeno terlalu berat menghimpitnya. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain memejamkan mata dengan risih dengan kecemasan menyeluruh.
Saat Dita pasrah, tiba-tiba tubuh berat Jeno terjatuh di sampingnya, pria itu terkapar dan jatuh tidur begitu saja. Dita lega, dia menghela nafas panjang kemudian turun dari ranjang Jeno.
Di tengah kebingungannya tentang perubahan sikap tunangannya, Dita keluar dari kamar Jeno. Dia berjalan menuruni tangga, tubuhnya sangat pegal ketika harus menopang membantu Jeno masuk ke dalam kamar.
Sudah berada di pijakan tangga terakhir, Dita melihat Pak Artama baru saja pulang. Dia mendekat dan menyapanya.
"Papa baru pulang, Pa?" tanya Dita.
"Iya, Nak. Kamu belum tidur? Bukankah ini sudah malam kenapa tidak tidur? Lalu Juna, apa Juna di rumah?" tanya Pak Artama seolah-olah tidak tahu apapun.
"Itulah pa, Dita nggak ngerti sama sikap Juna akhir-akhir ini. Setelah kami bertunangan, Dita merasa Juna itu berbeda. Juna sepertinya berubah gitu, Pa," keluh Dita kepada Pak Artama.
Pak Artama mendesah pelan, dia menatap Dita. Sesungguhnya dia kasihan dengan gadis itu, mungkin dia sangat bingung karena kenyataanya tunangannya itu adalah orang yang berbeda, hanya wajahnya saja yang sama.
"Nak, kamu jangan terlalu banyak berpikir. Kamu nikmati saja masa-masa bahagia mu. Kalian akan menikah, mungkin Juna mengalami sindrom menjelang pernikahan," ucap Pak Artama.
Dita tidak bisa berhenti begitu saja, dia akan menerima perubahan sikap Juna tetapi untuk malam ini, Juna mabuk apa dia harus menerima juga? Tidak, Dita tidak bisa mentolerir hal semacam itu.
"Pa, apa papa tahu kalau Juna mabuk malam ini? Dia pulang dengan keadaan seperti itu. Ini untuk pertama kalinya selama Dita bersama Juna. Apa Juna memiliki masalah yang sulit? Atau mungkin Juna tertekan?"
Dita masih tidak bisa diam, dia terus mempertanyakan semuanya kepada Pak Artama.
"Mm, sungguh anak itu mabuk?"
"Sungguh, Pa. Mana mungkin Dita berani berbohong di depan papa," jawab Dita dengan tatapan serius.
Lagi, Pak Artama menenangkan Dita. Dia tidak ingin gadis itu curiga dan akhirnya tahu yang sesungguhnya.
"Nanti papa sendiri yang akan membicarakannya dengan Juna. Sekarang kamu tidur saja ya," kata Pak Artama yang diikuti anggukan Dita.
Dita menurut, dia melihat calon papa mertuanya memasuki kamar. Tanpa Ibu Diana, Dita hanya berpikir semuanya memang benar seperti semula.
Dita berjalan masuk kedalam kamarnya. Tidak tahu harus seperti apa menyikapinya. Sikap tunangannya membuat dia sangat takut barusan.
Dia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, membayangkan masa-masa kebersamaanya sejak kecil, dengan waktu yang lama. Nyatanya Dita tidak mampu mengenal orang yang dicintainya itu.
Merasa kesal dengan dirinya, Dita memejamkan matanya. Dia mencoba tidur dan melupakan segalanya di hari itu.
***
Pagi kembali, aroma rumput tertimpa embun membuat udara di sekeliling menjadi segar, aroma rumput yang khas merebak melalui fentilasi.
Dita menggerakkan kelopak matanya, dia mengusapnya kemudian membuka matanya perlahan. Sudah jam 6 pagi ketika Dita melihat jam di dinding kamarnya. Bergegas Dita beringsut bangun dan turun dari atas tempat tidurnya.
Tidak melupakan Juna, Dita bergegas keluar setelah mencuci wajah dan menggosok giginya. Hari ini, Dita bekerja lebih siang.
Dita berjalan ke arah dapur, dia membuat air jahe untuk tunangannya sebagai pereda mabuk semalam. Dita sangat sibuk membuatnya, hati-hati dan telaten. Selesai dengan air jahe yang dibuatnya, dia menuangkannya kedalam cangkir.
Segera gadis itu berjalan dengan nampan di tangannya menuju kamar tunangannya.
Tok. Tok. Tok.
Dita mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada sahutan dari dalam. Berpikir pria itu masih tidur, Dita membuka pintunya dan masuk. Namun di saat yang bersamaan dengan langkah kaki Dita, Jeno keluar dari kamar mandi. Hanya lilitan handuk putih di pinggangnya, rambutnya yang masih basah menetes di wajah dan pundaknya. Sesekali terlihat Jeno menyekanya dengan tangan.
Melihat itu tentu saja Dita malu, dia reflek memalingkan wajahnya dari arah Jeno. Jantungnya tiba-tiba berdegup sangat cepat. Lagi, cangkir yang ada di atas nampan itu bersuara karena getaran tangan Dita.
Jeno mengerutkan dahi, dia dengan santai berjalan tanpa malu. Seperti tidak ada sesuatu yang harus dia sembunyikan atau apapun itu. Baginya penampilan semacam itu masih wajar dan tidak memalukan. Bahkan di luar negri orang bebas berjalan hanya dengan boxer ketika musim panas.
"Kamu kenapa? Ada apa pagi-pagi datang ke kamarku?" tanya Jeno yang melihat wajahnya di cermin, sesekali Jeno mengusap rahang dan memeriksa janggut tipis-tipis di sana.
Jeno menarik pentolan laci, dia membukanya. Terlihat pisau cukur di dalam sana, Jeno mengambilnya dengan cepat.
Sembari berbicara dengan Dita yang masih malu-malu, Jeno mencukur janggut halus di wajahnya.
"Jika hanya berdiri di situ dan tidak berbicara apapun, lebih baik kamu keluar dan pergi dari hadapanku," kata Jeno dengan nadanya yang datar, seolah tidak ada cinta sama sekali untuk tunangannya itu.
Dita mulai bergerak, dia berjalan ke arah Jeno dan berhenti tepat di depan meja nakas, wajahnya masih menghindari pria itu. "Aku buatkan air jahe. Semalam kamu mabuk dan ini akan meredakan rasa mabuk di tubuhmu," sahut Dita.
Jeno menoleh, dia berhenti sejenak mencukur bulu-bulu halus di dagunya. "Kamu pikir saya mabuk laut, mabuk kendaraan, sampai kamu membuatkan minuman seperti itu."
"Tapi ini bagus untuk penghilang mabuk," jawab Dita mencoba memberi pengertian kepada pria di sampingnya.
"Jika minuman itu bagus untuk orang mabuk, maka minumlah olehmu. Rasanya kamu lebih mabuk daripada aku. Lihat wajahmu itu, sangat jelek berwarna semerah tomat," ucapnya kepada Dita.
Sepertinya Jeno menangkap perubahan warna di wajah gadis itu. Bagaimana mungkin tidak berubah, Dita benar-benar dibuat malu di pagi hari.
Jeno semakin dekat, dia menggenggam lengan Dita bagian atas, pas dengan ketiaknya. Pria itu sedikit memberi tekanan di sana, Dita meringis. "Juna, apa yang kamu lakukan? Ini sakit Juna...." Keluh Dita dengan sikap tunangannya.
Jeno menatap wajah Dita dengan seringai datar, tidak lembut dan penuh cinta sebagaimana Juna memperlakukan gadis itu. Seorang Jeno, dia tidak nyaman jika terus-menerus harus bersikap seperti kakaknya. Dia butuh dirinya sendiri.
"Aku ingatkan padamu. Jangan selalu ikut campur dengan semua urusanku. Dulu, ya, dulu dan sekarang, ya, sekarang. Aku tidak nyaman jika kamu bersikap seolah-olah sudah memiliki aku sepenuhnya," ucap Jeno penuh ketidaksukaan dari wajahnya. Segera dia menghempaskan Dita dan meminta gadis itu segera keluar kamarnya.
"Kamu keluar sana!"
Kabut mendung di hati Dita, tidak mengerti sindrom apa yang menyerang Juna? Dita tidak mengerti pria itu, tidak lagi mengenal kekasihnya yang bertahun-tahun bersamanya. Dita begitu sedih, pupil matanya bersemu merah, dia ingin marah, menangis dan berteriak bersamaan saat itu.
Dita keluar dari kamar Jeno dengan hatinya yang sedikit retak, tak tahan dengan perubahan tunangannya. Dia berlari menuruni anak-anak tangga, sampai di tangga terakhir dan Pak Artama memergokinya.
Melihat gadis itu menangis tentu saja mencuri perhatian pria tua nan gagah itu. Dia mendekat, bertanya kepada Dita.
"Kamu kenapa Dita? Kenapa menangis di pagi hari seperti ini?" tanya Pak Artama yang begitu cemas.
"Juna, Pa. Juna...." Gadis itu tidak melanjutkan kalimatnya, dia hanya menangis dan berlari sedih masuk kedalam kamarnya.
Pak Artama yang tidak tega, segera dia berjalan ke arah kamar putranya, Jeno Artama.
"Heh, ada apa lagi dengan Jeno? Kenapa dia tidak bisa mengalah terhadap Dita?" Pak Artama begitu pusing dengan keadaan itu. Dia tidak tahu, apa hal yang dilakukan istrinya benar-benar solusi terbaik? Rasanya tidak, bahkan itu solusi paling buruk yang hanya akan menumpuk masalah baru. Seperti saat ini, sikap dan kebiasaan Jeno tidak sama dengan Juna.
Pak Artama cepat-cepat menapaki anak tangga untuk berbicara dengan Jeno. Dia sudah sampai di depan pintu, Pak Artama mengetuknya beberapa kali meminta Jeno membukanya.
Mendengar di depan pintu itu adalah papanya, Jeno bergegas membuka pintunya. Tatapan kecewa terlihat dari kedua netra papanya itu.
"Ada apa, Pa?" tanya Jeno yang mengancing kancing kemejanya.
"Kamu ini gimana Jeno, kamu harusnya bersikap lebih baik kepada Dita. Dia itu calon istrimu," ucap Pak Artama tetapi Jeno langsung mengkoreksi ucapan papanya.
"Calon istri Juna, bukan Jeno," ujarnya.
"Mau tidak mau, suka tidak suka, kamu yang harus menggantikan posisi kakakmu untuk menikahinya. Pernikahan kalian tinggal sebulan lagi, sementara prediksi dokter tentang Juna masih sangat jauh untuk bangun dari komanya," ucap Pak Artama.
Jeno kesal, dia pusing setiap hari di tuntut untuk Dita, Dita dan Dita. Bahkan harus menjadi Juna dan sekarang, dia harus ke kampus seperti dia adalah Pak dosen Juna. Jeno prustasi jika memikirkan semua itu.
"Ya, pa. Jeno akan bersikap lebih baik lagi," ujarnya mengakhiri obrolan itu. Dia mengalah saja daripada papanya terus mengomel tidak jelas.
Setelah papanya keluar dari kamarnya, Jeno sudah rapi dengan pakaian ngajarnya. Hari ini, untuk pertama kalinya Jeno akan mengajar mahasiswa di salah satu universitas menggantikan kakaknya, Juna.
Jeno keluar dari kamar, dia melihat Dita juga keluar kamarnya untuk pergi ke salon.
"Mau pergi bareng, tidak? Kamu mau ke salon mama, kan? Kita satu arah." Jeno berusaha perhatian kepada Dita.
Gadis itu menggeleng, dia masih marah dengan pria di depannya itu. Terang-terangan Dita menolak diantar Jeno.
"Nggak usah, aku bisa naik angkot. Lagi pula aku biasa naik angkot untuk berangkat ke salon," jawab Dita dengan tidak melihat Jeno.
"Kamu masih marah soal yang tadi. Kamu suka ngambek juga ya," sindir Jeno lalu Dita menatapnya.
"Terserah kamu," ujarnya. Sepertinya Dita benar-benar marah dengan Jeno. Gadis itu berlalu pergi setelah memelototi Jeno dengan mata jernihnya itu.
Jeno menghela nafas. "Ah... Dasar wanita! Ngambek aja yang di besarin. Dikit-dikit ngambek, masalah gitu doang marah. Aneh...."
Jeno berjalan ke arah mobil, dia membuka pintu mobilnya dan masuk kedalamnya. Pria muda yang keren dan tampan itu mengemudikan mobilnya menuju arah kampus.
Mobil melaju dengan cepat, Jeno sudah di depan kampus elit di Jakarta. Tempat dimana kakaknya Juna mengajar dan papanya menjabat sebagai rektornya.
Jeno memarkir mobilnya. Gaya fashionable dan stylish melekat padanya. Sangat keren dan berbeda dari penampilan sang kakak ketika mengajar.
Jeno keluar dari mobil, dia berjalan masuk ke dalam gedung universitas. Satu langkah, dua langkah, pria itu sudah menjadi perhatian banyak mahasiswi di sana. Jeno bak magnet yang membuat setiap kepala menoleh padanya, setiap mata terus melekat menatapnya.
Tentu saja seorang Jeno sangat menikmati itu, menikmati ketika semua gadis memperhatikan dan memujanya bak pangeran dari negri dongeng.