episode 9

1005 Kata
Alexander memasuki rumahnya dengan tergesa-gesa, ia bahkan tidak peduli dengan kepala pelayan yang menunggunya di samping pintu. Begitu tergesanya sampai ia hampir menjatuhkan lampu yang berada di atas meja. "Anda baik-baik saja, Tuan?" Tanya kepala pelayan berusaha menolong Alexander. "Di mana Alana?" Kata Alexander setelah menenangkan diri. "Nyonya ada di kamarnya, Tuan." Alexander mempercepat langkahnya, ia ingin segera menemui Alana. Entah mengapa, kali ini ia merasa bersalah terhadap wanita itu. Tidak seharusnya memang, ia bersikap acuh terhadap istrinya sendiri. ........... "Alana, sayang." Aku menoleh mendengar suara itu, tertegun menatap Alexander yang berdiri di depan pintu. Alexander tersenyum, kemudian memelukku begitu saja. "Maafkan aku, Alana. Aku terlalu egois sampai mengacuhkanmu. Aku hanya takut kalau kau akan meninggalkanku seperti Mora. Aku cemburu karena hal yang bodoh kepadamu." "Mo...Mora? Siapa dia?" Aku melepaskan pelukan pria itu, membuat Alexander terkesiap. Terkejut dengan ucapannya sendiri. "Apa aku mengatakan itu?" "Ya, kau jelas mengatakan nama itu." Aku mengerutkan kening, selama ini Alexander tidak pernah bercerita tentang apapun juga kepadaku, terutama soal wanita. "Alana, aku sengaja pulang cepat untuk menemuimu. Aku merindukanmu, sayang. Aku merasa bersalah karena sudah mengacuhkanmu. Apa kau memaafkanku?" Tukas Alexander sambil meremas lembut jemariku. "Tidak, akulah yang bersalah. Aku seharusnya tidak melakukan itu. Aku yg harus minta maaf." Alexander menangkup wajahku dengan kedua tangannya, mencium bibirku berulangkali. "Tunggu, Alex," Aku menjauhkan sedikit tubuh Alexander, mendorong lembut dadanya yang kekar, "ada apa denganmu, Alex? Kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk bernapas. "Aku terlalu merindukanmu, Alana. Aku bahkan tidak mampu menahan hasrat di dalam tubuhku sendiri." Alexander menutup pintu, dan menguncinya. Pria itu menghampiriku yang masih berdiri di dekat jendela, tangannya meraih kait gorden, dan melepaskan gorden itu hingga menutupi seluruh permukaan jendela. Alexander melonggarkan dasinya, kemudian melepas dasi itu dan melemparkannya ke sofa panjang, dengan cekatan jemarinya melepas kancing kemeja itu satu per satu. Mataku membulat, menatap tubuh Alexander yang begitu kekar dan kuat. Aroma parfum yang lembut, seketika tercium olehku, ketika ia hanya satu centimeter di hadapanku. Sekarang. Pria itu, suamiku. Melingkarkan tangannya di pinggangku, dengan perlahan ia mencium bibirku, dan aku-pun mulai terhanyut di dalam permainannya. Alexander merebahkan tubuhku di sofa panjang, aku bahkan tidak tahu, ke mana ia melempar semua pakaianku. Di hari yang masih sore ini. ............ Pria itu berguling ke samping, peluh membasahi seluruh tubuhnya, setelah hampir satu jam, akhirnya Alexander berhenti. Aku berdiri dan mengenakan handuk, melingkarkan kain itu di tubuhku yang basah. Ketika aku hendak menuju kamar mandi, tangan Alexander meraih tanganku. Pria itu menatapku dengan sedih. Aku-pun terpaksa mengurungkan niat, dan duduk di sisi suamiku, membelai wajahnya yang lelah. "Kau ingin minum?" Tanyaku sambil mengecup keningnya. "Air dingin saja." Ucapnya seraya melepaskan tanganku. Alexander beringsut dari sofa, mengambil t-shirt dan segera memakainya. "Tapi tadi kau belum menjawab pertanyaanku." Aku menyodorkan air kepadanya. "Pertanyaan apa?" Katanya sambil meneguk air itu hingga habis. "Nama wanita yang tadi kau sebut." "Yah, maaf aku tidak pernah bercerita tentang dia. Aku sangat ingin melupakan wanita itu. Tapi entah mengapa namanya muncul begitu saja ketika rasa itu datang." "Apa maksudmu? Rasa seperti apa?" Terdengar nada kesal di dalam suaraku. Namun aku berusaha menahannya. "Dulu dia calon istriku, Alana." Aku terperangah, memandang Alexander yang juga melihatku dengan prihatin. "Lebih tepatnya dia tunanganku. Tapi dia memilih pergi karena orang lain. Saat itu aku masih muda, dan semenjak peristiwa itu, aku memilih hidup dengan pekerjaan, sampai akhirnya aku bertemu denganmu. Saat melihatmu pertama kali, aku yakin bahwa kau adalah takdirku. Aku mulai bangkit dan ingin menata hidupku bersamamu. Hanya saja, aku takut jika peristiwa bersama Mora akan terulang kembali. Itu saja, Alana." "Aku....aku..." "Aku tahu, kau berbeda, Alana. Kau tidak akan menyakiti hatiku, bukan? Entahlah, mungkin hanya kecemasanku saja. Temp adalah orang yang sangat kupercayai, bagaimana mungkin aku cemburu padanya?" Alexander mengacak rambutnya sendiri, membuang udara kasar dari mulutnya. ............ Malam ini terasa panjang, bagaimanapun aku berusaha, aku tidak dapat memungkiri perasaan itu. Di sini, aku mulai menyadari apa itu cinta yang sebenarnya. Pernikahanku dengan Alexander, semata karena aku ingin memperbaiki hidupku, sekalipun seiring berjalannya waktu, perasaan itu mulai tumbuh. Tapi, aku juga tidak bisa berdusta, jika di sisi lain, di ruang kosong hatiku, tersimpan rasa sejak pertama kali aku melihatnya. Mungkin itulah yang disebut cinta. Alexander beringsut, pria itu menyalakan lampu tidur, aku mengikuti siluetnya dari pantulan cahaya, kenapa dia terbangun di tengah malam seperti ini? Pria itu kemudian berjalan, menuju mini bar yang berada di sisi kanan kamar ini. Benar, kamar ini bahkan lebih luas dari rumah yang kusewa dulu. Alexander mengambil botol wine dan menuangnya sedikit ke dalam gelas kristal berkaki. Meneguknya dalam sekali teguk. Aku bangun dari tidurku, menatap Alexander yang terlihat gelisah. Pria itu bahkan terlihat sedang mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras. "Kau tidak bisa tidur?" Tanyaku ragu. Alexander menoleh, melihatku dengan nanar, "aku terjaga karena mimpi itu lagi. Maaf, aku membangunkanmu." "Mimpi itu lagi?" Aku menghampiri suamiku, memeluk tubuhnya dari belakang. Alexander mengusap tanganku lembut. "Sebenarnya apa yang terjadi, sampai mimpi buruk itu masih saja menghantuimu?" Alexander membuang napas, meneguk wine sekali lagi, "aku tidak pernah membunuhnya. Semua itu tidak pernah kulakukan." Aku tersentak, seketika melepaskan tanganku dari tubuhnya. Alexander berbalik menghadapku, matanya terlihat begitu sedih. "Siapa?" Tanyaku lagi. "Pria itu. Sungguh, aku tidak bersalah. Tapi dia terus saja mengusikku sampai ke dalam mimpi." Aku diam tak bergeming, hanya saja mataku tak mampu lepas dari tatapan Alexander, pria itu menyentuh bahuku, dengan tatapan tajam dia berkata, "kau harus mempercayaiku, Alana. Harus!!" ......... Aku mencium aroma s**u hangat di sisi meja, dan Alexander duduk di tepi tempat tidur sembari tersenyum menatapku. "Selamat pagi, sayang." Aku menggeliat, mengerjap sesaat. "Oh, apa kau tidak tidur semalam? Kau bangun sepagi ini?" "Aku tidur cukup nyenyak karenamu, dan aku memang tidak membutuhkan banyak waktu untuk tidur. Ini minumlah." "Kau akan berangkat pagi-pagi?" Tanyaku sembari meneguk s**u itu. "Tidak, aku akan berangkat setelah kita sarapan. Kau ingin makan apa? Aku akan meminta kepala pelayan menyediakan makanan untukmu juga." "Apa saja, aku bisa makan apa saja." "Kalau begitu, aku akan menunggu di meja makan. Kau mandi saja, jangan terburu-buru. Aku akan menunggumu." Alexander tersenyum, mengusap kepalaku lembut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN