Aku bersiap untuk makan malam bersama Mama. Sejak kemarin pagi Mama memang sudah berpesan kepadaku untuk menghabiskan waktu makan malam ini bersamanya. Bila Mama sudah bilang begitu, maka tidak ada pilihan untuk menolak. Aku tau dia sangat sulit meluangkan waktu di tengah kesibukannya di perusahaan. Mengelola perusahaan produk makanan sekaligus mengelola banyak restoran bukanlah perkara mudah. Aku tau Mama sudah mengeluarkan banyak usaha hanya untuk meluangkan waktu satu malam agar bisa makan bersamaku.
"Hai, Ma."
"Hai, Sayang. Ayo makan. Menu kali ini kayaknya enak banget. Bibi nyiapin masakan seafood dan lobster buat kita malam ini."
Aku segera duduk di kursi yang ada di sebelah Mama. Kemudian menaruh nasi ke atas piringku, lalu menatap hidangan yang sudah tersaji di atas meja. Aku mengambil beberapa udang balado, cumi saus padang, dan potongan daging lobster. "Kayaknya enak nih," ucapku.
"Enak! Lobsternya yang paling mantap!"
Aku mengangguk setuju.
"Kemarin dianterin siapa?"
Seketika aku terdiam, lalu membalas tatapan Mamaku. "Kemarin?" tanyaku balik, pura-pura lupa.
"Iya. Kemarin dianterin pulang sama siapa? Mama liat loh dari jendela kamar."
Aku meneguk air putih, berusaha menghilangkan kegugupan hatiku. Pertanyaan Mamaku itu terasa mendadak, hingga aku kebingungan harus melontarkan jawaban apa. "Sama temen kok, Ma," jawabku, singkat.
"Ya iyalah sama temen. Masa sama musuh. Dia siapa?"
Aku melihat sorot mata penuh selidik dari tatapan Mama padaku. Dia seperti sedang menyelidiki hubunganku. "Dennis, Ma. Temen sekolah kok."
"Oh, Dennis. Temen deket?"
"Apaan sih, Ma?!" Aku menatap kesal ke arah Mama. Sebenarnya aku tidak benar-benar kesal. Aku hanya risih. Aku tak terbiasa membuka kehidupan asmaraku pada Mama. Bukan karena tidak percaya, tapi Mama pasti akan terus-terusan meledek dan menggodaku.
"Yah Mama kan cuma nanya. Jangan marah dong. Ajak makan malem bareng gih. Biar Mama bisa kenalan juga."
"Mau ngapain sih, Ma?"
"Lho, gak papa. Emang salah ya ngajakin temen kamu buat main ke sini? Kan katanya temen."
Aku menghela nafas kesal. "Iya. Temen. Nanti ya, Ma. Kalo waktunya pas," jawabku asal. Aku tak akan mungkin mengajak Dennis ke rumah. Mama pasti akan sangat tertarik dengannya, lalu menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Karena aku memang tak pernah membawa teman laki-laki ke rumah.
"Bener ya. Mama pengen kenalan."
"Hmmm..." jawabku sambil mengunyah kembali makanan.
"Kamu tuh harus udah punya pacar, sayang. Udah waktunya buat cinta-cintaan. Jangan sekolah mulu."
"Mama nih ada-ada aja deh. Masa nyuruh aku jangan sekolah mulu."
"Yah maksudnya... punya pacar dong sayang. Udah waktunya."
"Pacaran kan harus berdua, Ma. Gak bisa sendirian."
"Yah memang. Kalo sendirian bukan pacaran namanya, tapi ngehalu."
"Nah... belum ada yang mau pacaran sama aku. Lebih tepatnya, belum ada yang ngajakin pacaran, Ma."
"Yaudah. Kamu aja yang ajakin pacaran."
Aku mendengus kesal. Mama berbicara dengan ringan, tanpa beban. Seolah itu hal yang sangat mudah untuk dilakukan. "Oke, aku ajakin. Emang tuh orang bakalan langsung mau jadi pacar aku apa."
"Yah kamu buat supaya dia mau lah."
"Gak segampang itu, Ma!"
"Kenapa?"
Aku menghela nafas, meletakan sendok dan garpuku, lalu menatap ke arah Mama. "Menurut Mama... dengan aku kayak begini. Bentukan begini. Gampang bikin orang mau jadi pacar aku?"
"Emang kamu kenapa?! Gak ada yang salah sama kamu kok."
"Mama gak liat badan aku? Selebar dan seberlemak apa tubuh aku? Wajah dan ukuran tubuhku gak masuk standar kecantikan cowok pada umumnya, Ma!"
Suasana seketika menjadi hening. Aku melihat Mama mulai menatapku dengan raut serius. Matanya begitu tajam hingga membuat bulu kuduk merinding. Aku tak pernah melihatnya seserius itu.
"Bonita. Kamu itu cantik. Setiap wanita itu punya versi kecantikannya tersendiri. Gak perlu perhatiin standar kecantikan yang kamu sebut itu! Kamu cukup temukan satu pria yang mampu melihat kecantikan kamu."
"Enggak, Ma. Gak ada yang bilang aku cantik. Cuma Mama doang yang ngomong kayak gitu."
"Kamu belum nemu aja. Bukannya gak ada."
"Mama ngomong kayak gitu... karena aku anak Mama. Coba kalo orang lain... mereka akan kasih penilaian yang beda."
"Sayang... Mama sedih kalo kamu nilai diri kamu kayak gitu. Kamu itu berharga. Kamu gak sejelek itu. Kalo kamu mandang diri kamu begitu... maka orang akan mandang begitu juga."
"Nyatanya memang begitu, Ma."
"Bonita..."
"Aku udah selesai makan. Aku ijin balik ke kamar ya, Ma. Aku mau ngerjain tugas."
Aku bangkit berdiri, meninggalkan ruang makan tanpa menunggu jawaban dari Mama. Terus melangkah meski Mama memanggilku beberapa kali.
Iya. Aku sedih. Kesal.
Mama tak akan memahami rasanya jadi aku. Mama tak akan tau setiap apa yang aku rasa. Tak akan paham setiap kalimat yang aku ucapkan. Dia, Mamaku, tak akan mungkin menjelekan anaknya. Tak ada seorang Ibu yang bilang anaknya buruk rupa. Tak akan tega melontarkan kejujuran, apalagi bila faktanya akan menyakiti anaknya.
Aku masuk kamar. Berbaring di ranjang. Menutup wajahku di dalam selimut. Aku menangis tanpa mengeluarkan suara. Aku sedih harus mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya pada Mama. Aku tau perkataan itu pasti melukai hati Mama. Namun aku sadar keadaanku. Siapa diriku.
Aku juga ingin punya pacar dan memenuhi ekspektasinya. Namun itu tak semudah seperti yang Mama ucapkan. Laki-laki pada umumnya melihat fisik untuk memiliki ketertarikan. Setelah itu baru mengenal kepribadian dan hati. Namun bila tubuh dan rupaku saja tak menarik, bagaimana laki-laki ingin mendekat dan mengenalku lebih dalam, apalagi mengajak untuk berpacaran.
Pada akhirnya, aku memilih tak berharap banyak. Aku tak ingin terluka karna ekspektasi yang aku buat sendiri.
***
Aku tak memiliki rencana spesial hari ini. Aku hanya ingin melewati hari Minggu ini dengan santai. Berbaring di kasur, membaca buku, sambil mendengarkan musik. Aku ingin menghabiskan waktu dengan bersantai. Karena aku tau, ujian akhir akan tiba. Aku tak akan memiliki banyak waktu senggang lagi.
Tok... tok... tok...
"Siapa?" teriakku ketika mendengar suara ketukan pintu.
"Ini Bibi, Non. Temennya datang. Namanya Renata."
Aku bangkit berdiri, membuka pintu, dan menemukan Bibi Surti. "Suruh masuk aja, Bi. Gak papa. Makasih ya, Bi."
"Baik, Non."
Aku kembali menutup pintu kamar. Renata sudah terbiasa datang ke rumahku. Walau pintu aku tutup, tapi dia pasti dengan santainya akan membuka dan masuk seolah ini kamarnya. Aku kembali berbaring di ranjang dan mulai membaca lagi buku yang tadi sedang dibaca.
"Woy Bon! Tidur aja kerja lo!" teriak Renata.
Seperti dugaanku, Renata langsung masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu. Dia langsung duduk di atas ranjang, tepat di sebelahku. "Abis dari mana? Kok lo gak ngabarin gue?"
"Abis jalan bareng Gilbert. Trus gue bosen sama dia. Jadi gak lama jalannya. Makanya Gue ke sini."
"Oh sama dia. Baru juga jalan sekali langsung bosen lo. Jangan jahat-jahat, Ren."
"Yah abis mau gimana lagi. Gue emang gak tertarik sama dia ternyata. Daripada dipaksa... kan kasian buat dianya juga. Ntar gue dibilang PHP pula."
"Yaudah terserah lo."
Aku kembali membaca buku. Lebih baik fokus membaca daripada harus mendengarkan cerita cinta Renata yang alurnya selalu berganti pemeran pria. Aku membiarkan Renata duduk di atas ranjang, tepat di sebelahku. Sahabatku itu tampak sedang asik memainkan ponselnya. Renata memang akan tenang bila sedang sibuk dengan ponselnya. Aku bisa menebak dia saat ini pasti sedang bermain media sosial atau membalas pesan dari para pengagumnya.
"Aduh baterai gue habis! Gue belum bales DM-nya si Doni. Gue pinjem HP lo dong buat buka i********:!"
Renata langsung mengambil ponselku yang tergeletak tepat di sebelahku. Namun tiba-tiba aku teringat suatu hal. Lock screen HP-ku saat ini sedang memakai fotoku bersama Dennis! Renata tidak boleh melihatnya.
Aku langsung merampas HP-ku dari tangan Renata. Kemudian mendekapnya dengan erat agar sahabatku itu tak mengambilnya. Aku berharap dia tak sempat melihat gambar itu. Namun ada keraguan dan ketakutan di dalam hatiku. Karena ada kemungkinan Renata melihat foto itu walau hanya satu atau dua detik.
Renata tentu menatapku dengan curiga. Sikapku tadi memang benar-benar tak biasa. Sangat jelas menunjukan kepanikan. Aku tadi memang tak bisa mengontrol diriku. Aku takut. Benar-benar takut.
"Lo kenapa?" tanya Renata, heran.
"Hah? Ehm... gue... lupa bales chat Nyokap gue! Itu ada rahasia keluarga, Ren. Kita lagi bahas masalah keluarga yang privasi banget. Maaf ya, tadi panik dan langsung ambil HP gue."
Aku berharap Renata percaya dengan kebohongan yang baru saja aku lontarkan. Aku sangat cemas menunggu responnya. Renata masih diam dengan kening berkerut. Aku tak bisa menebak apa isi kepala sahabatku itu.
"Oh gitu. Baiklah. Kalo gitu, gue cabut deh."
"Lho, kenapa?! Lo ngambek ya?"
"Apaan sih. Lebay lo! Gue mau charge HP gue sekalian mandi. Lo kan gak punya charge-an jenis HP gue."
Aku menghela nafas lega. "Baiklah. Hati-hati di jalan."
"Lo bener-bener aneh. Tumben-tumbenan bilang hati-hati. Yaudah. Gue cabut ya."
Aku hanya tertawa dan menatap Renata hingga keluar dari kamar. Setelah Renata menutup pintu, aku langsung menghela nafas lega. Renata tampaknya percaya dengan alasan yang aku buat. Bila tidak, dia pasti akan mengutarakan kecurigaannya itu.
Aku menatap layar ponselku. Aku begitu menyukai foto ini. Gambar yang menampilkan kedekatan antaraku dan Dennis. Setiap kali melihatnya, aku pasti akan tersenyum bahagia. Namun aku tak bisa mempertahankannya menjadi gambar lock screen lagi. Bila aku mempertahankannya, maka cepat atau lambat Renata pasti akan tau.
Dengan berat hati, aku akhirnya mengganti gambar itu dengan gambar pantai.
CONTINUED
****************
Hai guys! ^^
Terima kasih sudah menunggu cerita ini update! :)
Terima kasih untuk vote dan komennya :) Aku jadi semangat buat nulis.
Kalian jaga kesehatan ya. Akhir-akhir ini banyak banget berita duka karna pandemi. :(
Kalian selalu pakai masker ya. Makan yang bergizi dan tidur yang cukup. Jaga daya imun.
Semoga aku dan kalian bisa terus sehat-sehat :)
Sampai jumpa di bab berikutnya! ^^
Salam,
Penulis amatir yang sedang mengantuk.
Selamat beristirahat semuanya!