17. Sesak

1277 Kata
Aku mencoba untuk tampak kuat, meskipun sulit. Rasanya aku ingin absen saja hari ini. Tatapan setiap orang selalu terasa mencurigakan bagiku. Pikiranku dipenuhi hal-hal buruk. Hatiku terus merasa cemas dan gelisah. Aku selalu tak nyaman setiap kali melihat mereka saling berbisik sambil sesekali menatap ke arahku. Secara refleks aku langsung berprasangka mereka sedang membicarakanku. Namun aku harus tetap tegak, seperti apa yang Dennis telah bilang kemarin. Aku tak ingin menampilkan wajah sedihku pada mereka, terutama ke Marco. Laki-laki itu akan tersenyum puas bila melihatku terpuruk dan murung. Aku tak mengerti kenapa dia begitu senang melihatku dalam keadaan sulit. Aku pikir mungkin penyebabnya karena aku pernah menolak permintaannya untuk membantu mendekati Renata. Seingatku hanya itu yang membuat Marco sangat kesal padaku. Namun aku tak menyangka bila hal itu membuatnya begitu dendam padaku. Walaupun begitu, bila waktu berulang, aku tetap tak ingin membantunya. Aku tak mau Renata dekat dengan laki-laki menyebalkan seperti dia. Aku sama sekali tak menyesal. Aku berpura-pura asik menonton video di ponsel sambil menunggu bel tanda jam istirahat telah usai berbunyi. Mataku menatap layar ponsel, padahal pikiranku melayang kemana-mana. Semoga aktingku tidak terlalu buruk, sehingga mereka percaya kalau aku sungguh baik-baik saja. "Woy, Bon!" Aku kaget mendengar teriakan tiba-tiba itu. Namun aku mengenal pemilik suara itu. Siapa lagi perempuan yang dengan santainya duduk di depanku dan berteriak memanggilku dengan penuh percaya diri. Tentu saja itu Renata. "Lo gak usah pake teriak bisa gak sih, Ren?!" protesku. "Emang kenapa?" "Yah gak enak aja kalo berisik di kelas." "Yaelah santai aja. Gue denger-denger ada kejadian luar biasa kemarin? Kok lo gak cerita?" Renata menatap kesal ke arahku. Namun aku justru menarik lengan Renata agar mendekat ke arahku. "Ren... bisa gak ngomongnya tuh gak usah kenceng-kenceng? Gue gak mau semua orang ngeliatin kita," bisikku. "Upps... sorry, Bon." Aku menghela nafas lega ketika Renata akhirnya mengerti ucapanku. Pertanyaan Renata itu adalah hal yang paling membuat banyak orang penasaran. Akan ada banyak telinga yang menguping pembicaraanku dengan Renata. "Jadi kemarin kenapa? Bener si Marco gangguin lo?" Renata bertanya lagi. Kali ini nada bicaranya pelan. Aku mengangguk. "Kayaknya dia kesel deh sama gue. Gara-gara dulu gue sempet nolak permintaan dia buat bantu deket sama lo. Makanya kemarin dia gangguin gue. Mungkin bales dendam." Renata terkejut. "Dia mau deketin gue? Dih, gak ngaca. Walau lo bantuin dia... gue juga gak bakalan mau! Cih!" "Gue juga gak akan pernah mau, Ren. Yah walau lo kadang-kadang suka permainin hati cowok, cuma kan lo sahabat gue. Gak mungkin rela lah lo sama cowok modelan kayak Marco." "Enak aja gue permainin cowok! Gue itu cuma tegas. Kalo suka ya lanjut. Kalo enggak, ya gue gantilah. Ngapain gue berkutat sama cowok yang gue gak sreg. Nah masalahnya nyari yang cocok buat dijadiin pacar tuh gak gampang!" gerutu Renata. "Iya... iya... makanya terkesan lo gonta-ganti cowok, kan?" balasku sambil geleg-geleng kepala. "Nah bener! Makanya lo bantuin gue cari cowok yang baik dong! Dan harus ganteng! Abis itu tajir!" Bonita menatap heran ke arah sahabatnya itu. "Lo gak salah minta bantuan sama gue? Gue aja belum punya pacar." "Kalo Dennis gimana? Lo deket sama dia? Banyak yang bilang kalian pacaran? Kalo bener... parah sih lo gak cerita-cerita sama gue." Aku terdiam. Aku masih tak ingin Renata tau tentang Dennis. Namun rasanya memang sulit untuk mengelak lagi dengan situasiku sekarang. Satu sekolah mempertanyakan hubunganku dengan Dennis karena kejadian kemarin. Aku dan Dennis tak pernah menunjukan hubungan pertemanan kami di sekolah. Semua interaksi kami terjadi tidak di depan orang banyak. Karena itu wajar saja banyak orang yang terkejut ketika mengetahui Dennis membelaku, termasuk Renata. Sangat sulit untuk mencari alasan yang masuk akal untuk menyangkal bila aku memang dekat dengan Dennis sebagai teman. "Enggak kok. Dia bukan pacar gue. Kita cuma teman," ungkapku. "Teman? Sejak kapan?" tanya Renata lagi. Kali ini dengan raut wajah penuh kebingungan. "Yah baru-baru ini lah," jawabku singkat. "Lo suka dia?" Pertanyaan Renata itu membuatku begitu terkejut. Seketika aku terdiam dengan mata terbelalak. Pertanyaan itu sangat ku hindari selama ini. Namun bila aku terlalu lama membisu, Renata pasti akan curiga. Aku mencoba menutupi kegugupanku. "Enggaklah. Dia cuma teman kok," sangkalku. Renata tersenyum senang setelah mendengar jawabanku. Dia lalu memegang tanganku dan menatapku dengan raut wajah begitu antusias. "Kalo gitu... lo bantuin gue deket sama dia dong! Dennis kayaknya cowok yang gue cari selama ini! Dia ganteng... tajir... dan baik pula! Buktinya dia mau belain lo di depan orang banyak. Gue suka dia! Bantuin gue dong, Bon." Ucapan Renata barusan jauh lebih mengejutkan daripada perkataan yang sebelumnya. Kali ini terasa begitu menusuk hatiku. Rasanya begitu sakit ketika pengakuan dan permintaan tolong Renata itu. Bagaimana mungkin aku mampu mendekatkan orang yang sangat aku sukai ke sahabatku sendiri?  "Lo gak mau bantuin gue ya? Kok diem aja sih?!" Renata memicingkan mata ke arahku. "Emang lo butuh bantuan ya? Seorang Renata butuh bantuan buat bisa deket sama cowok? Gue pikir lo bisa jalan sendiri, Ren." Aku berusaha menghindarinya. Bila Renata memang harus dekat dengan Dennis, setidaknya itu bukan melalui aku. Aku tak akan mungkin sanggup melakukannya. "Gue gak kenal dia. Gue juga liat Dennis juga bukan tipe orang yang mudah open sama orang, apalagi cewek. Makanya gue minta tolong sama lo buat ngebantu bisa deket sama dia. Dia tipe gue banget setelah dipikir-pikir! Anak baik, gak player, dan tajir." Aku tak bisa menyanggah pujian Renata itu. Aku pun juga menganggap Dennis anak yang baik. Namun rasanya sangat berat untuk menyetujui permintaan sahabatku itu. Aku sangat menyukai Dennis. Perasaan itu membuatku merasa sulit untuk merelakannya pada sahabatku. Di sisi lain bila aku menolak maka pasti akan terasa sangat aneh. Renata pasti akan curiga. Aku juga masih berat untuk mengakui perasaanku, sekalipun pada Renata. Aku seperti diperhadapkan dalam pilihan yang sulit.  "Bon..." "Ehm... ya?" "Jadi gimana? Lo mau bantuin gue gak?" Aku menghela nafas. "Baiklah. Gue coba ya." "Yes! Makasih Bonitaku sayaaannggg!" seru Renata. Aku berusaha menyunggingkan senyumku, meski dengan terpaksa. Di posisiku ini sangat sulit untuk menampilkan raut wajah tulus. Hatiku sakit. Rasanya sesak, sulit untuk bernafas. Aku rasanya ingin segera pergi dari situasi ini. KRIIINGGGG! Aku menghela nafas lega ketika bel tanda usainya waktu istirahat telah berbunyi. Itu tandanya Renata harus kembali ke kelas dan menghilang dari pandanganku. "Bon, gue balik ke kelas gue dulu ya! Gue tunggu tanggal mainnya dari lo. Kabari gue secepatnya!" ucap Renata. Aku hanya tersenyum datar. Kemudian membalas lambaian tangan Renata dan menatapnya hingga benar-benar keluar dari ruangan kelasku. Setelah dia menghilang, aku tertunduk sedih. Berusaha menahan air mataku untuk tidak jatuh. Aku tidak ingin menangis di kelas. Namun rasanya sulit untuk menahan rasa sedih dan sakit yang begitu menghujam hatiku. Hari ini terasa seperti malapetaka bagiku. Aku harus menghadapi bisikan rumor karena insiden kemarin. Aku harus memasang wajah tegar di tengah berbagai sorot tatapan mata yang mengarah ke arahku. Berpura-pura tak mendengar di tengah kebisingan yang sedang membicarakanku. Sekarang ditambah dengan pengakuan ketertarikan Renata terhadap Dennis. Pengakuan yang cukup memukul hatiku hingga terasa sakit. Bahkan semua tragedi itu seakan belum cukup untuk menyiksaku. Permintaan tolong Renata yang ingin meminta bantuanku untuk bisa dekat dengan Dennis, kini semakin menambah siksaan bagiku. Dennis, laki-laki yang begitu aku sukai, kini harus direlakan untuk sahabatku. Bagaimana bisa? CONTINUED ******************* Hai guys! ^^ Gimana hari kalian? Masih baik-baik aja gak di tengah masa PPKM yang gak kelar-kelar ini :D Bertahan ya. Semoga upaya kita jadi tahanan kota ini bisa ngejaga kesehatan diri kita, keluarga, dan orang-orang yang kita kasihi. :") Oh ya, gimana bab ini? Kalian pernah di posisi Bonita gak? Ada temen yang juga suka sama cowok yang lagi kita suka :) Terus kalian lebih pilih mana? Temen itu atau cowok itu? Hayoooo... Sampai jumpa di bab berikutnya ya! ^^ Salam, Penulis amatir yang sedang berusaha terus menikmati hidup :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN