Desta

1702 Kata
Ucapan perkenalan super manis dari lelaki yang kini tengah menyodorkan kantong berbahan kertas sembari memberikan senyuman manis kepada lawan bicaranya sukses membuat Gia mematung untuk beberapa saat. Merasa tak mendapat jawaban dari gadis yang saat ini tengah berdiri di hadapannya, pemuda bernama Desta tersebut melambaikan tangannya beberapa kali tepat di wajah Gia bermaksud untuk menyadarkannya, dan sepersekian detik kemudian langsung berhasil, namun sang gadis masih setia membisu. “Ini kalau nggak mau diambil saya makan loh,” ancaman atau yang lebih tepatnya candaan itu sontak membuat Gia langsung membulatkan matanya lalu mengambil alih tas berbahan dasar kertas tebal berwarna cokelat tersebut. Desta tertawa melihat tingkah laku Gia yang seperti anak kecil saat mainannya diambil, bibir peach yang mengerucut lucu itu ingin sekali ia cium. Astaga, apa yang baru saja ia pikirkan! ini bahkan baru kali pertama mereka bertemu dan bisa-bisanya Desta berpikiran seperti tadi. Gia yang memang pada dasarnya tidak pernah berbicara dengan orang lain apalagi orang baru jika tidak dipancing terlebih dahulu kini hanya terdiam, menunggu Desta kembali bertanya atau lebih baik pamit pulang saja. “Kalau gitu saya pamit kembali ke cafe dulu ya, selamat siang!” Ujar Desta sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia sendiri tidak tahan jika terus berada di lingkaran keheningan seperti ini, apalagi sinar matahari yang kian menyengat membuatnya merasa sangat kepanasan. Gia lagi-lagi mengangguk saat mendengar perkataan yang keluar dari mulut Desta. Setelah dipastikan lelaki berpostur tubuh lebih tinggi dari Gia tersebut menghilang di balik belokan rumahnya, gadis itu langsung menutup gerbang utama dan berlari menuju ruang tamu. *** Di hadapan gadis yang tengah duduk sembari menekuk kedua kakinya di atas sofa ruang tamu berukuran cukup besar kini telah terhidang beberapa pastry berupa toast tuna mayo, croissant isi coklat, strawberry mini cake, chicken pastry serta apple pie yang masing-masing terdiri dari dua porsi. Dan jangan lupakan pula 3 botol ukuran sedang berisi asian dolce latte, american coffee, serta caramel macchiato. Baiklah, siapa yang akan menghabiskan semua makanan ini? Gia bahkan hanya berminat untuk menghabiskan makanan favoritnya saja, yaitu croissant. Hingga tak lama kemudian bunyi notifikasi pesan yang ia yakin berasal dari sang kakak membuat Gia mengurungkan niatnya untuk mengambil pastry tersebut. @Gamaliel [Udah sampai belum makanannya?] @Gianefa [Udah, banyak banget gini. Siapa yang mau habisin? Ada coffee nya juga.] @Gamaliel [Habisin aja biar kamu gemuk. Kakak lanjut rapat dulu ya, sampai jumpa di rumah!] Gia mendengus pelan saat membaca pesan terakhir dari Gama, lelaki berkepala tiga itu memang selalu menyuruh Gia untuk makan banyak agar cepat gemuk, padahal berat badan Gia saat ini sudah sangat ideal dengan tinggi badannya. Namun hal tersebut tentu saja tidak membuat Gia membatalkan rencana makannya karena takut berat badannya naik, ia bahkan tanpa ragu langsung mengambil satu croissant serta toast tuna sembari menonton acara televisi favoritnya. Tak terasa, sore hari telah tiba, Gia saat ini sudah siap memakai Sweater berwarna putih dengan tulisan Velence pada bagian tengah serta baggy pants blue jeans yang terlihat cocok di kaki jenjang miliknya. Gadis tersebut sengaja menunggu sang kakak di depan gerbang sembari berjongkok mengelus seekor kucing coklat yang menemaninya sejak 5 menit lalu. Gama pagi tadi memang berjanji akan mengajak Gia pergi ke 'Mula Cafe' untuk bertemu dengan seseorang. Maka dari itu, lelaki tersebut memutuskan agar pulang lebih awal dan langsung menjemput Gia di rumah tanpa berganti baju, ia tidak ingin sang adik menunggunya lebih lama. Tak sampai sepuluh menit, sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depan Gia hingga membuat gadis dengan rambut yang ia biarkan terurai itu langsung berdiri dan masuk ke dalam mobil, menyambut sang kakak yang terlihat lelah dengan senyuman manis lalu mengecup pelan pipi sebelah kiri Gama. “Tadi kakak kayak lihat dua kucing tau." Goda Gama sembari mengelus puncak kepala Gia yang sejurus kemudian membuat sang adik kembali memajukan bibirnya, melihat Gia cemberut adalah suatu kesenangan sendiri bagi Gama. Setelah puas memandangi wajah Gia yang masih setia suram namun anehnya tetap terlihat cantik, Gama mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Warna jingga yang menyelimuti langit sore ini membuat suasana hati Gia membaik, apalagi ditambah dengan alunan lagu dari One Direction yang sengaja disetel Gama agar sang adik terus merasa nyaman selama perjalanan. Bukan Jakarta namanya kalau tidak macet, apalagi jika sudah berada di jam rawan yaitu pagi ketika berangkat kerja dan sore sepulang bekerja, tidak ada yang namanya jalanan longgar, semuanya dipenuhi oleh lautan baik mobil maupun sepeda motor, angkutan umum pun juga tak kalah dipenuhi banyak manusia. Gama dan Gia pun turut terseret dalam arus kemacetan hingga pada akhirnya harus menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk sampai di cafe yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 30 menit. Langit yang tadi sempat menampakkan sinar senjanya kini berubah menjadi awan gelap, bahkan rintik-rintik hujan telah turun hingga membuat Gama langsung menarik sang adik untuk segera masuk menuju cafe yang dari luar terlihat cukup ramai tersebut. Di dalam cafe bernuansa cokelat dengan beberapa lampu gantung serta hiasan tembok tersebut, terdapat satu etalase panjang berisi bermacam pastry yang sempat Gia makan tadi siang. Sedangkan di bagian belakang meja kasir terdapat berbagai jenis biji kopi yang diletakkan dalam toples kecil sebagai hiasan hingga membuat kesan aestethic semakin kentara. Gama sepertinya harus memuji arsitek yang merancang cafe ini. Ah, dan jangan lupakan juga sebuah panggung kecil dengan mic serta satu kursi kayu di sisi sebelah kanan meja kasir yang membuat para pengunjung semakin betah berada di dalam cafe. “Mas Gama!!” Suara seruan tersebut sontak membuat kedua saudara yang tadinya sibuk mengamati seluruh penjuru cafe dari ambang pintu kaca kini mengalihkan atensi mereka ke seorang lelaki yang baru saja muncul dari balik meja kasir, pakaian hitam putih serta apron berwarna hitam dan senyuman manis yang tercetak di wajah tampannya membuat Gia langsung mengenali siapa orang tersebut. Dia adalah Desta, lelaki yang tadi sempat mengirim banyak pastry serta kopi ke rumahnya sekaligus lelaki yang membuat Gia menjadi patung untuk beberapa saat. Sebuah isyarat lambaian tangan membuat mereka berdua berjalan mendekati Desta lalu duduk tepat di depan meja kasir. Posisi satu kursi dengan kursi lain yang sengaja sedikit diberikan jarak cukup jauh membuat pengunjung merasa nyaman dalam bertukar cerita bersama teman maupun mengerjakan suatu tugas. “Mau makan sama minum apa, nih?” tanya Desta yang saat ini sudah berada di depan Gia dan Gama sembari membawa kertas untuk mencatat pesanan keduanya. Senyuman manis yang seakan tak pernah luntur walaupun Gia yakin lelaki tersebut pasti merasa lelah bekerja hingga sore membuatnya secara tidak sadar ikut menarik bibirnya ke atas. “Apa aja deh, pokoknya yang menurut lo enak,” jawab Gamaliel memecah keheningan diantara mereka. Desta nampak berfikir sebentar, sebenarnya ia paling tidak suka dengan pelanggan yang memiliki sifat seperti Gama karena selera makan setiap orang berbeda-beda dan ia takut jika mereka tidak menyukai selera Desta. Tapi kembali lagi, pelanggan adalah raja dan Desta yang hanya bekerja sebagai pelayan harus menuruti semua keinginan rajanya. Lelaki tersebut kemudian mengangguk mantap lalu pergi menuju dapur yang terletak di belakang meja kasir, lebih tepatnya berada di sisi sebelah kanan hiasan kopi. “Desta dulu salah satu junior kakak di club karate, kita akrab sampai sekarang karena sifat dia yang humble dan asik banget. Kakak jamin kalian berdua pasti cepat akrab juga,” tutur Gama panjang lebar membuat sang adik hanya menganggukkan kepalanya. Gia sebenarnya sedikit bingung mendengar kalimat terakhir dari sang kakak, kenapa Gama ingin mereka berdua akrab? Apa yang direncanakan oleh Gama sebenarnya? Sekitar 15 menit menunggu, akhirnya Desta kembali keluar sembari membawa nampan berisi makanan. Ah, ia sudah berganti pakaian rupanya. Desta terlihat dua kali lebih tampan ketika memakai kemeja kotak-kotak dengan kancing yang dibiarkan terbuka, kaos putih polos, serta celana hitam, dan jangan sebuah anting berbentuk silet kecil berwarna hitam yang menggantung di telinga kanannya. “Maaf lama ya? Soalnya ganti baju dulu,” ujar Desta yang dijawab dengan gelengan kepala dari kedua manusia tersebut. Jujur saja, Gia merasa mual ketika melihat tiga pastry yang saat ini telah terhidang di atas meja cafe tempatnya duduk karena telah menghabiskan banyak pastry siang tadi. Tetapi ketika matanya menangkap satu croissant dengan isian cokelat yang melebar keluar dari dalam serta satu gelas strawberry smoothies, gadis tersebut kembali bersemangat untuk menghabiskan makanannya hingga membuat kedua lelaki yang melihat tingkah laku Gia tertawa gemas. “Gia nanti dulu,” ucap Gama sembari menahan tangan Gia saat sang adik hendak mengambil Croissant tersebut, “Ayo kenalan sama kak Desta,” lanjutnya. “Udah kenal kok, Mas. Kan tadi sempat ketemu di rumah waktu nganter makanan,” tutur Desta ketika melihat wajah Gia yang sepertinya enggan berkenalan dengan dirinya, pemuda tersebut tak mempermasalahkan hal itu karena Gama sudah terlebih dahulu menceritakan keadaan adiknya dua hari yang lalu. Gia sebenarnya merasa tidak enak saat mendengar Desta berkata seperti tadi, tetapi ia sendiri memang tidak bisa berinteraksi dengan orang baru kecuali bersama sang kakak, pembantu, serta dokter Rachel. Setelah dirasa Gama maupun Gia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin kembali memulai percakapan, Desta kemudian berkata, “Kalau gitu gue pamit dulu ya mas Gama, Gia!” ujarnya sembari menampilkan senyuman manis yang lagi-lagi berhasil membuat Gia terpana. Gia kira kata ‘pamit’ yang diucapkan oleh Desta berarti pamit pulang karena jam kerjanya sudah selesai. Namun salah, lelaki itu justru berjalan menuju panggung lalu duduk di kursi kayu dan mulai menyetel gitar serta mic nya. Nada dasar C yang dimainkan oleh Desta sebagai awal dari alunan musik membuat semua pelanggan menatap ke arah lelaki tersebut, tak terkecuali juga Gia. Suara serak dari pemuda tampan itu lambat laun mulai terdengar, sore ini Desta membawakan lagu berjudul Photograph dari Ed Sheeran hingga sukses membuat semua orang ikut bersenandung lirih. “Gimana?” tanya Gama di sela suara nyanyian hingga membuat Gia yang tadinya sedang asik menatap Desta segera mengalihkan atensinya kepada sang kakak. “Enak kok, nanti bungkus croissant satu lagi ya,” jawab Gia polos, ia ternyata tidak mengerti maksud dari perkataan Gama. “Bukan makanannya. Tapi Desta, dari tadi kamu lihatin dia terus loh, ganteng ya?” Pertanyaan tak masuk akal itu sejurus kemudian membuat wajah Gia menjadi semerah tomat, ia malu karena tertangkap basah sedang mengagumi ciptaan Tuhan yang kini sedang bernyanyi di atas panggung. Namun, Desta memang layak dikagumi, paras tampan Desta bak dewa Yunani membuat semua orang seperti terhipnotis dan enggan untuk mengalihkan perhatian mereka ke arah lain, seperti Gia tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN