“Gimana tadi di kampus? Ada tugas yang susah gak?” Tanya Marcel. Lelaki yang duduk di kursi kemudi itu menatap sekilas pada Ciama yang sekarang tengah sibuk memakan yupi yang baru saja ia keluarkan dari dalam dashboard mobilnya. Mendengar suara merdu dari sosok yang sangat ia idam-idamkan, Ciama langsung menolehkan kepala dan tersenyum kecil. Setidaknya di dalam mobil suasana tidak secanggung ketika ia baru keluar dari kampus dan berjalan bersama dengan lelaki ini.
“Gak ada. Seru!” jawab Ciama penuh antusias. Seperti tengah menceritkan kesehariannya pada seorang ayah. Yang mana berhasil membuat Marcel kembali menolehkan kepala untuk melihat gadis itu.
“Oh ya?”
“Iya. Tadi juga dosennya gak sekeki biasanya. Ditambah tadi Rifky teraktir permen yupi banyak banget.” Marcel tertawa mendengarnya. Sangat berbanding terbalik dengan yang Ciama ekspetasikan. Memangnya apa yang harusnya Marcel keluarkan? Kata-kata marah dan berpura-pura melarangnya dekat dengan Rifky begitu? Ternyata ekspetasi tidak selalu berjabat tangan dengan realita.
“Jadi yupi yang sekarang kamu makan, yupi ke berapa?” Tanya Marcel dengan senyum yang masih terpatri jelas di wajah lelaki itu. membuat Ciama diam-diam menghela napas panjang. Entah apa yang sekarang ia pikirkan? Bukankah sudah jelas kalau ia tidak bisa berjalan jauh dengan lelaki ini? Marcel bahkan tidak pernah menganggap semuanya adalah hal yang harusnya dilakukan oleh sepasang kekasih. Jangankan hal seperti itu, Marcel bahkan tidak memandang Ciama seperti seorang wanita, kan?
“Ciama?”
“Ah, ya?”
“Kamu gak papa? Atau ada yang salah sama apa yang aku omongin tadi?”
“Eh, nggak ada!” Aku yang terlalu berlebihan memikirkan sesuatu yang belum tentu dia memikirkan hal itu juga.
“Jadi, yupi ini yang ke berapa?” Tanya Marcel, mengulang pertanyaan yang sama. Ciama hanya tersenyum seraya mengedikan bahunya. Andai saja ia tidak sewaras Mamanya, mungkin ia bisa membuat semuanya terasa lebih biak. Tapi kenapa Ciama merasa akan ada hal yang terjadi setelah ini? Seperti sesuatu yang sedang menunggu Ciama dan membuat gadis itu tidak bisa berkutik bahkan tidak bisa berbicara lagi dengan Marcel setelah ini?
Ah, mungkin itu hanya kekhawatirannya saj—
Tinnn…
“Ciama sayang Marcel!” Pekik Ciama tanpa sadar saat mobil di sebelah Ciama memberi klakson panjang karena motor di depan mereka tiba-tiba berhenti mendadak.
Ciama yang sadar dengan apa yang diucapkannya langusng menolehkan kepala. Bersamaan dengan kepala Marcel yang ternyata sama-sama menoleh ke arahnya. Pandangan keduanya sempat terpaku beberapa saat sebelum akhirnya terputus karena Marcel yang lebih dulu memalingkan wajahnya. Sedangkan Ciama menelan salivanya susah payah seraya memalingkan wajah. Ia sudah menduga akan ada hal yang terjadi setelah ini. Tapi kenapa harus pengungkapan cintanya? Kenapa harus di situasi yang mana seharusnya kembali tentram. Dan tidak ada sangkut pautnya dengan perasaan?!
“Kamu kalau bercanda suka berlebihan. Aku padahal tanya berapa yupi yang kamu makan hari ini. Tapi kamu—“
“Hahaha.. itu maksud Ciama… Ciama sayang sama Kakak karena udah beliin yupi yang banyak, hehe.. iya. Gitu.” Kebohongan yang ternyata cukup menyakitkan.
“Kamu ini! Kakak kira apaan tadi. Ya udah, nanti lagi kalau jemput kamu, Kakak beliin banyak yupi yang kamu suka. Biar Ciama makin sayang. Hahaha!”
Lucukah hal itu sampai Marcel ikut tertawa juga?
***
Ciama turun dari mobil Marcel begitu mereka sampai di rumah besar bak istana milik saudara Ciama. Lebih tepatnya milik keponakan gadis itu. Mata Ciama menyipit saat melihat adiknya yang asyik di lapangan khusus sepak bola. Lapangan yang letaknya dekat dengan taman pertemuan. Lapangan yang ternyata jaraknya tidak begitu jauh dari parkiran. Objek yang saat ini Ciama lihat berhasil membuat gadis itu menggeram marah. Reza! Bocah lelaki itu bisa-bisanya bersemangat menendang bola tanpa tahu jika Kakaknya sejak tadi sangat merana? Ingin rasanya Ciama memakan Reza saat ini!
“Kamu baru pulang, Sayang?”
Ciama langsung menolehkan kepala kala mendnegar suara yang tak asing di telinganya. Ia lantas tersenyum dan berlari menuju wanita dengan gamis biru muda dan cadar yang menutupi wajahnya. Sosok wanita yang sangat cantik yang pernah Ciama temui. Bahkan jauh lebih cantik dari wanita manapun. Segera mencium punggung tangan wanita itu, Ciama tak lupa untuk mencium pipi wanita yang menjadi Tante sekaligus keponakan dari Papanya.
“Iya, Tante. Tante apa kabar? Ciama kangen banget! Udah lama gak ketemu sama Tante.”
“Ya itu kamunya sibuk terus sama tugas sekolah. Belum lagi kamu ikut audisi model kan beberapa hari yang lalu?” Ciama yang sedang memeluk wanita itu langsung mendongkak tak percaya.
“Lho, Tante tau?” Wanita itu tersenyum. Ciama tahu itu karena mata sipit wanita itu semakin mengecil. Mengangguk lemah, wanita itu juga mengurai rambut hitam Ciama. Mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Membuat Ciama selalu merasa jika wanita itu adalah ibunya di banding sang mama yang selalu kabur—lebih tepatnya pergi—tanpa mengatakan apa-apa dan membuat adik satu-satunya menangis keras.
“Kemaren Tante gak sengaja ketemu sama temen Tante waktu jadi model. Katanya ada satu peserta yang punya nama keluarga Risolv. Pas Tante tanya siapa namanya, ternyata kamu.”
Ciama terkekeh pelan dan mengangguk. Wanita dengan kebangsaan Arab-Indonesia itu kembali memeluk wanita di depannya dengan sangat hangat. “Iya. Temen-temen suruh Ciama ikut audisinya. Katanya sih Ciama cocok banget sama kriteria yang dipilih. Padahalkan Ciama paling gak suka didandanin sama orang lain.”
Wanita yang Ciama peluk tertawa singkat. “Persis banget sama Chandra. Tante jadi inget sama Mama kamu. Oh ya, Chandra beneran berangkat ke Arab tanpa bilang-bilang sama Eza?”
Eza yang dimaksud tentu saja si bocah menyebalkan yang selalu membuat Ciama kesal setengah mati. Apalagi jika anak lelaki itu sudah mengamuk. Ciama rasanya ingin mati atau kabur saja yang jauh dan tidak melihat keberadaan adik laknat yang selalu membuat masalah. Namun, walau begitu, Ciama tetap sayang dengan Reza kok. Karena kalau tidak ada Reza sudah pasti Ciama harus mengurus semua pekerjaan Papanya sendirian. Setidaknya jika ada Reza, sudah pasti hidupnya tidak terlalu berat. Papanya juga selalu berjanji jika nanti Reza udah besar, semua beban Ciama akan dilimpahkan pada anak itu dan Ciama bebas memilih apa yang ingin gadis itu lakukan. Ya, walau harus menunggu sepuluh tahun ke depan.
“Eh, ayo masuk dulu. Duh, gara-gara ngobrol sama kamu Tante jadi lupa kalau kamu sama Marcel ke sini. Masuk aja ya, Cel. Di dalam ada Gean sama Rian kok. Kayanya Eza juga udah selesai main bolanya. Ke dalam yuk, Sayang.”
“Gak mau! Ciama mau sama Tante dulu. Girls time! Kita ke kebun buah Tante aja gimana? Katanya Tante janji bakal panen buah kalau Ciama ke sini lagi!”
Tante terkekeh pelan. Sangat lembut sesuai dengan apa yang ada di hadapan Ciama saat ini. Wanita ini sebenarnya terbuat dari apa sih? Kapas? Ciama juga sudah mendengar dari Mamanya jika wanita ini benar-benar wanita yang sangat lemah lembut dan tidak suka pada sesuatu yang meributkan. Seakan-akan hidunya begitu damai. Ciama jadi ingin membuat hidupnya damai juga. Persis seperti wanita yang menjadi panutanannya ini.
“Oke. Tante tepatin janjinya sekarang. Kamu masih ingat ternyata,” ujar wanita itu dengan tawa yang mengudara serta tangan yang memencet hidung Ciama.
“Inget, dong! Ciama kan mau ambil semua buah yang ada di kebun Tante,” kelakar Ciama dengan tangan yang masih setia merangkul pinggang wanita itu. Walau tinggi keduanya hampir seimbang, tetap saja rasanya Ciama seperti sedang menggandeng teman daripada Tantenya.
“Kamu deket sama Marcel ya, Dek?”
Ciama refleks menghentikkan langkahnya dan melihat ke arah wanita itu dengan tatapan terkejut. Yang mana membuat sang tante mengangkat halisnya merasa tidak enak hati.
“Ah, maaf. Tante tanya—“
“Gak terlalu kok, Tante. Gak papa. Ngapain minta maaf? Lagian kan Kak Marcel temennya Bang Rian, pasti deket sama aku, dong,” jawab Ciama seraya mengembangkan senyumnya. Riana—wanita yang menjadi Tante sekaligus wanita dari Ibu si kembar itu hanya bisa tersenyum dan mengangguk canggung.
“Tapi yang Tante rasa bukan dekat—“
“Tante kok gak bilang?! Itu buah tin udah lebat? Pada mateng lagi!”
Riana terdiam sesaat. Ia melihat punggung Ciama yang tiba-tiba berlari menjauh darinya. Apa yang ia pikirkan terlalu jauh?