Chapter 12 - Tips Keempat

1414 Kata
Tips Keempat : cari tahu hobinya dan berusahalah untuk masuk ke dalamnya! *** Diva menggeliat bangun ketika mendengar suara alarm berbunyi. Menguap, ia turun dari ranjang dan langsung melangkah ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian Diva telah selesai membersihkan diri. Memakai bathdrobe berwarna merah muda dan handuk yang dililitkan kepala karena ia baru saja selesai keramas, Diva keluar dari kamar mandi. Gadis muda itu terkejut ketika melihat Aaron tepat di depan pintu kamar mandinya. “Aaron! Mau ngintip ya!” tuduh Diva tanpa basa-basi. “Enak aja! Mana ada Dewa mengintip? Dari pada ngintip, aku lebih suka lihat secara langsung. Dan kalau memang itu tujuan awalku, aku nggak akan nunggu kamu di depan pintu kamar mandi.” Diva mendengus kecil, lalu berlalu melewati Aaron. Sepertinya sampai kapan pun Diva tidak akan terbiasa dengan kemunculan Aaron yang tiba-tiba. “Aku sudah melakukan survey ke beberapa tempat, Diva,” sampai Aaron ketika Diva mulai menghidupkan hair dryer-nya. Dari meja rias, Diva hanya melirik sekilas. Namun Aaron tahu perempuan itu sedang mendengarkan. Dengan sekali tepukan tangan, sebuah buku pun muncul di tangan Aaron. Pria tersebut membuka halaman di mana ia mencatat hasil wawancaranya dengan beberapa hantu yang baru-baru ini meninggal dunia. Khususnya mantan orang-orang yang pernah hidup dan mengejar seseorang yang cuek hingga akhirnya berhasil jadi. Setelah itu, Aaron pun merangkum kembali beberapa tips untuk ia berikan pada Diva selanjutnya. Lihat, betapa baiknya Dewa Hawa Nafsu ini! Seharusnya ia mendapat penghargaan di dunia dewa atas kerja kerasnya! Cih! “Beberapa mantan orang mengatakan—“ “Mantan orang?” sela Diva buru-buru. Dahinya mengernyit dalam tidak mengerti. “Biasanya kamu dan para manusia yang masih hidup menyebutnya dengan sebutan hantu.” Diva ber-oh ria, namun tetap fokus mengeringkan rambutnya yang basah. “Beberapa hantu mengatakan tips ini akan berhasil. Cari tahu hobi Samudra dan jika bisa masuklah ke dalamnya. Dengan cara ini kamu otomatis akan berada di ruang lingkupnya dan akan menjadi lebih dekat dengan Samudra. Karena yah, mau tidak mau kalian akan sering ketemu.” Samudra mengindikkan bahu. “Hobi yang sama.” Butuh beberapa detik hingga akhrinya Diva paham maksud Aaron. Dan tak butuh lebih dari 2 detik bagi Diva untuk mengucapkan kata, “Basket.” Tersenyum tipis, Aaron menepuk rambut Diva yang sudah setengah kering. “Gadis pintar. Jadi, kamu tau apa yang harus kamu lakukan?” Diva mengangguk polos. Bibirnya membentuk senyum lebar hingga menampakkan gigi-giginya yang putih. Mematikan hair dryer, Diva menuju ke almari. Mangambil seragam putih abu-abu dan memakainya. Sempat ia mengusir Aaron lebih dulu sebab ia harus ganti baju. Selesai, Diva menyisir rambut. Lagi-lagi Aaron muncul tiba-tiba. Ia mengambil sisir dari tangan Diva tanpa permisi. “Biar aku saja. Sekalian aku ikat rambut kamu.” “Bisa?” “Jangan remehkan kemampuanku! Gini-gini, aku sering mengepang rambut ayahku.” Diva menahan senyum geli, membayangkan Aaron melakukan hal tersebut dengan ayahnya. Rambut para tetua Dewa memang kebanyakan mencapai bahu. Sementara Aaron sendiri memilih potongan rambut kekinian karena harus sering berkunjung ke dunia manusia mengikuti pangsa pasar. Gerakan tangan Aaron begitu luwes. Diva terkejut melihat hasil kepangan Dewa Asmodeus tersebut. Aaron mengepang rambut depan Diva dan ia tarik ke belakang untuk ia ikatkan membentuk garis tengah. Lalu Aaron sengaja membiarkan setengah rambut Diva tetap tergerai lurus. Benar-benar karya salon! “Bagaimana?” “Keren!” puji Diva jujur sambil mengacungkan dua jempol. Aaron pun tersenyum pongah. Menepuk da-danya karena saking bangga. Beberapa saat kemudian, Aaron mengingat sesuatu. “Nggak bikin nasi goreng lagi?” Kedua bola mata Diva membulat. Ia menepuk jidat. “Ya ampun, lupa! Mana Diva udah mandi.” Aaron memutar bola mata. “Ya udah gih sana!” Diva mengangguk. Ia meraih tas slempangnya kemudian bergegas keluar dari kamar dan turun ke lantai satu. “Bibi! Diva lupa mau bikin nasi goreng buat Samudra!” seru Diva. Ia meletakkan ranselnya begitu saja di atas meja lalu menuju pantries. Akan tetapi Bi Inah tiba-tiba muncul di baliknya sambil menyodorkan sebuah kotak bekal makan siang. “Ta-daaa! Sudah saya siapkan! Non Diva tinggal berangkat!” Jika saja Diva tidak ingat ia bisa terlambat masuk apabila memaksa untuk memasak sendiri, ia pasti akan menolak. Tapi kemarin Diva sudah terlambat, ia tidak bisa terlambat lagi. “Besok Diva bangun lebih pagi, deh!” tukas Diva sambil menggaruk dahi. “Ya sudah makan dulu, Non. Sesuai request, saya sudah membuatkan sandwich!” “Makasih banyak, Bi! Kayaknya ini udah terlambat banget. Nanti Diva makan di mobil. Diva berangkat dulu!” pamit Diva. Tak lupa mengambil kotak bekal dan sepotong sandwich di meja makan berikut dengan ransel kemudian langsung menuju pintu keluar. Pak Umang terlihat sudah menunggu di dalam mobil. “Pagi, Pak Umang!” “Pagi! Saya pikir bakal terlambat lagi,” kekeh Pak Umang dari dalam mobil. Diva tersenyum, ia pun masuk ke dalam mobil dan kendaraan tersebut melaju cepat ke jalan raya. *** Menuju mading sekolah, Diva mencari-cari poster yang dua bulan lalu sempat Diva lihat. Ada pengumuman di mana tim basket putri sedang mencari anggota. Berbeda dengan tim basket pria yang digandrungi dan banyak peminat, tim basket putri malah sepi peminat. Kebanyakan siswi akan mengambil ekstrakulikuler fashion, modelling, drama, penyiar radio atau jurnalistik. Diva mencatat nomor handphone ketua tim lalu dengan cepat mengetikkan sebuah pesan tentang apakah masih ada slot sisa untuk anggota baru. Tak butuh waktu lama, pesan Diva berbalas. Diva hampir melompat kegirangan membacanya. Masih ada slot yang itu berarti Diva bisa ikut mendaftar. “Besok berangkat ya! Akan ada beberapa tes buat anggota baru. Jangan lupa bawa baju olahraga, jangan  pakai seragam putih abu-abu.” Begitu isi pesan baru yang masuk. Diva membalas “Oke” dan “Terima kasih.” Kembali ke kelas, Diva mengambil kotak bekal makan siang berisi nasi goreng. Dengan langkah kaki ringan, Diva menuju kelas Samudra. Bari yang sedang menuju kelas Diva dan melihat cepat-cepat menyusul. “Mau ke mana Div?” “Bari!” kata Diva. “Mau ngasih ini.” Diva memperlihatkan kotak bekal makanan di tangan. “Buat Samudra?” Diva menjawabnya dengan anggukan. Memberikan sedikit efek sakit tapi tidak berdarah di hati Bari. Sudah sejak sangat lama Bari tahu Diva menyukai Samudra. Tapi ia selalu bersyukur dalam hati sebab Samudra adalah cowok yang dingin. Sebab rasanya ia tidak rela melihat Diva jadian dengan cowok lain, sementara ia sudah menyukai Diva sejak lama. “Emang kamu tau Samudra di mana?” “Tadi kata Rino, mereka masih di kelas. Ada ulangan tambahan. Biasa pelajaran Pak Handoko. Kan suka gitu, terlambat istirahat.” Bari ber-oh ria. Saat mencapai kelas Samudra, beruntungnya mereka sudah selesai. Pak Handoko keluar dari ruang kelas sambil membawa beberapa kertas di tangan. Diva dan Bari mengangguk kecil sambil tersenyum sebagai rasa hormat siswa terhadap guru, kemudian barulah Diva masuk ke kelas Diva. “Hei, Diva!” sapa Rino. Sahabat Samudra yang paling welcome pada Diva sejak pertama kali. “Hai, Rino!” sapa Diva balik. “Hai, Farrel!” Farrel hanya menjawab dengan hormat dua jari. Ia sudah sibuk dengan ponselnya karena hendak mabar dengan teman-teman cowok lainnya. Melirik ke arah Samudra, Diva meneguk saliva. Ia pun berjalan ke bangku Samudra lalu memberikan kotak bekal makanan yang ia bawa pada laki-laki itu. “Ini buat Samudra. Tapi maaf, nasi goreng hari ini bukan buatan Diva, tapi buatan Bi Inah. Diva kesiangan bangun. Tapi Diva janji, besok Diva sendiri yang bakal siapin bekal makan siang buat Samudra!” Samudra nampak sama sekali tidak tertarik. Alih-alih, ia malah menyalakan musik dan memakai headset menutup telinga. Sungguh, saat itu Bari ingin menonjok muka Samudra. Bisa-bisanya cowok itu begitu dingin dan tidak menghargai Diva! Namun, Rino yang cepat membaca situasi menepuk bahu Bari dan Diva. Ia memeluk keduanya dan berketa, “Lapar nih! Kantin yuk! Lagian lo Div, masa yang dibuatin bekal Cuma Samudra? Gue juga mau kaliii makan siang gratis tiap hari.” Rino mencoba melawak. Ia menyeret dua orang tersebut keluar dari kelas. Bagaimana pun Rino tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Setelah cukup jauh, Diva melepas rangkulan Rino. "Diva udah kenyang tadi sudah makan." "Tapi gue lapar," rengek Rino. "Rino makan sama Bari aja. Diva mau ke perpustakaan. Ada janji tadi sama Kayla buat referensi tugas Bahasa Indonesia." Tanpa sadar Bari dan Rino bersitatap, membuat keduanya sadar jika Rino masih dalam posisi merangkul Bari. Cepat-cepat keduanya saling mendorong satu sama lain dan menatap jijik. "Diva, tunggu! Aku ikut!" teriak Bari, berlari cepat menyusul Diva. Rino menggelengkan kepala. Namun sebuah kenyataan lantas menghantam kepala Rino, bahwa sedang terjadi kisah cinta segitiga di sini, antara Bari - Diva dan Samudra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN