Awal Dari Akhir

1358 Kata
“Pesawat Eagle Air BG427, tujuan Singapura ditemukan terjatuh di kawasan hutan Riau 15 menit setelah dilaporkan hilang kontak. Para ahli menduga penyebab kecelakaan ini berasal dari kerusakan pada alat bantu navigator Inertial Reference System (IRS), dan icing yang menyebabkan mesin pesawat mati karena pendinginan." "Menurut kotak hitam yang ditemukan, kedua pilot sempat membenahi satu kerusakan dan lupa memperhatikan instrumen yang lain, hingga pesawat miring dan terjatuh di hutan lalu meledak selang beberapa menit setelah terjatuh. Kecelakaan pesawat ini merenggut setidaknya 248 korban meninggal dunia serta ...." Pip! Gama mematikan saluran televisi tersebut dengan cukup kasar, sudah dua hari kejadian itu berlalu, namun berita tentang kecelakaan tersebut terus menerus dinaikkan seakan tidak memikirkan bagaimana perasaan keluarga korban. Selama dua hari, rumah Gama dipenuhi dengan karangan bunga yang berasal dari kolega kedua orang tuanya hingga membuat lelaki itu kesulitan masuk ke dalam, dan selama dua hari pula ia terus bolak-balik menuju rumah sakit untuk menemani Gia yang sampai saat ini tak sadarkan diri. Iya, pada akhirnya Gia berhasil di evakuasi oleh tim gabungan dari TNI dan SAR selang satu jam setelah gadis tersebut kembali pingsan. Cukup mustahil memang jika melihat bahwa pesawat yang Gia tumpangi jatuh dari ketinggian 10.000 kaki, namun gadis itu hanya menderita luka di pelipis serta mengalami gegar otak ringan yang tidak sampai membuatnya kehilangan ingatan. Benar-benar keajaiban, pikir semua orang. Saat ini, Gema tengah berada di dalam sebuah ruangan rawat inap berukuran 12m², menatap Gia yang masih setia menutup rapat matanya ditemani dengan suasana hening yang mendominasi. Meskipun kata dokter kondisi sang adik baik-baik saja, namun Gama tetap merasa sangat khawatir. Lalu, apakah Gama sedih ketika tau bahwa kedua orangtuanya meninggal? Tentu saja, ia bahkan menghabiskan waktu selama satu jam untuk menangis di pemakaman papa dan mamanya. Namun kembali lagi, tak ada yang bisa ia salahkan atas kejadian ini, semuanya memang sudah menjadi takdir yang telah disiapkan sebelum dirinya lahir di dunia. Mungkin kedepannya akan terlihat sangat sulit bagi Gama dan sang adik menjalani hidup tanpa kedua orang tua, tapi Gama yakin luka mereka pasti akan sembuh seiring dengan berjalannya waktu. Terlalu larut dalam pikiran membuat lelaki itu seketika membulatkan mata saat melihat punggung tangan Gia bergerak, mata yang sempat tertutup rapat kini lambat laun mulai terbuka, sepasang netra madu miliknya terasa nyeri saat bertatapan langsung dengan lampu serta paflon rumah sakit yang berwarna putih. Tidak, bahkan sekujur tubuhnya saat ini terasa sangat nyeri dan kaku. “Gia, kamu denger kakak, nggak? Sebentar ya, kak Gama panggil dokter dulu,” ucap Gama dengan nada panik, tangannya terus menekan tombol merah yang berada di samping ranjang tempat sang adik berbaring. Mendengar perkataan Gama membuat Gia menganggukkan kepalanya lemas, ia masih belum kuat berbicara. Pandangan matanya kini beralih menyusuri setiap sudut ruangan bernuansa putih tersebut, mama dan papa yang selalu menemani Gia saat sedang berada di rumah sakit walaupun sibuk bekerja kini tak ada. Gadis kecil itu pikir kejadian dua hari yang lalu adalah mimpi belaka, namun ternyata tidak, semuanya nyata. 4 Hari kemudian. Setelah dirasa kondisi Gia semakin membaik dan tidak memiliki cedera yang cukup fatal, Gia akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah dengan syarat tetap datang ke rumah sakit setiap dua minggu sekali selama dua bulan penuh untuk melakukan kontrol. Sore ini, gadis berusia 8 tahun yang terpaksa harus dewasa karena keadaan tersebut tengah berada di area pemakaman, bersama dengan Gama sembari membawa satu ikat bunga mawar putih kesukaan mamanya. Mata indah Gia menatap sendu kedua makam dihadapannya. Kata sang kakak, mama dan papa mereka saat ini telah bahagia di surga. Namun, kenapa Gia tidak diajak? Apakah Gia tidak boleh bahagia bersama mereka? Pikir gadis itu. “Kak Gama, kenapa papa sama mama nggak ajak Gia ke surga? Gia nakal ya?” Pertanyaan polos yang keluar dari mulut Gia sontak membuat hati Gama sedikit terenyuh, laki-laki dengan pakaian serba hitam tersebut kemudian berjongkok lalu memegang pundak kecil di depannya. “Gia, tau nggak kenapa kamu masih disini sama kakak?” tanya Gama, yang lebih muda menggelengkan kepalanya pelan sedangkan sang kakak kembali tersenyum lalu menarik nafas. “Karena papa sama mama pengen lihat kakak rawat kamu sampai besar, papa sama mama pengen lihat kamu belajar banyak hal sama kakak, papa sama mama juga pengen lihat kamu sukses nantinya dari atas sana." Tutur Gama sembari mengangkat jari telunjuk ke atas. "Jadi, ayo tunjukkin ke papa sama mama kalau kita bisa hidup berdua. Tetap hidup buat kakak ya Gia, nanti kak Gama juga terus berusaha supaya tetap hidup di sisi Gia, setuju?” lanjutnya. Mendengar perkataan dari sang kakak membuat Gia kembali menampilkan senyuman manis yang beberapa hari lalu sempat hilang dari wajahnya. Ia kemudian mengangguk penuh semangat, lalu memeluk erat Gama yang saat ini tengah berusaha sebaik mungkin mempertahankan topengnya, ia tidak ingin sang adik melihat dirinya menangis. *** Jakarta, 9 Agustus 2015. “Sindrom Cinderella Complex?” tanya lelaki berusia 22 tahun kepada seorang wanita yang saat ini memakai snelli berwarna putih dengan stetoskop melingkar di leher. Wanita itu mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya tadi, lalu mencari posisi duduk yang ia rasa nyaman dan mulai menjelaskan. “Cinderella Complex Syndrome ini masih erat kaitannya sama kepribadian dependen. Merupakan gangguan kepribadian dimana seseorang akan sangat bergantung dengan orang lain, hingga nyaris nggak sanggup untuk hidup mandiri." Tuturnya sembari membenarkan posisi kacamata yang hampir terjatuh. Gama berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya tersebut. Baru kali ini ia mendengar nama sindrom yang cukup aneh dan lebih sialnya menimpa sang adik. Keputusan Gama untuk membawa Gia ke psikolog sekaligus sahabatnya ini berawal dari wali kelas Gia, ia mengatakan bahwa sifat serta sikap sang adik sangat berbeda jauh dari teman-teman seusianya. “Gini loh, Gam, anak seusia Gia itu nggak wajar banget loh nangis di kelas gara-gara dikasih soal sama gurunya. Dia juga masih sering tantrum kan kalau di rumah?” Tebakan psikolog cantik yang diketahui bernama Rachel itu benar. Laki-laki tersebut kemudian menoleh ke arah Gia yang saat ini sedang asik bermain ponsel di sofa tunggu. Gia memang masih sering menangis jika keinginannya tidak segera dikabulkan, tidak bisa memutuskan baik atau buruk sebuah permasalahan dan juga pernah meminta tolong sang kakak untuk mengambilkan air minum yang bahkan berada di sebelah gadis itu sendiri, tapi Gama kira hal ini cukup wajar. “Anak usia 12 tahun itu biasanya lebih suka menghabiskan waktu di luar sama temen-temennya dan mencoba hal baru, itu udah kayak respon alami otaknya. Tapi di kasus Gia beda, dia takut mencoba tantangan, itu karena kamu terlalu manjain dia dari kecil, Gam,” Rachel memberi jeda pada kalimatnya untuk sedikit mengambil nafas, “Kalau kayak gini terus, orang-orang yang ada di sekitar Gia jadi merasa nggak nyaman karena perilaku dia yang selalu bergantung sama siapapun.” Gama mengernyit tak suka ketika mendengar kalimat terakhir dari Rachel, ia hanya ingin menjadi pengganti sosok orang tua bagi Gia, lelaki tersebut tidak sadar bahwa pola asuh yang ia berikan kepada Gia selama ini ternyata membuat adiknya menjadi pribadi yang cukup manja dan bergantung dengan orang lain. Namun, di satu sisi Gama juga tidak ingin tiba-tiba merubah sikapnya, ia tidak ingin Gia kembali merasa terluka. “Tapi kalau kamu nggak mau merubah pola asuh kamu ke Gia, aku ada satu cara supaya dia nggak bergantung sama orang lain selain kamu,” ujar Rachel seakan mengerti isi pikiran Gama. “Kamu harus jadi pangeran buat Gia,” lanjutnya. “Pangeran?” Gama membeo. Ia mengerti maksud dari kata Pangeran yang diucapkan oleh Rachel adalah sosok caregiver yang bertugas untuk menjaga, memberi perhatian, serta menjadi tempat bergantung para pengidap sindrom Little space, Alter ego, dan Cinderella Complex seperti Gia. Cara kerja seorang caregiver pun hanya seputar menuruti apa yang mereka mau tanpa harus membantahnya, para pengidap sindrom ini nantinya akan diberi sugesti oleh psikolog agar hanya menggantungkan hidupnya pada satu orang yang telah ditunjuk menjadi caregiver dan menuruti semua perkataannya. Setelah berpikir cukup lama, Gama kemudian menganggukkan kepala, sebagai pertanda bahwa ia setuju untuk menjadi sosok pangeran bagi sang adik. Gama rasa ini merupakan keputusan yang paling tepat. Toh, dirinya juga sudah berjanji akan selalu berada di sisi Gia. Namun ia tidak tau, keputusannya kali ini akan menjadi boomerang bagi mereka berdua di masa depan, kisah Gia dan Gama benar-benar baru saja dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN