Chap. 2

1278 Kata
"Terus, apa kata orang tua lo pas lo tau bentar lagi mau wisuda?" Tanya Rifki penasaran. "Ya gitu." "Gitu gimana, Bambank?!" Taunya Ciama, Nina, Shasa, Kemal dan Rifki keras. Berhubung Adel sedang minum, jadi dia tidak ikut berteriak. "Sabar aja sih. Kesel banget liat mukanya. Kaya pada pengen ditabok," ujar Januar mengesalkan. "Muka lo yang gua tabok duluan!" Ujar Adel yang ternyata ikut kesal. "Ya gitu. Mama emang gak marah sih, cuman Papa yang masih keras kepala buat gua nerusin S2 di jurusan beda. Emang rada-rada mereka tuh! Anaknya pengen jadi dokter gak dibolehin!" Gerutu Januar kesal. "Ya udah, bilang aja sama Mama lo buat bikin adek. Ntar kan lo jadi bebas." "Lo lebih rada-rada!" Januar menatap tajam pada Ciama. "Yee, marah. Gua kan kasih saran," ujar Ciama disertai tawa diakhirnya. Gadis itu menatap geli pada Januar yang kini seperti ingin memakannya hidup-hidup. Ting. "Tuh, ada chat!" Ujar Adel seraya menggeserkan ponsel Ciama. "Siapa?" "Bokap." "Pasti disuruh.." "Aaakkk!! Gak mau ditinggal!!" Teriak Ciama tiba-tiba. Semua teman-temannya dengan spontan tertawa keras. Jarang sekali ayah Ciama memberikan pesan online. Biasanya pria itu langsung menelepon. Dan kalau memberi pesan berarti meminta Ciama untuk tinggal dengan sang adik berdua di rumah. Dan dugaan mereka ternyata benar. "Aaaa!! Ini gimana?! Gak mau!! Mana udah berangkat lagi!" Ciama memberenggut kesal melihat pesan di ponselnya. "Kemana sekarang?" Tanya Rifki. "Katanya sih ke Arab," jawab Ciama seraya menunjukkan pesan singkatnya dengan sang papa. "Pasti lama tuh," ledek Adel memanas-manasi. "Iya bener! Pasti lama banget," tambah Kemal seraya menaik-turunkan halisnya pada teman-temannya yang lain. Mengode agar membuat Ciama kesal. "Duh, gua gak bisa nginep kemana-mana lagi, lagi rawan yang culik," ujar Shasa seraya menampilkan raut wajah ketakutan saat Ciama mendongkak padanya. "Sama. Kayanya gua juga gak bisa kemana-mana deh. Soalnya di rumah mau ada saudara," ucap Nina. "Rif, lo mau kan ngin--" "Rif, lo harus bantu gua! Lo kan udah janji!" Sela Januar seraya menatap tajam pada Rifki yang sejak tadi hanya diam. "Eh, itu.. iya." Tapi bantu apa? Lanjut lelaki itu dalam hati. "Ish! Kok jahat banget sama gua!" Rengek Ciama. Gadis itu menatap melas pada teman-temannya. Dan bukannya merasa kasihan, para teman Ciama malah membuang muka. Wajah Ciama ketika menatap dengan memelas terlalu menggemaskan menurut mereka sampai tidak bisa menolak. "Kalian--" Tring. Tring. Tring. Ciama buru-buru mengangkat teleponnya saat terdengar dering berbeda. Yang menandakan jika kini yang tengah meneleponnya adalah sang adik. "KAKAK! RUMAH KENAPA SEPI?!" Ciama menjauhkan ponselnya dari telinga mendengar teriakan dari seberang sana. Gawat! Sepertinya adik lelakinya belum tahu kalau kedua orang tuanya sudah pergi ke Arab. "Dek, harus dengerin Kakak ya.. sekarang, bawa baju sama alat tulis buat sekolah. Bawa aja semuanya. Baju juga kalau muat masukin ke dalem tas." "NGAPAIN?!" Tanya sang adik dengan keras. Ciama meringis kecil, apa adiknya tidak bisa berbicara santai. "Sekarang nginep di rumah Abang kembar aja ya?" "MAMA SAMA PAPA KEMANA?!" Ciama rasanya ingin menangis sekarang juga. Mendengar suara adiknya yang keras membahana menandakan jika lelaki berumur 11 tahun itu sebentar lagi akan menangis. Ciama memijat keningnya. Kenapa orang tuanya selalu berangkat tiba-tiba sih?! Mentang-mentang Ciama sudah dewasa dan berumur 21 tahun, mereka kira Ciama bisa mengurus dirinya sendiri begitu?! "Duh, Za. Sekarang lakuin aja ya? Ada Pak Dadang kan di situ? Minta anterin. Nanti kalau Kakak udah selesai kelas, Kakak jelasin." "GAK MAU! HIKSS.. MAMA!!" Sial! Benar, kan?! Reza pasti menangis. Lelaki itu memang selalu membuat gara-gara jika ditinggalkan. Entah menangis, entah marah tidak jelas, atau berteriak ke sana-kemari. Dan yang paling parah adalah pergi kabur. Ck, memikirkannya saja Ciama sudah sebal. Sebenarnya alasan itu juga kenapa Mamanya selalu tidak memberitahu jika pergi. Karena Reza pasti tidak akan membiarkan Mamanya pergi. Reza Adyada Risolv, lelaki yang selalu membuat masalah. "Ck, bentar Kakak pulang. Suruh Pak Dadang jemput di depan komplek, sekarang!" Putus Ciama sebelum akhirnya mengakhiri panggilan dan beranjak pergi. "Eh, lo mau kemana?" "Reza ngamuk. Gua duluan." "Tapi kelas terakhir.." "Izinin. Gua balik dulu." Ting. Ciama menghentikan langkahnya saat mendengar suara ponselnya. Ia sempatkan waktu untuk membuka pesan tersebut. "Eh?" Ciama terdiam. "Kenapa, Ci?" Marcel.Samana Kakak ke rumah tadi. Mau ambil buku Rian, tapi ngeliat Reza nangis. Kakak bawa ke tempat Rian, ya? "Ci?!" Ciama kembali duduk setelah membalas pesan tersebut. "Lo gak jadi berangkat?" Tanya Adel. Bukannya menjawab, Ciama malah tersenyum senang seraya menatap teman-temannya. Membuat semua orang bergidik ngeri. "Emang yang namanya calon suami tuh paling pengertian, ya.." Adel dan yang lain sudah tahu apa yang Ciama maksud. Mereka berdecih bersamaan sebelum akhirnya kembali mengacuhkan Ciama. *** Ciama menarik tasnya dari kolong meja sebelum memakainya dan berjalan keluar kelas. Akhirnya penderitaannya hari ini selesai. Ia melangkahkan kakinya menuju depan parkiran, menatap teman-temannya yang sudah berkumpul. Seperti rencana, yang lain menginginkan berkumpul setelah kelas selesai. Dan Ciama pun mengiyakan. Sayangnya, ia melupakan jika saat ini Mama dan Papanya yang berangkat dengan tenang tengah meninggalkan sang adik pembuat masalah. "Lo jadi, Ma?" Tanya Shasa. "Ya gaklah!" "Santai aja kenapa sih?" "Padahal tadinya pengen banget gua berangkat," ujar Ciama lesu. "Ya udah, urus Reza aja dulu. Ntar kalau udah bobo tuh anak, baru main," saran Nina. "Dikira gua kali yang punya anak. Padahal cuman adik." Nina tertawa mendengarnya. Gadis itu menepuk bahu Ciama agar temannya itu tidak terlalu sedih. "Ya udah, kita mainnya di rumah lo aja, Ma," kata Shasa yang berhasil membuat para temannya membulatkan mata. "Eh, kenapa?" Tanyanya saat mendapat tatapan menyeramkan dari para temannya. "Iya, bener! Yuk!" Ajak Ciama semangat. "Ck, lo sih, Sha!" Gumam Adel kesal "Kenapa, sih?" Tanya Shasa tak mengerti. "Kita tadinya mau ngerjain. Tau-tau ke rumahnya aja. b**o ih, Sha!" Shasa langsung membulatkan matanya terkejut. Benar juga! Padahal ia sendirilah yang memberikan saran tersebut saat mereka berkumpul di parkiran. "Terus sekarang gimana?" "Ya gimana? Udah, kita berangkat aja," ujar Kemal terlanjur kesal. Ciama yang mendengarnya tertawa.  Teman-temannya memang paling bisa dipercaya. "Ya udah--" Ciama menghentikan ucapannya begitu tangannya ditarik. Ia mendongkak. Menatap lelaki yang kini menariknya. "Heh! Lo siapa?! Ngapain tangan gua ditarik?!" Bentak Ciama tak terima karena tangannya ditarik oleh anak yang tak ia kenal. Belum lagi cara menariknya tidak ada lembut-lembutnya. Seperti menarik kerbau yang enggan masuk ke kandang. "Ini, Kak. Ciama, kan?" Ujar lelaki itu pada seseorang yang ada di depan mereka. Ciama yang baru akan menggerutu pada orang tersebut mendadak berhenti. Melihat siapa gerangan yang kini ada di depan matanya. "Makasih, ya Re!" Lelaki yang entah siapa namanya itu mengangguk dan pergi begitu saja. "Kakak ngapain di sini?" Tanya Ciama melihat lelaki berdiri tegak di depannya. Wajah putih dan tampannya itu terbingkai indah oleh sorot matahari senja di depannya. Senyum manis namun tipis itu terlihat sangat indah kala matanya juga ikut menatap Ciama. Mata kecil yang terbingkai sebuah lensa berwarna bening begitu memikat kedua mata Ciama untuk tetap menatapnya. "Reza minta Kakak ke sini. Katanya suruh jemput kamu cepet-cepet. Sekalian pulang dari kantor juga." Ciama menelan ludahnya kasar. Kantor lelaki itu memang dekat dari sini. Dan terkadang jika pulang pasti lewat kampusnya--jika jalan raya sedang padat. "Sekarang pulangnya?" Tanya Ciama seperti orang bodoh. Lelaki itu menggangguk. "Sebentar, Ciama pamit dulu sama temen-temen kalau gitu." "Silahkan." Ciama berbalik. Baru akan melangkah, ternyata teman-temannya sudah ada di belakangnya seraya menaikkan halis kiri mereka bersamaan. "Eh, kalian.. itu, gua--" "Gak masalah. Ntar kalau lo udah bujuk Adek lo, kita-kita ke rumah lo." "Beneran gak papa gua pulang duluan gini?" "Ya nggak papa. Emang kenapa?" Ciama menyengir lebar sebelum akhirnya mengangguk dan kembali membalikkan badan. Berjalan bersama lelaki yang ia sebut Kakak tadi. "Emang Marcel sialan!" Umpat Adel. "Iya! Bilangnya gak suka dan nganggap adik, tapi kemana-mana pasti ngasih harapan!" Gerutu Shasa ikut menimpali u*****n Adel. "Udahlah. Mending sekarang kita berangkat. Beli makanan dulu. Sekalian tungguin Ciama bujuk adiknya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN