Bab 1
Setelah menyiapkan semua bahan presentasi, aku bergegas menuju ruang rapat pimpinan di lantai 23 gedung kantor tempat aku bekerja. Ada rapat dengan direktur bersama manajer lainnya.
Aku sendiri adalah manajer paling muda yang baru saja naik jabatan. Dan, ini adalah rapat pertamaku dengan pimpinan kelas menengah di kantor. Aku harus mampu menunjukkan kinerja terbaikku. Maka tak salah jika aku datang lebih awal dibanding peserta rapat yang lain.
Memasuki ruang rapat, aku sengaja memilih posisi di tengah. Sambil menunggu yang lain datang, kubuka ponsel yang sedari tadi bergetar.
[Mas, foto kemarin di kirim ke aku ya!] Pesan dari Vania, staf di kantorku, masuk ke benda pipih yang sedang kugenggam.
Vania sudah biasa memanggilku ‘Mas’ jika kami sedang berdua. Tapi, dalam keadaan formal, dia selalu memanggilku dengan sebutan ‘Pak’.
Vania adalah staf yunior. Aku menjadi dekat dengannya karena sering kerja bareng. Aku suka padanya karena dia sangat cekatan, terampil dan dapat diandalkan.
Dan pekan lalu, aku dan Vania baru saja dinas ke luar kota untuk meninjau kantor cabang di Surabaya.
Sebenarnya, kami juga tidak kemana-mana. Hanya beberapa foto kuambil saat kami berdua sedang makan malam di sebuah restoran.
Memang beberapa fotonya ada pada ponselku dan belum sempat aku transfer padanya, karena biasanya setiba di rumah dari dinas, aku akan sibuk dengan Namira dan dua buah hati kami.
Buru-buru aku buka galeri foto di ponsel itu.
Saat aku hendak memilih foto-foto itu, beberapa peserta rapat masuk ke ruangan.
Tak enak jika aku fokus dengan ponsel, karena aku manajer baru. Dengan cepat akhirnya aku klik-klik saja foto-foto itu dan mengirimkannya ke Vania.
Setelah mengirim gambar itu, ponsel aku ubah ke mode diam dan kusimpan di meja dengan posisi terbalik.
Aku tak ingin di saat rapat, terganggu oleh panggilan atau pesan yang masuk.
Tak terasa, rapat yang ternyata cukup alot memakan waktu tiga jam. Hingga tiba saatnya makan siang.
Beberapa peserta rapat membubarkan diri setelah ditutup. Demikian pula diriku.
Aku segera kembali ke ruanganku. Biasanya, Vania akan mengajakku makan siang bersama.
Dengan langkah tergesa aku kembali ke ruanganku.
Anehnya, saat aku masuk, semua mata memandangku aneh.
Mataku memindai meja kerja Vania. Tapi anak itu tak ada di mejanya. Mungkin setelah di ruangan, aku harus segera mengecek ponselku.
Jangan-jangan dia sudah keluar duluan, agar teman kantorku tidak mencurigai kedekatan kami.
Meskipun aku dekat dengan Vania, tapi di kantor tak ada yang mencurigainya, karena aku dan Vania bisa membawa diri.
Kami hanya sekedar nyaman satu sama lain. Tidak melakukan hal yang di luar batas.
Vania adalah gadis belia. Usianya baru 23 tahun.
Awalnya kami dekat karena pekerjaan. Tapi, karena seringnya dia curhat mengenai masalah keluarganya usai kerja lembur, membuat hubunganku dengannya tak sekedar teman kerja.
Dia berasal dari keluarga yang berantakan. Ayahnya menikah lagi, ibunya pun demikian. Hingga dia sulit dapat menerima orang tua baru dari masing-masing orangtuanya.
Sementara aku, hanya menjadi pendengar setianya.
Mungkin karena aku sedikit bosan dengan suasana rumah. Namira yang terlalu sibuk dengan Dafa dan Dafi sering mengacuhkanku. Bahkan, justru sering memintaku membantunya, dibanding memperhatikanku. Padahal, aku sudah lelah bekerja dan ingin dimanja.
Aku segera masuk ke ruanganku. Ruangan yang baru satu bulan aku tempati setelah naik jabatan. Belum sempat aku duduk, Hana, sekretarisku mengetuk pintu.
“Pak, dipanggil menghadap Pak Direktur,” ujar Hana sambil mendekat ke mejaku.
Dipanggil? Bukannya kami barusan habis rapat? Sepertinya semua agenda tadi sudah final dan tak ada tersisa agenda lain yang ingin dibahas.
Tapi, baiklah. Mungkin ada hal lain yang ingin didiskusikan oleh Pak Direktur.
Ruang direktur ada di lantai 22, satu lantai di atas tempatku bekerja.
Baru aku melangkah hendak masuk ke ruangan direktur, langkahku terhenti saat melihat dari kaca, tampak Vania sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan meja Pak Taufan, direktur perusahaan tempatku. Gadis itu terlihat menunduk.
“Permisi, Pak,” sapaku.
Pak Taufan segera berdiri. Wajahnya merah seperti menahan marah. Tangannya memegang ponsel yang sepertinya hendak ditunjukkan padaku.
“Apa maksudnya ini?” tanyanya sambil menunjukkan gambar di ponselnya.
Mataku melebar.
Mengapa Pak Taufan bisa mendapatkan gambar yang aku kirim ke Vania?
“Apa maksud kalian? Ha?” ucap Pak Taufan lagi.
Aku semakin tidak mengerti.
“Pak Reno, buka status WA Bapak. Itu terposting di sana.” Vania menatapku, matanya sudah mengembun.
“Apaa???!”
“Pak Reno, buka status WA bapak. Itu terposting di sana.” Vania menatapku, matanya sudah mulai mengembun.
“Apaa???!”
Aku hampir terlonjak kaget.
Betapa bodohnya aku bisa memposting fotoku dan Vania di status WA? Padahal, foto itu tidak hanya satu. Bahkan foto tak penting pun aku ikut kirimkan. Apa jadinya jika Namira sampai melihatnya?
Segera aku buka ponselku yang sedari tadi aku pasang mode diam.
Ya Salam. Benar juga. Banyak japri masuk ke aplikasi pesanku.
[Reno, ini siapa?]
[Reno, berani sekali pasang di sini?]
[Reno, tak kusangka, kamu suka juga dengan daun muda]
Ya Tuhan...itu pesan dari teman-temanku. Entah siapa lagi, belum sempat aku cek satu per satu.
Bergegas aku membuka status WA ku.
Innalillahi, hampir semua staf kantor yang ada di daftar kontak sudah membukanya.
Sepertinya mereka mengetahui dari mulut ke mulut. Bahkan, mertua dan orang tuaku pun melihatnya.
Langit rasanya tiba-tiba runtuh, dan aku terhempas masuk ke dalam bumi yang entah berapa lapis dalamnya.
Aku hanya berharap, Namira tidak membuka. Dia jarang kepo dengan status WA seseorang.
Segera aku menghapus semua status sampah itu.
“Untuk sementara, kalian berdua di non-aktifkan hingga ada keputusan dari kantor,” ujar Pak Direktur dengan tegas. Suaranya terdengar laksana petir di siang bolong di telingaku.
“Apa?” Aku dan Vania serentak berucap. Bahkan, mulutku ikut menganga karena kaget.
“Kamu tak punya malu jika kamu besok masih masuk kerja?” tanya Pak Taufan.
Benar juga kata Pak Taufan. Pasti para karyawan di kantor ini memperbincangkan kebejatanku, meski foto itu tidak menampilkan tindakan asusila. Tapi dari foto itu siapapun bisa menebak kalau aku punya hubungan khusus dengan Vania.
Aku menatap Vania iba. Kasihan sekali dia. Masa depannya hancur karena ulahku.
Aku keluar dari ruang direktur itu dengan kepala menunduk.
Aku yakin, semua karyawan yang ada di lantai ini pun sudah mengendus berita miring tentangku. Apa jadinya masa depanku. Baru sebulan diangkat jadi manajer, sudah dinonaktifkan dari jabatan.
Aku tak berani menatap Vania. Bahkan, aku memilih turun lewat tangga darurat, dibanding harus satu lift dengan Vania.
Sebaiknya aku bicara nanti dengan Vania. Bukan di kantor ini. Batinku.
Sesampai di ruanganku. Aku hanya mengambil tas kerjaku.
Aku berpesan kepada Hana, jika ada keputusan dari direktur untuk membantu membereskan barang-barangku.
Untuk saat ini, aku ingin segera pulang. Aku tak ingin masalah tambah kacau di rumah jika Namira sampai tahu kejadian yang sedang menimpaku.
Sepanjang perjalanan pulang, kepalaku berdenyut. Bahkan, pesan-pesan yang masuk di ponselku belum sepenuhnya semua k****a. Aku trauma. Tak ingin melihatnya. Dadaku bergemuruh resah.
Aku harus menyiapkan kata-kata terbaik untuk bicara dengan Namira, jika dia sampai tahu. Semoga saja berita ini belum sampai padanya. Biarlah aku yang pertama memberitahunya. Bukan orang lain.
Aku sedikit lega saat tiba di rumah, keriuhan Dafa dan Dafi, bocah berusia tiga dan satu tahun itu terdengar dari luar. Artinya seharian Namira sibuk dengan keduanya.
Dia jarang sekali mengecek ponsel. Kadang, aku harus beberapa kali menelponnya jika sangat penting sekali, karena tak mungkin sekali panggil dia mengangkatnya.
Segera kubuka pagar rumahku sebelum kumasukkan mobilku.
“Ayah!” Dafa, anak sulungku yang baru tiga tahun dengan suka cita berlari menyambutku yang masih hendak turun dari mobil.
Sementara Dafi, masih belajar berjalan tertatih mengejar abangnya dengan berpegangan pada dinding.
Ada rasa sesak di d**a melihat dua buah hatiku. Sementara, Namira pun ikut berlari tergopoh-gopoh begitu dua anak kami menghambur ke depan.
Wanita dengan daster batik dan jilbab bergo itu fokus melihat kedua anak kami, tanpa menatapku. Aku jadi semakin merasa bersalah. Jangan-jangan dia sudah tahu.
“Kok Ayah sudah pulang?” tanya Dafa sambil mengekor di belakangku.
Sementara Dafi minta mengulurkan kedua tangannya minta aku menggendongnya.
Hari memang masih siang. Biasanya aku tiba di rumah jam tujuh, setelah aku menghabiskan waktu sejenak dengan Vania, sekedar menemaninya makan sore di rumah makan sekitar kantor, atau sekedar nongkrong di cafe.
Vania kos di belakang kantor. Dan kini, sesiang ini aku sudah pulang setelah kebejatanku dengan Vania terendus seantero dunia. Naif!
“Sini, Dek, Ayah masih kotor. Biar mandi dulu,” ujar Namira sambil mengulurkan tangannya pada Dafi.
Tapi, bocah bayi ini malah mengalungkan tangannya ke leherku, memelukku erat. Aku jadi semakin merasa bersalah.
“Aku nggak tahu kamu pulang cepet, Mas. Aku belum masak,” ujar Namira tanpa menatapku. Dia langsung ke dapur begitu Dafi tak mau diambil.
Kesempatan ini aku gunakan untuk mencari ponsel milik Namira. Aku harus tahu apakah dia sudah membuka status WA ku atau belum. Apakah sudah ada yang mengirimkannya pesan singkat mempertanyakan statusku itu, atau belum.
Kugendong Dafi ke kamar. Mataku menjelajah setiap sudut kamar tidur kami.
Oh! Ketemu. Ada di atas ranjang. Namira tak pernah memberikan ponselnya ke anak-anak untuk mainan. Dia rela repot mengasuh anak-anak dengan memberikan bacaan atau mainan edukatif.
Dia hanya memberikan ponsel dengan pengawasannya saja. Misalnya membuka video dan melihatnya bersama. Bukan meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan dengan benda ajaib itu.
Aku baru ingat kalau statusku sudah kuhapus, bagaimana aku bisa tahu Namira sudah mengeceknya atau belum?
Tapi, baiklah. Aku cek saja siapa tahu ada pesan melalui japri dari orang lain.
Dan benar saja. Ada pesan dari mertua dan iparku di situ. Untungnya belum dibaca oleh Namira. Segera aku hapus semuanya tanpa kubuka.
“Mas?”
Aku tergagap saat Namira sudah berdiri di ambang pintu.
Entah sejak kapan dia berdiri di situ. Wajahnya sangat datar. Aku menjadi takut karenanya.
“Mas, ibu sebentar lagi datang,” ujar Namira sambil mengambil Dafi dari gendonganku.
Deg!
Dari mana Namira tahu kalau ibu mau datang? Sementara ponselnya ada di aku?