Chapter 13 - Tim Basket

1755 Kata
Jika ada pelajaran yang Diva kurang menguasai maka jawabannya adalah basket. Diva tau bagaimana cara bermain tenis atau bulu tangkis, Diva bisa bermain voli, tapi tidak dengan basket. Lihat saja sekarang. Diva sudah menerima bola yang dioper padanya, dan ia sendiri sudah berlari menuju ring. Diva hanya tinggal memasukkannya saja akan tetapi tepat saat ia melompat, Lulu juga melompat untuk menghalangi. Terjadilah benturan yang tidak bisa dihindari. Meringis, Diva menyaksikan bagaimana bola yang tadi berada di tangan sudah berpindah ke tim musuh. Gigi mengulurkan tangan pada Diva agar Diva segera berdiri. “Lo nggak apa-apa?” tanyanya. “Iya,” angguk Diva. Peluit pun berbunyi. Sara—kapten tim basket putri—masuk ke lapangan dan melambaikan tangan ke udara, sebagai isyarat agar seluruh anggota berkumpul. “Kacau, kacau, kacau!” decak Sara sambil menggelengkan kepala. Air mukanya nampak kesal dan pasrah di saat yang sama. Bagaimana tidak? Jika rasanya seluruh anggota tim nyatanya tidak paham bagaimana tata cara bermain basket yang benar? Alasan yang sama inilah yang membuat tidak ada satu pun guru yang mau membimbing tim basket putri, sebab mereka tau jika tim basket putri sekolah sangatlah kacau. Berbanding terbalik dengan tim basket putra yang berkali-kali mampu masuk 3 besar rank final kejuaraan nasional. “Sudah gue bilang berkali-kali, jangan kerubungi bolanya. Mencar dong! Bola itu di oper-oper, jangan diperebutkan! Masa main basket kayak main bekel!” Semua anggota saling diam, sebagian tidak peduli dan sebagian lagi tidak mendengarkan. Karena memang sebenarnya mereka bergabung dengan tim ini agar di notice oleh pria populer idaman mereka. Siapa lagi jika bukan Samudra? Tepat di saat yang sama, tim basket putra masuk ke lapangan. Mereka mengambil sisi lapangan yang lain sebab memang lapangan di sana tidak hanya satu, tapi ada beberapa tergantung cabang olah raga. Yang jelas di gedung olah raga indoor ini ada 2 lapangan bersebelahan dan biasanya dipakai berlatih setelah pulang sekolah oleh tim basket putra. “Kyaaa ... Samudra! Samudraaaa!” pekik salah satu siswi histeris. Meninggalkan briefing dari Sara, ia menuju tepi lapangan tim basket putra. Anggota yang lain pun ikut menyusul termasuk dengan Diva. Namun baru saja ia melangkah, suara Sara sudah mencegah. “Eh lo! Lo anak yang baru gabung tim kan?” Diva mengangguk. “Iya.” “Nah, bagus! Kalau gitu lo beresin bola-bola basket di lapangan ini okay? Nanti bakal gue cek lagi!” “Tapi—“ Belum selesai Diva berkata, Sara sudah meninggalkan Diva dan bergabung dengan anggota tim yang lain. Mereka menyoraki Samudra, pun dengan beberapa siswi lain yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler mana pun. Mereka sudah duduk di bangku penonton sambil berteriak-teriak. Diva hanya menatap penuh iri. Biasanya, ia akan jadi salah satu cewek itu, yang meneriakkan kata semangat untuk Samudra. Sara menoleh, dengan isyarat tangan menyuruh Diva agar segera membereskan bola bekas latihan mereka. Terpaksa, Diva pun harus menunda menyemangati sang idola. Butuh waktu yang lama bagi Diva untuk membereskan semua bola basket yang tercecer dari ujung ke ujung. Sekali-sekali ia melirik kepo jalannya pertandingan yang sedang terjadi. Sesekali juga Diva ikut berteriak ketika Samudra hendak mencetak point di ring. Membuat pekerjaannya semakin lelet dan lambat selesai. Diva memasukkan bola terakhir dalam ranjang tepat 10 menit sebelum pertandingan basket putra selesai. Ia keluar dari gedung lapangan indoor dan menuju kantin terdekat, membeli tiga botol air mineral lalu berlari kecil kembali ke lapangan. Benar saja perhitungan Diva. Peluit tanda pertandingan usai pun berbunyi. Cepat-cepat Diva mencari keberadaan di mana Samudra berada. Dan seperti biasa Rino-lah yang pertama kali me-notice kedatangan Diva. “Div!” serunya melambaikan tangan. Tersenyum, Diva menghampiri Rino. “Astaga, lo tau aja air gue habis. Tadi mau beli lupa keburu latihan,” kekeh Rino saat Diva menyodorkan sebotol air padanya. “Buat gue mana Div?” Farrel yang melihat ikutan menghampiri Diva. Diva pun memberikannya satu, sementara matanya mengawasi Samudra yang nampak acuh dan berbicara dengan anggota tim yang lain. “Itu buat Samudra?” tanya Farrel. Diva pun mengangguk. “Ya udah, samperin aja nggak apa-apa. Tapi—“ Diva tidak menunggu Farrel menyelesaikan kalimat, ia sudah melangkah menghampiri Samudra. Tanpa banyak kata karena Diva merasa lidahnya kelu, Diva menyodorkan botol air mineral terakhir di tangan pada Samudra. Untuk beberapa saat, Samudra hanya menatap Diva datar. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran gadis dengan tinggi sebahunya ini. Padahal Samudra selalu menyuekinya tapi Diva seolah punya seribu cara untuk mencari perhatian darinya. “Gue nggak haus,” kata Samudra singkat. Ia baru akan berbalik ketika melihat 4 anggota member mengelilinginya. Samudra mengerjab, melihat wajah mereka bergantian yang penuh dengan keringat. Lalu menghela napas dalam dan berbalik lagi, langsung mengambil air di tangan Diva. Diva tersenyum sennag karena akhirnya Samudra menerima pemberian darinya, namun kesenangan itu hanya sesaat. Sebab di depan mata kepala sendiri, Samudra melempar botol air mineral itu pada teman-temannya, yang langsung dijadikan bahan keroyokan. Rupanya mereka semua kehausan karena air minum habis dan belum beli. Sementara tim basket putri yang tadi tidak suka melihat tingkah sok Diva kini berbalik menertawakan. Samudra pun langsung pergi begitu saja tanpa satu kalimat apapun. Farrel dan Rino menghampiri Diva. Bagaimana pun mereka merasa tidak enak pada gadis polos tersebut. “Samudra emang gitu, Div. Makanya tadi gue belum selesai ngomong lo udah pergi,” kata Farrel. “Jangan diambil hati ya meskipun rasanya sakit tapi nggak berdarah. Kalau bisa sih gue saranin nge-fans nya sama yang lain aja. Gue misalnya. Atau Farrel. Kita itu memperlakukan fans dengan baik, beda sama Samudra!” Farrel mengangguk-angguk. “Tapi, Rin. Emang ada ya yang nge-fans sama kita? Kayaknya nggak ada deh.” “Itulah kenyataannya, bro! Semua siswi kayaknya Cuma nge-fans sama Samudra, ketua OSIS kita, sama Ryan si model ngondek itu.” Farrel dan Rino sama-sama menghela napas kecewa. Mungkin memang benar mereka harus menghasut Diva agar menjadi fans mereka. Lebih baik punya satu dari pada tidak ada sama sekali bukan? *** Karena latihan telah selesai, satu per satu siswa pun mulai meninggalkan lapangan. Terlebih saat Samudra sudah keluar mendahului untuk pergi ke ruang ganti khusus tim, disusul dengan anggota lain, nyaris tidak ada satu pun yang tersisa. Indra—ketua tim basket putra yang saat ini menjabat—menghampiri Sara. Mereka nampak bercakap sejenak dan terlihat Sara tersenyum malu-malu. Pipinya merona merah karena salah tingkah. Sampai akhirnya Indra melambaikan tangan dan meninggalkan lapangan, Sara menatap tim anggota basket putri yang masih tersisa. “Mau ke mana lo?” Sara menghampiri Diva yang sudah memakai ranselnya. “Pulang lah,” jawa Diva. “Lah, kan belum beres.” “Udah kok. Itu!” tunjuk Diva pada kerangjang yang berisi tumpukan bola basket. “Itu belum!” ganti Sara pada beberapa bola basket di lapangan tim pria tadi. “Itu juga?” “Ya iyalah!” jawab Sara sembari memutar bola mata. Bahu Diva merosot. Ia meletakkan kembali tas ranselnya dan langsung berjalan kembali ke lapangan. “Diva, kalau udha nanti gedungnya jangan lupa ditutup dan dikunci ya. Tinggal digembok doang dari luar. Oke?” “Lha kamu mau kemana?” tanya Diva setengah berteriak karena jaraknya dengan Sara dan teman-temannya cukup jauh. “Kita mau pulang dulu.” “Terus Diva harus beresin ini sendirian?” Beberapa siswi tersenyum geli dan langsung meninggalkan lapangan mengabaikan Diva sementara Sara menyempatkan diri untuk menjawab. “Lo kan baru gabung di tim, jadi ada peraturan yang mengatakan bahwa ini adalah tugas dari anggota baru. Jadi nggak usah banyak protes, kerjakan aja. Kalau nggak besok nggak usah datang ke tim lagi. Masih banyak kok yang mau join jadi anggota tim kita. Ya nggak, girls?” tanya Sara pada dua anteknya. Indah dan Lika. “Betul sekali!” jawab keduanya serempak. “Dengar? So, beresin semuanya oke? Awas kalau besok gue dengar masih ada satu bola basket tercecer! Lo bakal gue tendang dari tim!” ancam Sara yang sebenarnya melakukan ini semua atas pencitraan belaka. Ia memang selalu menawarkan bantuan pada Indra untuk membereskan lapangan bekas latihan tim basket putra meski kenyataannya ia akan menyuruh-nyuruh anggota tim untuk memberekannya. Yang penting ia tampak baik di depan Indra dan Samudra dan juga semua anggota tim basket cowok. Sara pun pergi, disusul dua temannya. Meninggalkan Diva sendirian di sana. Diva hanya bisa bersabar. Ia juga tidak ingin ia dikeluarkan dari tim sehingga ia bisa melewatkan setiap momen latihan Samudra. Diva ingin lebih dekat dengan cowok itu dan ia paham betul bahwa ini adalah salah satu jalan terjal yang harus ia lalui. Kan kata orang berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian? Dengan langkah setengah malas, Diva pun mulai berjalan ke sana kemari memungut bola-bola basket yang tersebar di lapangan luas indoor tersebut. Sementara itu di ruang ganti siswa ... “Kenapa, Sam?” tanya Rino melihat Samudra yang sibuk mencari-cari sesuatu. “Kunci motor gue kok nggak ada. Kalian lihat nggak?” tanya Samudra balik sambil memeriksa kembali isi loker dan sakunya. “Lah, lo taruh di mana tadi emang?” “Ada kok tadi. Sebelum latihan tadi kayaknya juga masih ada.” “Lupa naruh kali!” celetuk Farrel. Samudra duduk di sebuah bangku sejenak, memikirkan di mana letak terakhir ia melihat kunci sepeda motornya. “Jatuh di lapangan kali ya?” tanyanya pada diri sendiri. “Buruan ambil, Sam. Nanti keburu pintu dikunci tim cewek lo nggak bisa masuk gedung,” saran Indra. Ia menutup pintu loker dan pamit pulang lebih dulu. “Gue duluan!” “Yoi!” “Di sana ada tim cewek?” tanya Samudra malas pada dua sahabatnya. “Setahuku sih, iya. Yang beresin lapangan basket mereka kan ya?” Samudra menatap Farrel penuh tanya, lalu Farrel menjelaskan. “Selama ini lo pikir kenapa jadwal membersihkan lapangan tim kita nggak jalan? Ya karena tim cewek yang selalu mengajukan diri buat beresin semuanya.” Samudra ber-oh ria. Lantas berdiri dan menepuk bahu temannya. “Ya udah, gue cari di lapangan dulu.” “Temenin nggak?” tanya Rino yangs ebenarnya modus. Siapa tau ia bisa PDKT sama salah satu tim cewek. Hehe. Berpikir bahwa sendirian dikerubuti banyak cewek membuat Samudra tidak suka, ia pun mengiyakan permintaan Rino. Farrel tak mau ketinggalan. Ia ikut keduanya. “Siapa tau lo butuh mata ekstra buat cari kunci,” kekeh Farrel beralasan. Padahal isi hatinya sama dengan Rino. Modus! Ingin PDKT dengan salah satu tim cewek. Ketiganya berjalan beriringan kembali ke gedung lapangan indoor. Sesekali mereka bercanda dan memaki. Sebenarnya candaan tersebut didominasi oleh Farrel dan Rino, sedangkan Samudra lebih asik berdiam diri sambil sesekali tersenyum geli mendengar celoteh dua sahabatnya. Ya, setidaknya dengan Rino dan Farrel, Samudra menjadi sedikit terhibur. Dunianya tidak sesepi saat ia nanti pulang ke rumah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN