(Flashback on)
2 hari yang lalu.
“Cinderella Complex?” pertanyaan yang sama kini kembali terulang setelah beberapa tahun menghilang. Namun bedanya saat ini bukan Gama yang bertanya, melainkan sosok lelaki dengan setelan baju putih khas karate yang tengah duduk di sebelahnya.
Gama mengangguk sebagai jawaban, mau dijelaskan bagaimanapun Desta pasti tidak akan paham dengan sindrom ini, dirinya saja dulu perlu waktu beberapa hari untuk memahami apa yang menimpa sang adik berkat bantuan dokter Rachel serta beberapa artikel singkat yang ia dapat dari berbagai situs online.
“Intinya dia jadi dewasa yang manja banget dan bergantung sama orang lain. Dia nggak bisa berdiri di atas dirinya sendiri." Jelas Gama secara singkat sembari menyeruput satu cangkir kopi buatan salah satu juniornya di perguruan karate.
Seperti yang pernah dijelaskan oleh Gama kepada Gia, Desta adalah salah satu junior yang paling dekat dengan dirinya, dan hanya Desta juga yang mengetahui rahasia sang adik selain dokter Rachel.
Lelaki berusia sekitar 24 tahun tersebut saat ini bekerja menjadi pelayan di 'Mula Cafe', dan terkadang ikut mengajari anak-anak kecil karate di rumah sensei mereka, seperti sore ini.
“Terus kenapa lo ngomong sama gue, mas?” tanyanya sedikit bingung.
Gama menceritakan hal ini bukan hanya untuk sekedar ingin berbagi masalah saja, ia memang sudah merencanakan jauh-jauh hari agar Desta dan Gia bisa bertemu, lalu setidaknya menjadi teman atau akan semakin baik apabila menjalin kasih bersama agar dirinya bisa pergi ke Singapura tanpa dihantui rasa khawatir sedikitpun.
Gama benar-benar menyeleksi semua orang yang dekat dengan adiknya hingga ia baru sadar bahwa Gia tidak punya teman sama sekali, dan ketika ia melihat Desta yang kepribadiannya bisa dibilang cukup baik apalagi lelaki tersebut tidak memiliki keluarga lain alias hidup sebatang kara, Gama yakin pemuda itu pasti bisa menjaga Gia sepanjang waktu dirinya pergi.
Pria yang berusia lebih tua tersebut tidak menjawab pertanyaan Desta. Ia justru mengambil ponsel pintar yang berada di saku jasnya, membuka sebuah fitur yang bertugas untuk menyimpan serta menampilkan foto, lalu berhenti di satu gambar yang sepersekian detik kemudian langsung ia berikan kepada Desta.
Kedua netra Desta tidak mengedip untuk beberapa saat, dalam hati ia mengagumi bagaimana cantik nan indahnya paras adik dari mantan seniornya ini.
Di dalam foto tersebut, Gia terlihat tengah memakai dress selutut tanpa lengan berwarna abu-abu dengan kalung kain yang senada, rambut kecoklatan yang dibiarkan tergerai, serta senyuman manis yang hampir membuat matanya menghilang. Gia benar-benar secantik itu.
“Kalau gue minta tolong buat lo jaga Gia selama gue di Singapura, kira-kira bisa nggak?” tanya Gama setelah sekian menit terdiam.
Sungguh, siapa yang akan menolak untuk menjaga gadis secantik Gia? Apalagi Gama juga memberikan Desta gaji yang lebih besar daripada di tempat ia bekerja, mendapat gadis cantik sekaligus uang adalah impian semua lelaki termasuk Desta.
“Cuma jaga doang, kan?” Desta balik bertanya sembari mengembalikan ponsel yang sempat ia pegang kepada pemiliknya.
Gama mengangguk, “Bulan depan dia masuk kuliah. Paling lo cuma antar jemput dia kuliah dan masih tetep bisa jalanin hobi lo di cafe kok,” tuturnya sedikit menyinggung masalah Desta yang memang gemar bernyanyi di cafe.
Untuk masalah sarapan dan kegiatan rumah tangga lainnya, Gama menyerahkan itu semua kepada pembantu mereka yang akan tinggal tetap di rumah mulai minggu depan. Toh, jika Desta setuju untuk menjadi sosok pangeran bagi Gia, lelaki itu bisa mengontrol semua yang Gia lakukan agar tidak bentrok dengan pekerjaannya.
“Tapi gue minta satu hal,” nada bicara Gama terdengar lebih serius dari sebelumnya, “Lo jangan manfaatin kondisi Gia untuk melakukan hal-hal yang merugikan dia, Gia nggak tau mana yang benar dan mana yang salah.”
Mendengar penjelasan dari Gama membuat Desta mengangguk mengerti. Lelaki tersebut menerapkan prinsip hukum Newton 3 dalam hidupnya, yaitu aksi sama dengan reaksi, ia tidak akan melakukan hal buruk terhadap Gia jika gadis tersebut tidak melakukan hal buruk terlebih dahulu kepadanya.
“Oke kalau gitu, dua hari lagi gue ajak Gia main ke cafe tempat lo kerja.”
(Flashback off)
Setelah selesai menyanyikan dua lagu yang berhasil membuat semua orang bertepuk tangan dengan meriah di tengah rintik gerimis yang membasahi atap bangunan 'Mula Cafe', Desta kembali turun dari panggung lalu mendekati Gia dan Gama untuk beristirahat sejenak serta sekedar mengobrol dengan pembahasan ringan.
Gia pikir dirinya akan tetap setia dalam kebisuannya sembari mendengarkan percakapan yang dilakukan oleh kedua lelaki itu. Namun salah, Desta selalu memberi topik serta pertanyaan menarik yang membuat Gia tanpa sadar ikut masuk ke dalam obrolan mereka.
Benar kata sang kakak, Desta ternyata orang yang cukup asik, bahkan mereka berdua telah bertukar kontak sebelum pulang ke tempat tinggal masing-masing tadi.
Gama melajukan mobilnya dengan kecepatan standar saat telah sampai di area perumahan, sedangkan Gia masih pulas tertidur di kursi penumpang.
Wajar saja, seorang introvert memang mudah lelah jika dihadapkan dengan keramaian walaupun tidak banyak melakukan gerakan sekalipun. Maka dari itu, seorang introvert juga selalu butuh ruang menyendiri atau tempat yang sepi untuk mengisi ulang energinya.
“Gia, bangun dulu ...,” ujar Gama ketika kembali masuk ke dalam mobil setelah membuka gerbang rumahnya. Bukannya bangun, sang adik justru semakin lelap sembari mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
Jika terus membangunkan Gia seperti ini, yang ada mereka berdua justru akan bermalam di dalam mobil karena sang adik merupakan salah satu orang yang paling sulit untuk dibangunkan apabila sudah lelap menjelajahi alam mimpi.
Tak ada cara lain, Gama sendiri harus segera menandatangani beberapa berkas yang tadi sempat ia bawa dari kantor.
Pada akhirnya, lelaki tersebut keluar dari mobil sembari membawa tas ransel berisi laptop dan berkas-berkas miliknya, lalu menggendong Gia ala bridal style dan membiarkan sang adik untuk tidur sementara di kamar tamu, bisa sakit punggung ia jika menggendong Gia ke atas dengan tas ransel yang masih menempel di balik punggungnya.
***
Tak terasa hari kembali pagi, sinar matahari masuk melalui gorden berwarna abu-abu yang lupa ditutup malam tadi hingga membuat Gia bergerak gusar dari ranjang tempatnya tidur.
Tangan mungil itu terlihat mencari-cari sebuah guling kesayangannya yang saat ini entah berada di sisi sebelah mana. Saat merasa tak kunjung menemukan benda yang ia cari, Gia dengan berat hati kemudian mulai membuka matanya.
“Loh.”
Gadis berambut acak-acakan serta masih memakai pakaian kemarin sore itu terlihat kebingungan, kenapa ia berada di kamar tamu? dan ... kemana sang kakak? Kenapa tidak membangunkannya padahal jam sekarang telah menunjukkan pukul 7 pagi? Jangan-jangan sudah berangkat kerja terlebih dahulu.
Ceklek!
Suara pintu yang dibuka agak kasar membuat Gia sedikit terkejut, kini ia melihat seseorang yang tadi sempat dirinya cari telah rapi dengan setelan jas kantor berwarna biru tua, rambut basah, serta nafas yang memburu.
Apakah Gama baru selesai lari pagi menggunakan pakaian kerja? Tentu saja tidak, lelaki itu berlari dari kamar Gia yang berada di lantai dua menuju lantai satu karena lupa bahwa sang adik masih berada di kamar tamu.
“Kakak lupa kalau kamu tidur disini, selamat pagi!” Ucapnya sembari duduk di sisi ranjang lalu mencium puncak kepala Gia tak lupa juga mengelusnya secara perlahan.
“Kak Gama kok bawa Gia ke kamar tamu sih? Kan aku nggak suka!” protes Gia, gadis tersebut memang tidak suka jika tidur di tempat yang tidak memiliki aroma permen karet seperti kamar miliknya.
Gama yang mendengar ucapan protes dari Gia justru ini merasa gemas ketika melihat wajah cemberut sang adik, tak ingin mengulur waktu atau ia akan kembali telat bekerja seperti kemarin, Gama langsung menggendong Gia begitu saja menuju meja makan tanpa menghiraukan teriakan enggan serta pukulan-pukulan kecil yang gadis tersebut berikan pada punggung bidang milik kakaknya.
“Selamat pagi, Gia!”
Terlalu fokus dengan kegiatan mari memukul punggung sang kakak, membuat Gia seketika membulatkan mata serta terkejut ketika mendengar suara yang cukup familiar memasuki gendang telinganya.
Walaupun baru berkenalan kemarin, tetapi suara khas dari Desta yang saat ini telah duduk manis di depan meja makan membuat gadis tersebut mudah menebak siapa pemiliknya.
Dengan cepat Gia langsung turun dari gendongan sang kakak, merapikan rambutnya yang pasti berantakan dan langsung duduk di hadapan Desta, tak lupa berdoa semoga wajahnya dalam kondisi tetap cantik walaupun baru bangun tidur. Ia sendiri juga tidak tau kenapa jantungnya merasa berdetak lebih cepat dari biasanya.
Apakah ini mungkin efek karena pertama kali sarapan bersama orang asing atau mungkin orang yang ia sukai? Gia tidak tau.
Lelaki bersurai hitam legam itu saat ini memakai pakaian normal, dalam artian bukan pakaian kerja yang biasa ia pakai, kaos polos berwarna hitam dengan tulisan Astro pada bagian tengah, serta celana kain berwarna coklat yang entah kenapa membuat kadar ketampanan Desta seakan tak pernah berkurang walaupun memakai pakaian sederhana.
Sarapan pagi ini agak berbeda dari sebelumnya, jika biasanya Gama akan membawakan bubur ayam atau soto yang berada di depan komplek ketika lari pagi, kali ini Desta membawa sayur sop hasil masakannya sendiri.
“Enak nggak, Gia?” tanya Desta ketika melihat Gia telah menyelesaikan suapan terakhirnya, kedua lelaki tersebut juga telah selesai makan sejak 5 menit yang lalu.
Gia mengangguk sembari tersenyum serta mengangkat kedua ibu jarinya tinggi-tinggi, rasa canggung yang kemarin sempat menguar diantara mereka berdua kini telah sirna entah kemana karena sifat Desta yang memang sangat menyenangkan serta selalu memiliki topik pembicaraan menarik.
“Gia mau nggak jalan-jalan sama kakak?”
Pertanyaan tersebut sontak membuat Gia yang tengah meminum s**u strawberry miliknya tersedak hingga Gama dan Desta terlihat panik lalu berebut memukul punggung kecil si gadis dengan pelan.
Bagus Desta, rencana pendekatan di hari pertama dan kau langsung mendapat tatapan sinis dari Gama, batinnya.
“Emang boleh?” kini ganti Gia yang bertanya kepada sang kakak saat batuknya telah mereda.
Gama tidak menjawab, ia hanya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya pertanda setuju, ini memang bagian dari rencananya, jika Gia keluar bersama Desta mungkin akan membuat hubungan mereka berdua akan semakin dekat.
Gia sendiri tidak bisa menolak walaupun rasa ragu sedikit menghantui pikirannya, ia harus menerima ajakan Desta karena sang Caregiver sudah memberinya izin untuk pergi.
Setelah kurang lebih 30 menit setelah berpamitan kembali ke dalam kamar untuk mandi dan berganti pakaian, kini Gia sudah berada di depan rumah sembari menunggu Desta mengeluarkan mobil dari dalam garasi.
Benar, Desta memang tidak memiliki mobil pribadi, mobil yang akan mereka pakai untuk jalan-jalan kali ini adalah hadiah ulang tahun untuk Gia dari sang kakak tiga bulan lalu.
Gama khawatir Gia akan masuk angin jika naik sepeda motor, maka dari itu ia membiarkan Desta untuk memakai mobil milik adiknya, toh Gia juga masih belum bisa mengendarai kendaraan sendiri.
Berbicara tentang Gama, lelaki tersebut juga telah berangkat menuju kantornya sekitar 15 menit yang lalu.
“Mampir ke Mula Cafe dulu ya, kakak tiba-tiba disuruh bantu bungkus beberapa croissant buat acara ulang tahun nanti sore,” tutur Desta saat mobil yang mereka berdua tumpangi telah keluar dari area perumahan.
Lelaki tersebut sebenarnya sedikit merasa tidak enak karena sudah berjanji akan mengajak Gia jalan-jalan di hari libur miliknya tetapi tiba-tiba harus kembali ke cafe untuk membungkus pesanan.
Berbeda dengan Gia, gadis tersebut justru mengangguk penuh semangat ketika yang lebih tua menyinggung tentang croissant. Ia mungkin akan makan satu atau dua, atau bahkan tiga croissant saat menunggu Desta di cafe nanti, batinnya tak sabar.