Orang Baru?

1414 Kata
12 tahun kemudian. Tap! tap! tap! Derap langkah kaki berbalut pantofel hitam terdengar jelas dari atas tangga menuju lantai satu sebuah rumah berukuran besar yang hanya ditinggali oleh dua orang di dalamnya. Suara tawa kecil serta godaan sesekali ikut terucap hingga kemudian seorang laki-laki yang kini telah rapi dengan setelan jas kantor berwarna abu-abu terlihat turun dari tangga bersama gadis di gendongan punggungnya. “Nanti Gia beliin kak Gama koyo deh, biar kuat gendong aku sampai depan kompleks,” goda si gadis sembari tertawa pelan membuat yang lebih tua menghembuskan nafasnya kesal, secara tidak langsung sang adik berkata bahwa ia sudah tua. Kini, telah dua belas tahun semenjak kejadian kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa kedua orang tua Gama dan Gia, luka mereka sudah sepenuhnya sembuh digantikan oleh kebahagiaan yang seakan tak ada habisnya. Setelah memutuskan untuk menjadi caregiver bagi Gia, lelaki berusia 30 tahun tersebut benar-benar memperlakukan Gia layaknya Cinderella. Seperti saat ini contohnya, Gama selalu memiliki rutinitas membangunkan serta menggendong sang adik menuju meja makan setiap pagi, dan jika ia melupakan hal itu, maka Gia akan protes lalu menangis dengan cukup keras. Gia kecil sekarang telah tumbuh menjadi gadis manis berusia 20 tahun, meskipun usianya bisa dikatakan dewasa, namun sifat dan perilaku gadis itu masih sangat manja dan bergantung sepenuhnya kepada sang kakak. Gia selalu menunjukkan keceriaannya di depan Gama namun bisa langsung berubah menjadi pendiam saat berada di lingkungan luar, hal ini juga yang menyebabkan Gama memilih agar Gia masuk homeschooling semenjak SMP hingga lulus SMA, lagi-lagi pola asuh yang salah. Di atas meja makan kini sudah terhidang dua porsi bubur ayam depan kompleks yang sempat Gama beli saat jogging subuh tadi, satu gelas s**u cokelat hangat untuk Gia, serta secangkir teh untuk Gama sendiri. Melihat makanan favoritnya tersebut sukses membuat perut gadis yang masih memakai piyama tidur bermotif Teddy bear terasa lapar. Setelah berdoa singkat, Gia langsung memasukkan satu sendok penuh bubur itu ke dalam mulutnya hingga membuat sang kakak terkekeh gemas. Berbicara tentang Gama, lelaki tersebut saat ini telah sukses menjadi penerus perusahaan properti almarhum papanya. Ia juga berhasil menggaet para kolega baru untuk diajak bekerja sama dalam mengeluarkan inovasi-inovasi yang tak kalah mutakhir di zaman sekarang, hingga sukses membuat perusahaannya berada pada peringkat nomor satu dalam semua kategori di Indonesia. Namun, perusahaan cabang di Singapura saat ini juga sedang mengalami penurunan cukup besar, yang pada akhirnya membuat Gama terpaksa harus turun langsung ke Singapura untuk menyelesaikan semua permalasahan di sana, sekaligus mengawasi kinerja para pegawai seperti apa yang biasa dilakukan almarhum papanya dulu. Dan ya, lelaki tersebut baru ingat bahwa ia belum menceritakan tentang rencananya pergi kepada Gia. “Gia, dua minggu lagi kakak mau ke Singapura,” ucapan itu sontak membuat Gia menghentikan aktifitasnya. “Sama Gia kan?” Gama dari dulu memang selalu mengajak adiknya jika akan pergi ke Singapura sekalian jalan-jalan. Tetapi kali ini, ia tidak akan mengajak Gia karena niatnya bukan untuk liburan dan sang adik juga harus masuk kuliah bulan depan. Saat melihat Gama menggelengkan kepalanya, air muka Gia yang tadinya ceria tiba-tiba berubah menjadi keruh, “Terus aku sama siapa di sini? Kak Gama tega tinggalin Gia sendirian?” drama sudah dimulai, pikir sang kakak. “Gia, perusahaan di sana lagi kacau banget, kakak nggak mau kamu ikut karena nanti pasti kakak nggak bisa mengawasi kamu, kalau kamu ada apa-apa di sana pas kakak lagi repot gimana? Gia juga harus kuliah kan bulan depan?” tutur Gama dengan sangat hati-hati sembari mengelus punggung tangan gadis yang saat ini mengerucutkan bibirnya. “Jadi, secara nggak langsung Kakak bilang kalau aku bisanya cuma nyusahin kakak doang gitu?” Gia bertanya dengan nada yang cukup tinggi lalu berdiri dari kursinya dan beranjak pergi menuju kamar, nafsu makannya seketika hilang setelah mendengar ucapan sang kakak. Gama yang melihat tingkah laku Gia tadi memijat pelipisnya pelan, jujur saja, ia terkadang merasa lelah jika terus menerus menghadapi sifat adiknya yang selalu rewel seperti ini. Namun apa boleh buat, Gama sudah berjanji terhadap dirinya sendiri untuk selalu merawat Gia sebaik mungkin, lelaki tersebut hanya bisa berdoa kepada Tuhan agar memberikannya kesabaran yang berlipat ganda. *** Setelah memberi kabar kepada sang sekertaris bahwa ia akan sedikit telat datang ke kantor, lelaki yang saat ini telah berada di depan pintu kamar bercat abu-abu dengan gantungan kayu bertulisan nama ‘Gia’ di atasnya, mulai mengetuk pintu dengan pelan namun cukup jelas. Terhitung sudah lebih dari lima kali ketukan Gama layangkan, namun gadis di dalam kamar tersebut sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka pintu dalam waktu dekat. Gama menyerah, lelaki itu tidak ingin membuang waktu serta tenaganya hanya untuk mengurusi hal semacam ini, ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan di kantor. Setelah mengambil nafas dalam agar emosinya tetap stabil, ia kemudian berjalan menuju buffet sebelah kiri kamar, lalu mengambil sebuah kunci cadangan yang memang sengaja dirinya gunakan di saat-saat seperti ini. Kenapa Gama tidak memakainya sedari tadi? Tentu saja karena ia menghargai privasi sang adik. Ceklek! Pintu kamar akhirnya terbuka, menampilkan seseorang yang kini tengah menggulung seluruh tubuhnya dengan selimut berwarna merah muda hingga membuat Gama tertawa kecil. Lihatlah! Bagaimana ia bisa marah jika melihat tingkah Gia yang sangat menggemaskan seperti ini? Setelah puas mengamati dari jauh, Gama kemudian berjalan mendekati gadis tersebut, lalu duduk di sisi ranjang sembari mengelus puncak kepala yang masih terbalut selimut itu. “Gia mau jadi kepompong raksasa?” pertanyaan aneh Gama sontak membuat empunya mengerang dari balik sana namun tetap mempertahankan posisinya. “Gia, nanti nggak bisa nafas. Ayo bangun dulu!” nada suara yang lebih tua tiba-tiba berubah menjadi serius, itu tandanya Gia harus segera menuruti apa permintaan sang caregiver agar di cap sebagai anak baik. Seorang caregiver memang memiliki kekuasaan penuh atas tubuh 'pasien' yang mereka rawat, mereka akan mengeluarkan nada suara tertentu yang nantinya bisa membuat para pengidap sindrom tersebut menjadi penurut layaknya anak kucing. Tidak sedikit para caregiver memanfaatkan cara ini untuk melakukan hal-hal yang buruk dan tidak pantas kepada pasiennya. Namun kembali lagi, tujuan awal caregiver adalah merawat, bukannya memerintah, dan Gama tidak akan mengeluarkan nada seriusnya jika memang tidak dibutuhkan. Lelaki tersebut tersenyum hangat saat Gia mulai membuka seluruh selimutnya lalu terduduk di atas kasur, sedikit air mata yang menggenang di pelupuk serta hidung memerah membuat Gama benar-benar ingin menghujani adiknya dengan banyak ciuman, namun hal itu tentu saja ia urungkan ketika ingat berapa usia Gia sebenarnya. “Lupain percakapan yang tadi ya, kakak ke Singapura juga masih lama. Nanti kita cari solusi bareng-bareng gimana baiknya, oke?” tutur Gama yang sejurus kemudian mendapat anggukan kepala dari sang adik, Gia memang seperti ini, mudah rewel namun juga mudah untuk disuruh diam. Gama kembali tersenyum, “Nanti pulang kerja ikut kakak ke Mula cafe ya? Kakak mau kenalin Gia ke orang baru.” “Orang baru?” Gia mengernyit ketika mendengar hal itu, sejauh ini Gia hanya mengenal dokter Rachel sebagai psikolog serta sahabat sang kakak, ia tidak memiliki teman maupun kenalan. Tapi kenapa tiba-tiba Gama ingin memperkenalkan Gia kepada orang baru? Padahal dulu Gama sendiri yang menyuruh Gia agar tidak dekat dengan siapapun. Setelah Gama berpamitan untuk pergi ke kantor pada sang adik, kini Gia benar-benar sendirian di rumah. Gadis bersurai panjang itu sudah terbiasa dengan hal semacam ini, ia akan melakukan kegiatan seperti berenang, membaca novel, maupun menghabiskan waktu untuk menonton film sampai pembantu yang bertugas memasak makan malam serta membersihkan rumah datang pada sore hari. Jika ditanya apakah ia bosan? Dengan senang hati Gia akan menjawab tidak, Gia memang lebih suka berada di tempat sepi, namun ia juga tidak merasa keberatan jika berhadapan dengan keramaian. Saat tengah asik menonton sebuah film di ruang tamu, Gia tiba-tiba dikejutkan oleh suara bel yang sengaja dipencet berulang kali hingga membuat gadis tersebut melangkah keluar rumah dengan kesal. Jam masih menunjukkan pukul 10 pagi, tidak mungkin pembantu mereka akan datang sepagi ini, dan tidak mungkin juga Gama karena lelaki itu sempat berkata bahwa akan melaksanakan rapat dari pukul 8 hingga waktu makan siang tiba. Lalu, siapa agaknya tamu Gia hari ini? Setelah sampai di depan gerbang, mata gadis tersebut sedikit menyipit, ia melihat seorang laki-laki yang kini tengah berdiri di luar dengan kemeja berwarna putih dan celana hitam, kedua tangannya menenteng dua buah kantong kertas berwarna cokelat yang masing-masing berukuran sedang. “Pagi Gia! Saya Desta temennya mas Gama dari Mula cafe, saya disuruh mas Gama anterin ini buat kamu,” ucap lelaki itu lalu menyodorkan kantong kertas tersebut sembari memberikan senyuman yang sangat manis hingga sukses membuat Gia mematung untuk beberapa saat. Tampan. Adalah kata pertama yang dapat mendeskripsikan diri pemuda tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN