Sejak hari itu, Ndalem Suryawinata terasa seperti sangkar yang mengerikan bagi Gendis. Setiap langkahnya hingga embusan napasnya, terasa diawasi.
Mata Karto, si abdi dalem senior bermata elang, kini bukan lagi sekadar bayangan yang melintas, melainkan kehadiran nyata yang tidak terhindarkan.
Gendis selalu melihat Karto di setiap sudut Ndalem, seperti di balik pilar-pilar kokoh, di ambang pintu, bahkan di pantulan cermin yang berukir rumit, dia selalu ada. Pria itu tidak lagi menyembunyikan pengawasannya. Tatapannya terlihat dingin, tajam, seolah Gendis adalah buruan yang siap dia cengkeram kapan saja.
Gendis berusaha sekuat tenaga untuk menjadi Abdi Dalem yang paling sempurna, mulai bangun lebih awal, tidur paling akhir, mengerjakan semua tugasnya dengan presisi yang tidak pernah dia miliki sebelumnya.
Gadis itu selalu menundukkan kepala, menghindari kontak mata dengan siapa pun, terutama dengan Bagas. Setiap kali aroma cendana yang khas yang selalu menjadi penanda kehadiran Bagas mendekat, Gendis akan segera memutar balik, lalu bersembunyi di dalam dapur, atau pura-pura sibuk di sudut terjauh.
Jantungnya berdebar sangat kencang setiap kali dia merasakan kehadiran Bagas, bukan lagi karena gejolak cinta yang membingungkan, tetapi karena ketakutan yang mencekik, karena satu kesalahan kecil saja bisa menghancurkan dirinya, ibunya, bahkan Bagas sendiri.
Malam itu, Ndalem sudah larut dan sunyi, hanya suara jangkrik yang memecah keheningan. Gendis yang seharusnya sudah tidur, diam-diam masih membersihkan sisa-sisa lilin di pendopo agung.
Gadis itu merasa lebih aman bergerak saat semua orang sudah terlelap, saat mata-mata Ndalem tertidur. Lilin-lilin pusaka itu memang membutuhkan perhatian khusus, agar tidak ada sedikitpun noda yang menempel di alas peraknya.
Gendis membungkuk, tangannya yang lincah, mulai membersihkan, Namun, pikirannya melayang jauh, dia merindukan kuasnya dan kebebasan untuk menciptakan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang pelan. Namun, pasti terdengar mendekat. Gendis tersentak kaget, tangannya nyaris menjatuhkan lilin. Dia menahan napas, berharap itu hanya salah satu Abdi Dalem yang sedang patroli malam. Namun, aroma cendana yang familiar segera menyergap indra penciumannya. Itu pasti Raden Mas Bagas.
"Gendis…." bisik Bagas, suaranya terdengar rendah, membelah keheningan.
Gendis membeku. Dia tidak berani menoleh, gestur tubuhnya hanya membungkuk lebih dalam, pura-pura fokus pada lilin di tangannya. "Nggih, Gusti?"
Bagas melangkah mendekat, bayangannya memanjang di lantai marmer, menelan sosok Gendis. "Aku tahu kamu menghindariku."
Gendis tetap menunduk. "Hamba hanya menjalankan tugas, Gusti. Lilin-lilin ini perlu dibersihkan."
"Jangan bohong, Gendis," ujar Bagas, kini berdiri tepat di belakangnya. Suaranya terdengar lelah, tetapi ada ketegasan yang tidak bisa dibantah. "Aku sudah mencari kesempatan ini selama berhari-hari. Aku tahu kalau Karto mengawasimu dan ibuku juga mengawasi kamu, tapi aku harus ngomong sama kamu."
Gendis menelan ludah. "Nggak ada yang perlu dibicarakan, Gusti. Kita... kita nggak boleh…"
"Nggak boleh?" Bagas mendengus, sebuah desahan kepedihan terdengar dari bibirnya. "Sejak kapan nggak boleh menjadi hukum yang lebih kuat daripada perasaan, Gendis? Sejak kapan nggak boleh menghapus semua yang kita rasakan?"
Gendis akhirnya menegakkan tubuh, berbalik, tetapi matanya masih menunduk. "Gusti, ini Ndalem. Kita nggak punya pilihan."
"Aku menolak itu, Gendis," sela Bagas cepat, suaranya kini lebih keras, penuh emosi yang terpendam. "Aku menolak menjadi boneka yang nggak punya pilihan dan takdir yang mereka paksakan padaku."
Laki-laki tampan itu melangkah lebih dekat, memaksa Gendis mengangkat pandangannya. "Kamu bilang kalau kamu ngerti perasaanku, Gendis. Kamu bilang kalau kamu juga tercekik. Lalu, kenapa sekarang kamu nyerah?"
Kedua bola mata Bagas memancarkan kekecewaan yang mendalam, dicampur dengan nyala api perlawanan. Gendis melihat kerentanan itu lagi, kerentanan seorang pria yang terperangkap dalam sangkar emas.
"Saya... saya nggak nyerah, Mas Bagas," bisik Gendis lirih, nama itu meluncur saja dari bibirnya tanpa sadar, terasa begitu alami. "Saya hanya... takut, karena ini terlalu berbahaya. Gusti Putri Endah... dia nggak akan segan-segan."
"Aku tahu itu." Bagas mengakui, tatapannya melembut. "Aku tahu semua risikonya, Gendis. Aku tahu kalau aku akan mempertaruhkan segalanya. Gelarku, nama baikku, bahkan hidupku, tapi... apa gunanya semua itu kalau aku nggak bisa menjadi diriku sendiri? Apa gunanya semua itu kalau aku nggak bisa hidup?"
Diraihnya tangan Gendis, jemarinya yang panjang menggenggam tangan gadis itu yang masih memegang kain pembersih. Gendis tidak berani menarik tangannya. Sentuhan itu memercikkan kehangatan yang familiar, kehangatan yang sudah lama dirindukannya.
"Aku tanya sama kamu, Gendis," lanjut Bagas, suaranya kini mendesak. "Apakah kamu mau hidup seperti ini selamanya? Menunduk, menyembunyikan jiwamu, hanya untuk bertahan hidup? Apa itu yang kamu inginkan?"
Gendis menatap mata Bagas. Air matanya mulai menggenang di ujung kelopak mata, bersiap hendak keluar. "Nggak, Gusti. Tentu saja nggak, tapi... apa yang bisa kita lakukan, Mas? Kita hanya dua orang kecil di hadapan Ndalem yang begitu besar."
"Kita bukan dua orang kecil, Gendis," bantah Bagas, suaranya penuh tekad. "Kita adalah dua jiwa yang menolak untuk tercekik dan itu... itu jauh lebih kuat daripada tradisi buta mana pun."
Diremasnya tangan Gendis. "Aku nggak bisa menikahi Lintang. Aku nggak bisa hidup dengan kebohongan itu. Aku nggak bisa hidup tanpa merasa... hidup dan kamu... kamu yang membuatku merasa hidup."
Gendis merasakan pipinya memanas. Pengakuan Bagas yang begitu telanjang dan berani, menghantam jiwanya, karena dari lubuk hatinya yang paling dalam dia juga merasakan hal yang sama. Gadis itu merindukan Bagas, merindukan saat-saat mereka ngobrol, saat dia bisa menjadi Gendis, bukan Abdi Dalem.
"Aku tahu ini gila," ujar Bagas, seolah bisa membaca pikiran gadis itu. "Tapi aku sudah memutuskan, aku akan melawan semua ini. Aku akan mencari jalan keluar dari kutukan ini, dari kasta ini. Aku akan menemukan cara agar kita bisa... bisa bersama dan hidup bebas."
Bagas lalu menatap Gendis, matanya memohon. "Maukah kamu percaya padaku, Gendis dan berjuang bareng aku?"
Gendis hanya bisa terdiam, menimbang kata-kata Bagas. Berjuang? Melawan Ndalem? Melawan Gusti Endah Suryawinata? Itu adalah bunuh diri, tetapi di sisi lain, dia melihat harapan di mata Bagas, harapan untuk kebebasan yang sama-sama mereka dambakan.
Gendis melihat seorang pria yang bersedia mempertaruhkan segalanya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk dia yang hanya seorang abdi dalem.
"Aku... aku nggak tahu bagaimana, Mas Bagas," bisik Gendis, suaranya terdengar parau. "Ini sangat... menakutkan."
"Aku akan mencarinya, Gendis." Bagas bersumpah, nada suaranya tampak penuh keyakinan. "Aku akan membaca semua buku di perpustakaan, aku akan mencari semua petunjuk, semua legenda. Kita akan menemukan cara untuk mematahkan kutukan ini bersama-sama."
Diangkatnya tangan gadis itu dan membiarkan jemarinya mengusap punggung tangan sang abdi dalem dengan lembut. "Aku nggak akan membiarkan kita berdua kehilangan diri kita lagi."
Sebuah keheningan panjang menggantung di antara mereka. Gendis menatap ke arah Bagas, laki-laki ini bukan lagi seorang Gusti yang tinggi dan tidak terjangkau, melainkan seorang pria yang putus asa, yang mencarinya dan percaya padanya. Dalam tatapan itu, ketakutan Gendis sedikit mengendur, digantikan oleh tekad yang baru.
"Aku... aku akan mencobanya, Mas Bagas." Gendis akhirnya buka suara, suaranya terdengar lebih mantap. "Aku akan ada di sisimu, tapi... kita harus sangat hati-hati."
Bagas tersenyum, senyum yang begitu tulus dan melegakan. "Terima kasih, Gendis. Terima kasih." Dia lalu melepaskan tangan Gendis dan merogoh saku kemejanya, dikeluarkan sesuatu yang kecil, berkilauan, dan dilletakkannya di telapak tangan gadis itu.
Benda itu adalah sebuah liontin perak kecil, polos, tanpa ukiran yang rumit khas Ndalem Suryawinata. Bentuknya menyerupai siluet seekor burung yang sedang mengepakkan sayap, seolah siap terbang bebas dari sangkar.
"Ini," bisik Bagas lirih. "Sebagai pengingat kalau kita akan terbang bebas."
Gendis menatap liontin itu, lalu ke arah Bagas, hatinya sedikit berdesir. Dikatupkan tangannya segera, menyembunyikan liontin itu di balik kain pembersih. Lalu, dia teringat sesuatu, dengan tangan gemetar, dirogohnya saku kecil di balik lipatan kain batik, dikeluarkan sebuah benda kecil yang selama ini dia simpan rapat-rapat sebagai kenang-kenangan dari dirinya yang dulu.
"Dan ini," bisik Gendis sambil menyerahkan benda itu ke Bagas. "Untukmu."
Bagas membuka telapak tangannya, di sana, tergeletak sebuah kuas kecil yang ujungnya runcing dan halus, terbuat dari bulu tupai, kuas yang biasa Gendis gunakan untuk detail riasan yang paling rumit. Kuas Itu adalah salah satu kuas kesayangannya yang selalu dia bawa bahkan saat menjadi Abdi Dalem.
"Ini..." Bagas menatap kuas itu, lalu ke mata Gendis. Matanya memancarkan pemahaman yang dalam. "Ini... jiwamu."
Gendis mengangguk. "Itu... janji dariku, kalau aku nggak akan pernah kehilangan diriku lagi dan aku... aku akan merias takdir kita sendiri."
Bagas mengatupkan jemarinya, menggenggam erat kuas kecil itu. Sebuah janji rahasia telah terukir di antara mereka, di tengah Ndalem Suryawinata yang sunyi, di bawah tatapan mata-mata yang tidak terlihat. Sebuah janji yang lebih kuat dari kasta, lebih berani dari tradisi.