Seperti inikah rasanya memiliki seorang ibu?
Pertanyaan itu terus berulang-ulang terngiang di kepalaku merasa aneh saat sosok asing memberikan atensi lebih padamu. Aku bahkan tidak yakin kalau sosok yang sekarang tengah mengiris buah mangga untukku tersebut adalah Mami dari mahluk dingin bernama Lucas itu.
Tante yang mengaku bernama Delila menatap ku aneh yang hanya menggeleng kepala. Aku salah tingkah dan langsung tersenyum kearahnya yang membalas senyum ku dengan lembut.
Wanita yang masih terlihat cantik di usia setengah bayanya itu memberikan mangga yang sudah dia kupas dengan ahli.
"Jadi kamu mengenal putra Mami Dea?" Aku merasa aneh saat Mami Lucas memaksa ku untuk memanggilnya dengan sebutan yang sama seperti anaknya. Rasanya hatiku terasa hangat.
"Tidak terlalu mengenal Mi, tapi aku memang harus berterimakasih karena dia sudah menyelamatkan hidupku tadi malam.."
"Menyelamatkan? Maksudmu mencegahmu bunuh diri?" Aku berbalik menatap terkejut kearah pria yang berdiri dengan tatapan penuh kuasa itu. Bahkan aku sedikit terpana dengan penampilannya yang cukup berbeda. Tidak ada kemeja, hanya kaus dan jaket kulit.
Tunggu? Aku sudah gila kalau sampai terpana pada cowok sialan yang langsung merusak moodku siang ini. Apa katanya? Bunuh diri? Hah yang benar saja.
"Kamu bilang bunuh diri?" Aku bertanya dengan mata menantang matanya menjawab pertanyaan ku yang memang sudah jelas jawabannya bahwa aku tidak segila itu untuk bunuh diri.
"Jelas kamu ingin mengakhiri nyawa mu hanya karena cowok sialan itu." Dia menuding tajam dan kenapa kata-katanya selalu ada kata sialannya.
Aku bangun tak terima di katakan ingin bunuh diri hanya karena cowok. Hanya cowok?
"Kamu benar-benar gak bisa ya buat hidup aku tenang saja. Yang benar saja, kamu menuduhku ingin bunuh diri hanya karena cowok sialan yang telah menghamili cewek asing. Nyatanya jika memang aku bunuh diri butuh alasan yang lebih baik dari itu, misalnya karena cowok asing yang mengatakan kalau aku hanya anak tak di anggap di keluargaku." Aku berkata dengan cepat. Dia mematung menatap dengan tatapan tak ku tahu artinya. Aku marah padanya, bahkan aku sudah tidak minat lagi mengucapkan terimakasih.
Aku berlari kearah kamar yang ada di lantai atas. Ingin saja aku keluar dari rumah ini tapi dia ada di jalan akses untuk keluar dan dapat kuyakini kalau aku akan dia hadang. Jadi aku masuk kembali ke kamar dimana aku tidur dan langsung mengunci pintu kamar. Kuhempaskan tubuhku dengan kasar di atas ranjang yang empuk itu, menenggelamkan kepalaku di bantal dan menangis di sana. Kenapa tidak pernah ada yang bisa menghargaiku? Kenapa mereka semua seolah berlomba untuk menoreh luka di hatiku.
"Dea! Ini Mami. Biarkan Mami masuk sayang, Mami ingin bicara." Aku diam kembali menenggelamkan wajahku di atas bantal.
"Dea Mami mohon. Kita bicara ya sayang." Aku kurang ajar kalau seorang ibu harus memohon hanya demi anaknya. Mami Delila masih membujuk di balik pintu bahkan sekarang aku malah terkesan tak tahu diri.
Aku bangun, mengusap wajahku dengan cepat dan membuka pintu. Melihat Mami Delila tersenyum kembali dengan senyum hangatnya.
"Mami boleh masuk?" Dia bertanya seolah aku saja si pemilik kamar. Nyatanya kamar ini milik seorang pria terlihat dari isinya.
"Mami pemilik rumahnya." Aku menjawab ragu.
Mami Delila memegang kedua tanganku dan membimbing ku masuk kamar. Dia duduk di atas ranjang dan aku di dekatnya.
"Maukah Dea tidur di pangkuan Mami?" Pertanyaan itu membuat aku tak bisa berkata apapun. Aku benar-benar terharu dengan kebaikan sosoknya.
Aku mengangguk dan langsung merebahkan diriku, menjadikan pangkuannya sebagai bantal. Dia mengelus helai rambutku yang panjang, menatap ku dengan senyuman yang tak pernah pudar.
"Aku tidak pernah mencoba bunuh diri." Aku bersuara terhanyut dalam suasana yang begitu menenangkan.
"Mami percaya kamu tidak mungkin melakukannya." Tangannya tak berhenti mengelus kepalaku seolah aku adalah anaknya yang lama tak pernah ia lihat.
"Tapi kenapa Lucas menuduhku seperti itu? Dia juga mengikutiku." Aku baru sadar kalau Lucas pasti mengikutiku hingga dia tahu aku bertemu dengan Adam.
"Kamu mengingatkannya pada seseorang. Hingga ia merasa memang perlu melakukan itu." Mami terlihat menerawang. Ada kesedihan di sana, siapa yang bisa membuat Mami sampai menunjukkan rasa lukanya itu.
"Apa dia kekasih Lucas? Wanita yang Mami inginkan jadi menantu Mami?" Rasa penasaran mendorongku bertanya.
Mami Delila mengulum senyum. "Tidak. Dia sahabat Mami tapi Lucas menyayanginya bahkan ia menjadikannya panutan sampai sekarang. Wanita pekerja keras dan ambisius tapi semua kalah oleh cinta yang ia miliki."
"Dimana dia sekarang Mi?"
"Sayangnya dia sudah tiada. Dan Lucas yang paling terpukul oleh kejadian itu. Nanti kalau kamu sudah baikan dengan Lucas kamu bisa bertanya pada Lucas sendiri, Mami takutnya dia marah Mami lebih dulu bercerita pada kamu."
"Dia memang mudah marah. Tapi aku tidak benci pada anak Mami yang dingin itu, aku hanya kesal karena ia selalu benar dengan kata-katanya. Tapi tetap saja aku kesal." Mami Delila terkekeh mendengar penuturanku, aku jadi salah tingkah.
"Mami ingin kalian tidak bertengkar. Lucas memang terkadang terlalu berlebihan menjaga sesuatu yang ia sayang."
"Maksud Mami?" Aku tidak mengerti.
"Tidak. Sebaiknya kamu Mandi sekarang. Lucas akan mengantarmu pulang." Aku mengangguk langsung bangun dari pangkuan Mami Delila.
***
"Pokoknya Mami tidak terima penolakan. Hari senin itu kamu harus ikut, Andre akan pulang jadi kita akan pergi berlibur bersama. Kamu kalau memang sayang Mami kamu harus ikut." Aku menggaruk tengkuk ku, tak tahu harus menjawab apa. Andre? Kurasa aku tak terlalu punya masalalu yang baik dengan Andre tapi menolak ajakan Mami juga tidak mungkin.
Lucas tidak membantu sama sekali, dia malah sudah tenang duduk di dalam mobil sportnya. Benar-benar bukan pria yang bisa di andalkan.
"Dea tidak bisa janji Mami, tapi Dea akan usahakan. Soalnya hari itu acara from night di sekolah Dea." Alasan yang sangat tidak masuk akal. Bahkan aku tidak akan pergi ke acara tak bermutu itu.
"Kurasa Andre tak akan keberatan menemanimu tak ikut acara itu." Benarkan, alasannya memang sangat tidak bermutu.
"Baiklah."
"Bagus!" Mami memelukku dengan antusias. "Lucas akan menjemputmu." Aku menghembuskan nafas frustasi. Lucas lagi.
"Sampai jumpa hari senin Mami." Ucapku tak bersemangat.
Mami mengangguk.
Aku melangkah masuk kedalam mobil, melihat Lucas yang masih juga menatap lurus kedepan seolah aku tidak ada. Aku melihat Mami melambai tapi kami tidak juga jalan, aku menatap Lucas bingung karena ia hanya diam saja. Apa kita masih menunggu seseorang? Ingin saja ku suarakan tanya itu tapi aku takut Lucas tak mau menjawabku dan membuat diriku malu sendiri.
Lucas membuka sabuk pengamannya. Aku tersentak kaget saat ia semakin mendekat, dia tidak akan melakukan apapun kan? Demi tuhan ada Maminya di sini tapi Lucas orang yang nekat. Jantungku seolah berhenti berdetak saat jarak itu semakin menghilang saja tapi malah aku berakhir malu sendiri saat ternyata Lucas hanya memakaikan aku sabuk pengaman.
Mobil langsung ia jalankan tanpa adanya basa-basi. Aku malah kesal sendiri.
Tapi buat apa aku kesal? Apa karena Lucas tidak berbuat yang macam-macam. Demi tuhan, aku masih waraskan?
Aku menatap Lucas yang masih saja asik dengan setir mobil nya. Membuat aku jengah dengan keadaan ini. Kenapa seolah aku yang harus memulainya lebih dulu? Kenapa bukan dia yang meminta maaf padaku? Bukankah dia yang salah? Atau aku yang salah? Tidak. Aku akan gila.
Aku kembali menatap Lucas yang masih saja diam dengan wajah datarnya. Aku memang gila.
Aku membuka sabuk pengamanku, memberikan atensiku dengan penuh kearahnya. "Pakai kembali!" Perintah nya membuat aku mati kesal.
"Diam! Aku tidak bisa melakukan ini dengan cara cepat." Dia menatapku dengan aneh. "Jangan juga menatap kearah ku karena aku butuh fokus sekarang." Dia kembali meluruskan tatapannya dengan laju mobil yang ia pelankan.
"Aku ingin berterimakasih karena menyelamatkanku kemarin." Aku bersuara dengan ragu, tapi ia tetap diam seolah tahu kalau ucapanku belum selesai. "Aku juga mau bilang, mungkin kamu benar. Tentang aku yang mau bunuh diri. Tapi tuduhanmu terdengar berlebihan menurutku karena aku tak ada niat melakukan itu. Aku hanya ingat kalau ada mobil yang ingin menabrak ku dan tiba-tiba saja aku merasa tenang. Seolah aku tak akan merasakan sakitnya, aku merasa ada orang yang menjagaku. Aku tahu itu terdengar aneh tapi aku berpikir kalau ada sosok yang akan menyelamatkan aku dari rasa sakit itu." Aku menjelaskan panjang lebar merasa bebanku sedikit terangkat. "Maaf kalau aku berlebihan dalam segala hal yang membuat kamu mengkhawatirkan aku." Akhirnya aku juga yang minta maaf.
Lucas meminggirkan mobilnya dan dengan cepat membuka sabuk pengamannya. "Jangan membahayakan dirimu lagi. Aku ada." Dengan suara itu ia mendaratkan kecupannya di keningku. Aku membeku.
Dera akan membunuhku.
***