Chap. 4

1305 Kata
“Gimana kerjaan lo?” “Lancar aja sih, gak terlalu gimana-gimana. Lo jadi ngambil perusahaan orang tua Ibu lo?” “Boro-boro. Lo kira otak Gean sepinter gua?” “Enak aja! Lo aja yang kepinteran!” “Lo—“ “Coba, ya.. kalian tuh harus sadar kalau di sini ada Cici! Cici tuh gak paham sama apa yang kalian omongin. Jadi jangan buat kuping Cici panas sama omongan yang gak Cici paham!” Bentak Ciama yang entah sejak kapan sudah duduk di sofa. “Makanya otak itu harus pinter, jadi Kakak bisa paham sama yang Abang Rian omongin,” celetuk Reza—adik lelaki Ciama dengan entengnya. Bocah lelaki yang sedang menyuapkan eskrim sejak tadi itu terlihat damai dan tidak mengajak perang. Namun bibirnya yang kini mengibarkan tanda perang jelas membuat Ciama kesal bukan main. “Heh, bocah kek lo mana paham sama apa yang mereka omongin juga, kan?” “Kata siapa? Eja paham kok. Kakak doang yang gak paham.” “Lagak lo kek bocah jenius,” gumam Gean dengan nada sinis. Lelaki yang kini tengah menyesap vapenya itu menatap adik Ciama dengan tatapan tak suka. “Eh, Abang Gean jangan gitu ya sama Eja! Eja tuh ngerti. Pasti lagi pada ngomongin kerjaan yang ngurusin saham-saham gitu, kan? Terus nanti kalian ketemu sama klien abis gitu salaman terus kerja sama deh. Bener, kan?” Ciama membulatkan mata mendengar jawaban yang sangat di luar kepala itu dari adik lelakinya. Adik lelaki yang baru saja kelas 6 SD, atau sama dengan 11 tahun. Bocah menyebalkan yang masih suka marah dan menangis ketika tahu jika orang tuanya pergi karena masalah bisnis. Bocah tidak tahu diri yang selalu menyusahkan keluarga terutama Ciama. Sebenarnya apa yang dipelajari anak kelas 6 SD, sih sampai-sampai masalah orang dewasa saja bocah itu bisa paham? “Dari mana kamu tahu kaya gitu?” Tanya Rian pada Reza dengan tatapan kagum. “Taulah! Emangnya Kak Ciama yang kuliah tapi masih gak tahu masalah kaya begituan? Eja juga tahu kalau Kak Ciama suka sama Kak Marcel,” ucap Reza dengan sangat percaya diri. Anak itu mengangkat halisnya menatap sang kakak perempuan yang semakin membulatkan mata dan mengancam dengan kepalan tangan yang perlahan muncul dari bawah. Sedangkan para lelaki dewasa langsung menatap Ciama dnegan tatapan tak percaya. Tak terkecuali Marcel yang kini menatap Ciama dengan kening mengernyit. Tampaknya lelaki itu tidak percaya dengan apa yang Reza katakan. “Ci, lo beneran—“ “Ciama! Nak, temen kamu pada datang, nih!” Teriak Tante Riana dari arah pintu. Ciama spontan menghembuskan napas lega. Ia langsung bangkit dan menjawab ucapan Riana. Gadis itu tidak menjawab apa yang ditanyakan oleh Gean. Gadis dua puluh satu tahun itu sudah lebih dulu menghilang dan entah apa yang Reza katakan adalah kebenaran atau bukan. “Eja, gak baik menyebar hal yang tidak benar,” desis Rian dengan nada dinginnya. Lelaki yang terkenal lembut itu tiba-tiba terlihat menyeramkan. Membuat Reza yang tadinya ingin membantah ucapan Rian dan mengatakan apa yang ia ketahui lagi seketika urung saat kepala lelaki itu menggeleng kecil dengan tatapan tajam. Seperti tatapan mengancam. Reza dengan kepala menunduk hanya bisa mengangguk takut. “Yan, lo kok gak percaya sama omongan Reza? Bisa aja kan, Ciama beneran suka sama—“ “Gak percaya gua. Lo sendiri kok bisa ke-distrak sama omongan bocil,” dengkus Rian sebelum akhirnya bangkit pergi. Membuat Gean mengerutkan kening dan mengikuti langkah kembarannya itu. Meninggalkan Reza dan juga Marcel yang masih duduk di sofa dengan pemikirannya masing-masing. Reza yang masih takut dan merasa jika Rian tahu semua tentang Kakak perempuannya. Dan Marcel yang merasa tak percaya dengan fakta yang baru saja ia dengar. “Za, kamu—“ “Eja! Beresin kamar Abang!!” Teriak Rian dari arah kamarnya dengan suara lantang. Membuat pertanyaan Marcel yang hampir terlontar itu urung. “Hah?! Apa, sih! Eja gak berantakin kamar Abang!” Balas Reza dengan suara tak kalah nyaring. “Sini kamu! Liat sendiri kamar Abang!” “Ck! Iya, iya. Eja ke sana.” Reza berdecak seraya bangkit. Bocah itu lewat begitu saja di depan Marcel seakan tidak ada hal yang pernah terjadi sebelumnya. Membuat Marcel lagi-lagi mengerutkan kening. Apa iya Ciama suka sama gua?     ***     “Mana, Tan—“ “Gak ada. Udah sana. Katanya kamu mau ketemu sama temen-temen kamu kan di rumah? Pulang, gih. Bukan ngusir ya.. Tante cuman gak enak aja kalau kamu harus ngebiarin temen-temen kamu di luar rumah sendiri. Kalau gak mau pulang di anter sopir, bawa aja mobilnya Adek. Eh maksud Tante punya Bang Gean. Kamu udah punya sim, kan?” “Tante..” “Udah sana. Nanti Reza biar Tante yang urus. Kalau butuh apa-apa telepon Tante atau Abang aja, ya?” Ciama yang baru saja sampai di pintu itu tidak bisa berkata-kata selain memeluk wanita yang umurnya hanya terpaut 2 tahun dari sang mama. Pelukan yang sangat hangat, sampai rasanya Ciama tidak ingin melepaskan pelukan itu barang sedetikpun. “Tante kok bisa tahu?” “Suara Eja kaya toa. Makanya Tante bisa denger,” kelakar Riana seraya mengels rambut pirang Ciama dengan tangannya. Wanita itu tersenyum dibalik cadarnya. “Duh, astagfirullah! Tante jadi ngomong yang nggak-nggak tentang Reza, kan?” Ciama tertawa. “Enggak kok, Tante. Suaranya Eja emang kaya toa masjid. Malah lebih gede,” jawab Ciama dengan suara yang kecil. Riana ikut tertawa. Wanita itu lalu mengelus kepala Ciama sekali lagi sebelum akhirnya memberikan sebuah kunci kobil pada Ciama. “Mobil yang warna item, tuh. Pake aja.” “Abang Gean emang gak akan marah?” “Gampang, nanti juga dia bisa pake motor. Udah cepet sana. Oh iya, Tante tadi masukin sedikit makanan ke bagasinya.” Ciama tersenyum lagi dan menundukkan kepala untuk mencium pipi wanita itu. “Tante emang yang paling baik. Makasih, Tante. Ciama pulang ya, Tante.” Riana mengangguk dan membiarkan Ciama pergi dari rumahnya. Riana memandang punggung anak sahabatnya itu dengan tatapan miris. Ia tidak bisa melakukan apapun. Namun setidaknya, hal-hal kecil seperti ini semoga saja bisa membantu Ciama lepas dari apa yang anak itu alami. Ia memang tidak tahu apa yang sebenarnya Ciama rasakan saat ini. Namun setidaknya Riana tahu jika ia tidak mau Ciama bernasib sama dengan Ibu gadis itu. Mencintai seseorang namun lelaki itu hanya memandangnya sebagai sosok lain. Riana tidak ingin Ciama juga merasakan rasa sakit yang sahabatnya dulu rasakan. Kalau dulu ia tidak bisa membantu lebih dan memilih diam karena takut ikut campur, semoga saja kali ini ia bisa membantu masalah percintaan Ciama. Sekalipun nantinya mungkin akan jadi masalah besar. “Bye, Tante!” Pamit Ciama dengan tangan yang melambai lewat kaca mobil. Riana membalas lambaian itu dengan senyuman manis. “Mama ngapain di sini? Ciama di mana? Katanya ada temennya?” Riana membalikkan badan dan menatap anak bungsunya dengan tatapan meminta penjelasan. Yang mana membuat Gean mengernyit. “Mama suruh pulang,” jawab Riana dengan santai. “Hah?!” “Tapi Adek.. kok mobil hitam bisa di luar garasi, ya? Bukannya udah Papa kasih tahu kalau Adek masih dalam masa hukuman tanpa mobil, hm?” Gean menelan salivanya dan menganga lalu kembali menutup mulutnya karena tak tahu apa yang harusnya ia katakan. Sialan! Kalau saja bukan karena keinginan Marcel yang memintanya melihat Ciama—apa gadis itu masih ada di depan atau sedang bersama teman-temannya—mungkin saja Gean tidak diintrogasi oleh sang mama seperti ini. Dan kenapa juga ia mau-mau saja?! Benar-benar ya! Yang punya masalah siapa, kenapa malah ia yang terjebak? Sedangkan di jalan, Ciama tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya pada sang adik dan rasa sakit hatinya karena respon Marcel yang sangat di luar dugaan. Kenapa lelaki itu terlihat sangat kaget? Apa selama ini lelaki itu tidak tahu jika ia memang sangat suka pada sosoknya atau memang hanya dirinya yang berharap jika Marcel tahu tentang perasaanya? Sialan! Ternyata lo emang nganggap gua adik, Marcel!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN