Insiden
Jakarta, 18 Desember 2011.
Sekelompok orang terdiri dari satu keluarga yang sedang bersenda gurau menjadi sorotan utama dari ratusan manusia di dalam sebuah bangunan besar yang biasa menjadi tempat perpisahan bagi sebagian banyak orang, bandara.
Tiga buah koper berukuran besar serta satu tas ransel bergambar Odette, karakter utama dari film Barbie of Swan Lake, membuat orang awam pun mengerti bahwa mereka akan berpergian jauh.
“Kalau kamu berubah pikiran, kita siap nunggu kok,” ucap seseorang yang lebih tua sembari mengelus puncak kepala laki-laki yang jauh lebih muda darinya, wajah mereka berdua terlihat sangat mirip.
Remaja berusia 18 tahun itu tersenyum lalu menggelengkan kepalanya pelan, menandakan bahwa ia sekali lagi menolak ajakan sang papa untuk ikut pergi ke Singapura, “Gama nanti nyusul 3 hari sebelum natal,” sahutnya.
Lelaki yang diketahui bernama Gama tersebut kemudian mengalihkan pandangan matanya dari sang papa menuju ke arah gadis kecil yang saat ini sedang asik mengedarkan pandangan matanya ke seluruh penjuru bandara.
Ini merupakan kali pertama ia akan berpergian dengan menggunakan pesawat terbang. Gama kembali tersenyum kecil lalu menyejajarkan tubuhnya agar bisa mendapatkan perhatian dari sang adik, Gia.
“Gia, nanti kamu nggak boleh bikin susah papa sama mama ya di sana,” ucap Gama sembari mengelus pelan puncak kepala gadis yang kini tersenyum menampilkan deretan gigi bersihnya.
Gia mengangguk paham lalu berkata, “Maafin Gia, papa, sama mama ya kak Gama karena nggak bisa temenin kakak turnamen,” melihat air muka Gia yang tiba-tiba berubah menjadi sedih membuat Gama dan seluruh keluarganya tertawa kecil, sang adik memang sangat ahli dalam mengganti ekspresi wajah.
Gamaliel dan Gianefa, buah hati dari pasangan Mario dan Davina, sosok pemilik perusahaan properti terbesar di Indonesia serta memiliki cabang perusahaan yang tak kalah maju di Singapura.
Setiap 3 tahun sekali, Mario memang selalu menyempatkan diri untuk mengawasi langsung kinerja para pegawai di Singapura, sekali berkunjung, lelaki yang berusia lebih dari seperempat abad tersebut akan menetap selama 6 hingga 12 bulan.
Namun, kali ini Mario mengajak serta Gia dan istrinya untuk liburan sekaligus merayakan natal di negara singa tersebut, meninggalkan Gama yang akan menghadapi turnamen karate 3 hari mendatang.
“Perhatian, para penumpang pesawat Eagle Air BG427 dengan nomor penerbangan 720 tujuan Singapura, dipersilahkan untuk naik ke pesawat udara melalui pintu A10.”
Kalimat yang keluar dari pengeras suara tersebut membuat mereka menghentikan tawanya, setelah membisikkan beberapa kata kepada Gia, Gama kemudian berdiri dan memeluk erat kedua orang tuannya.
Memang benar kata orang, dari balik tembok bandara, ada pelukan hangat serta tulus yang tidak bisa kita dapat dari tempat romantis manapun.
Gama menatap lekat punggung keluarganya yang mulai menghilang di balik pintu menuju pesawat, tak seperti biasanya, ada sedikit rasa tak rela saat membiarkan mereka pergi.
Ah, mungkin karena ini kali pertama Gama ditinggal pergi jauh oleh Gia yang membuatnya akan sedikit merasa kesepian nanti, lelaki tersebut kemudian menghela nafas pelan lalu berjalan keluar dari area Bandara, sendirian.
Di dalam pesawat, setelah selesai melihat safety demonstration yang ditampilkan oleh empat orang pramugari dengan penuh minat, pesawat lambat laun mulai meninggalkan landasan dan naik ke atas.
Gia yang berada di antara kedua orangtuanya kemudian sedikit menegakkan duduknya, bibir gadis itu terlihat mengoceh namun tidak mengeluarkan suara sama sekali hingga membuat Davina dibuat bingung dengan tingkah laku sang anak.
“Gia, kamu ngapain sayang?” tanya wanita tersebut sehalus mungkin.
Gia kemudian menolehkan kepalanya ke arah sang mama sembari tersenyum manis, “Kata kak Gama, 3 menit setelah terbang dan 8 menit sebelum mendarat, pesawat biasanya dalam keadaan yang cukup bahaya. Jadi, Gia tadi berdoa supaya kita baik-baik aja, ma," tuturnya.
Benar, Plus Three Minus Eight atau yang lebih dikenal dengan Critical Eleven adalah waktu krusial dimana waktu paling sering terjadinya kecelakaan pesawat yakni pada tiga menit pertama serta delapan menit terakhir dalam penerbangan. Dan kalimat yang dibisikkan oleh Gama tadi berhasil Gia jelaskan kepada sang mama dengan sangat detail, Davina benar-benar bersyukur memiliki dua malaikat pintar seperti mereka berdua.
15 menit kemudian, kembali lagi pada sosok lelaki yang saat ini sedang berjalan menuju dapur sembari memegangi perutnya, Gama mungkin akan memasak mie instan serta telur mata sapi untuk makam malam kali ini karena sang pembantu sudah pulang terlebih dahulu ketika Gama dan keluarganya dalam perjalanan menuju bandara tadi sore. Tak apalah, lagi pula ia juga bisa memasak sendiri, batinnya.
Setelah kurang lebih 7 menit berkutat di dalam dapur, kini Gama mulai menyantap makan malamnya di depan televisi yang tengah menyiarkan sebuah film khas liburan serta malam natal, “Home Alone.”
Sial, umpat lelaki itu dalam hati saat baru sadar bahwa sosok tokoh utama yang ditinggal liburan oleh keluarganya ternyata sama persis dengan apa yang dialami oleh dirinya saat ini.
Ketika sampai pada adegan dimana sang pengantar pizza berlari kencang dari pintu belakang saat mendengar suara tembakan, film tersebut kemudian terhenti dan berganti dengan sebuah acara berita terbaru.
Meskipun cukup pintar, tetapi Gama sebenarnya termasuk dalam kategori remaja yang tidak terlalu menyukai berita, menurutnya hal itu sangat membosankan.
“Selamat malam pemirsa, sebuah pesawat Eagle Air BG427 tujuan Singapura dilaporkan hilang kontak setelah pilot menyampaikan bahwa pesawat akan melewati celah awan cumulonimbus.”
Potongan berita yang disampaikan oleh seorang reporter perempuan tersebut sukses membuat Gama menghentikan aktifitas makan malamnya. Nama pesawat yang dilaporkan oleh pembawa acara itu sama persis dengan pesawat yang ditumpangi oleh keluarganya, bahkan Gama ingat betul berapa nomor kursi mereka.
Tak ingin terlalu lama tertegun di depan televisi, Gama langsung menyambar kunci mobil lalu pergi menuju bandara untuk memastikan kebenaran berita itu tanpa menghiraukan suara petir serta derasnya hujan yang tiba-tiba turun membasahi bumi. Dalam hati lelaki tersebut terus berdoa agar keluarganya dalam keadaan baik-baik saja.
Sedangkan di tempat lain, suara teriakan tangis, panik, serta doa yang tak pernah putus memenuhi seluruh penjuru pesawat yang keluar dari rute penerbangan.
Udara dari dalam kabin yang berkurang membuat masker oksigen turun dari atas, semua orang dengan cepat memasang masker masing-masing lalu menolong yang kesulitan, menyelamatkan diri sendiri adalah prioritas utama saat terjadi kecelakaan.
Gia menangis, tentu saja, siapa anak kecil yang tidak akan menangis ketika dihadapkan dengan situasi seperti ini? Gadis kecil itu takut dan bingung saat mendengar suara tangisan semua orang tak terkecuali juga sang mama yang saat ini tengah memeluknya erat.
“Mama, Gia, kalian tenang ya,” ucap Mario dengan nada setenang mungkin, padahal dalam hati lelaki tersebut juga sama paniknya seperti yang lain, “Sekarang, kalian ikuti gerakan papa.”
Setelah memeriksa bahwa sabuk pengaman mereka dalam keadaan aman, Mario kemudian menundukkan kepalanya hingga menyentuh lutut lalu meletakkan kedua tangan di atas kepala diikuti dengan Gia dan sang istri yang juga melakukan hal serupa. Hal ini merupakan cara agar kepala bisa terhindar dari benturan benda-benda keras yang pasti akan terjatuh dari atas nantinya.
“Awas bahaya!”
Suara yang keluar dari mulut salah satu awak kabin tersebut sontak membuat teriakan semakin keras, pesawat yang tadinya keluar jalur kini berputar hingga membuat sebagian orang pingsan dan sebagian lagi merasa pusing.
Gia masih sadar saat kejadian ini, ia berusaha mati-matian untuk tetap dalam posisi duduk ketika tubuhnya sedikit terangkat dari kursi, jantungnya berdetak tak karuan hingga pada akhirnya gadis itu tak sadarkan diri saat merasa pesawat kian meluncur bebas dari atas menuju bawah.
***
“Gia, bangun sayang!” sayup-sayup telinga gadis tersebut mendengar suara sang papa yang memanggil namanya, satu tepukan keras di pipi dan Gia berhasil bangun.
Saat membuka mata, Gia merasakan nyeri yang teramat sangat di sekitar kepala, sabuk pengaman yang sempat dipasang oleh papanya juga telah terlepas entah kemana. Kini ia bahkan sudah berada di lantai hingga dapat dipastikan bahwa gadis itu mengalami benturan yang cukup keras beberapa menit lalu.
Belum sempat kesadaran Gia pulih seutuhnya, Mario dengan segera menggendong sang anak karena mereka hanya memiliki waktu dua menit untuk menyelamatkan diri. Tak adanya instruksi dari pilot maupun pramugari membuat Mario menggunakan instingnya untuk mencari dimana letak pintu atau jendela darurat berada.
Ketika menyusuri kabin pesawat, Gia sesekali berteriak lalu menutup kedua matanya rapat-rapat saat melihat para penumpang tergeletak tak bernyawa dengan kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah berjalan kurang lebih 6 meter dari tempat Gia tak sadarkan diri, Mario akhirnya menemukan sebuah jendela darurat dengan sebagian kaca yang telah pecah, lelaki itu menduga bahwa ada penumpang selamat yang telah keluar dari pesawat.
Papa Gia menurunkan anak gadisnya sebentar lalu langsung bergerak dengan cepat memecah serpihan kaca yang masih menempel di sisi jendela. Setelah dirasa sudah bersih, Mario kembali menggendong Gia dan mengeluarkannya terlebih dahulu.
“Gia, papa mau cari mama dulu di dalam. Kamu harus lari secepat mungkin ke pohon itu ya sayang, bisa kan?” Perintah sang papa sembari menunjuk ke arah pohon yang berjarak sekitar 150 meter dari pesawat, lalu memegang pundak Gia seakan berusaha menyalurkan kekuatan serta keberanian kepada anak gadisnya.
Beruntung Gia bukan merupakan anak kecil yang rewel dalam keadaan seperti ini, ia langsung mengangguk paham kemudian berlari meninggalkan Mario yang kini mengulas senyumnya samar, Gia pasti akan baik-baik saja.
Setelah dirasa telah sampai di sebuah pohon yang dimaksud oleh sang papa, Gia kemudian kembali menatap pesawat tersebut dengan nafas memburu, menanti sosok kedua orang tuanya keluar dari jendela darurat.
Lima detik, enam detik, sepuluh detik, sebuah percikan api yang sedikit demi sedikit menjalar dari ekor pesawat menuju bagian tengah kabin membuat Gia membulatkan mata, ia harus segera kembali untuk menolong papa dan mamanya.
Baru saja gadis dengan pakaian lusuh itu hendak berlari menuju pesawat, sebuah tangan dengan noda darah di beberapa sisinya memegang kaki Gia dengan erat hingga membuatnya susah berlari.
“Lepas!!” teriak Gia histeris namun tetap tak dihiraukan oleh anak laki-laki yang entah sejak kapan sudah duduk di belakang, satu tarikan keras sukses membuat Gia jatuh di pelukannya.
Saat Gia ingin memberontak, tiba-tiba terdengar suara dentuman sangat keras diikuti oleh kobaran api yang dengan cepat menjalar ke seluruh badan pesawat hingga membuat suasana yang tadinya temaram menjadi terang.
Mereka berdua baru sadar bahwa saat ini tengah berada di dalam hutan lebat yang entah di daerah mana. Tubuh Gia melemas melihat kejadian itu, ia langsung melepas pelukannya dari anak tersebut lalu terisak pelan sembari menutup seluruh wajahnya menggunakan telapak tangan.
Anak laki-laki yang mendengar suara tangisan Gia kemudian mengelus pelan punggung gadis itu. Matanya menatap Gia dari atas hingga bawah, sungguh aneh, gadis yang berusia lebih muda darinya tersebut hanya mendapat luka kecil di pelipis.
Sedangkan kondisi dirinya saat ini jauh berbeda dari Gia, pipi sebelah kirinya sobek akibat terkena pecahan kaca jendela darurat, bagian belakang kepala nyeri serta kaki kirinya yang sangat sulit untuk digerakkan. Ia bahkan keluar dari jendela darurat menuju pohon ini dengan cara merangkak.
“Gia ngantuk, mau tidur,” celetuk Gia saat tangisannya mulai mereda lalu bersandar di bawah pohon sembari menutup matanya hingga membuat anak laki-laki yang tadi mengelus punggung gadis tersebut ikut tertular kantuk.
Baiklah, ia akan segera menyusul Gia ke alam mimpi sembari menahan rasa sakit serta berdoa agar tim evakuasi segera menemukan mereka.