18. Sebuah Keterpaksaan

1228 Kata
Aku berjalan menuju rooftop, tempat dimana biasanya aku bisa menemukan Dennis di jam istirahat. Laki-laki itu lebih sering ditemukan di sana dibandingkan di kantin. Dia memang lebih suka menyendiri, sama sepertiku. Makan dalam suasana tenang, tanpa keramaian dan kebisingan percakapan orang-orang. Seperti dugaanku, laki-laki itu memang sedang asik makan di sana. Dia dengan lahap menghabiskan nasi ayam sambil duduk lesehan. Aku menyapanya dengan senyuman dan langsung duduk di sampingnya. Kemudian membuka kotak bekal yang ada ditanganku dan ikut makan bersamanya. "Gimana si Marco? Masih gangguin lo?" tanya Dennis sambil mengunyah. "Ehm... belum sih. Mungkin dia takut sama lo juga." "Ya iyalah. Mana berani dia sama gue. Bisa habis tuh orang. Kalo dia ngegangguin lo bilang aja ke gue." "Udah, Den. Jangan berantem mulu. Ini sekolah, bukan ring tinju." Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah Dennis. Laki-laki itu lebih emosi dibandingkan diriku bila membahas tentang Marco. Padahal yang diganggu itu aku, bukan dia. Aku hanya khawatir emosi itu akan membuat Dennis bertindak melewati batas. "Orang kayak Marco emang pantes ditinju sebenernya." Aku menyikut pelan lengan Marco dengan raut wajah tak setuju. "Gue gak mau lo punya masalah di sekolah gara-gara gue. Gak usah gila deh!" "Baiklah. Lo gak perlu marahin gue juga kali, Bon. Galak amat sih. Awas tanduknya keluar," ledek Dennis. "Udah mendingan lo makan, daripada ngomong yang aneh-aneh." Bonita kembali geleng-geleng kepala. Dennis kembali melanjutkan menghabiskan sisa makanannya, begitu juga denganku. Selama beberapa saat kami fokus dengan makanan masing-masing. Tak ada percakapan. Hanya ada suara mengunyah yang terdengar. Aku menutup kotak bekal makanan ketika semua isinya telah selesai dihabiskan. Dennis juga telah tampak memasukan sterofoam makanannya ke dalam plastik. Kemudian aku menatap laki-laki yang ada di sebelahku itu. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi masih ragu dan juga berat. Namun sekarang aku merasa ini adalah waktu yang tepat untuk membahas itu. "Den... lo tau Renata gak?" "Renata? Tau. Kenapa?" "Menurut lo dia gimana?" Sejujurnya sangat berat untuk mengucapkan kalimat tanya itu. Aku takut bila jawabannya ternyata berupa pujian. Telinga dan hatiku tak akan sanggup mendengarnya. "Yah gak gimana-gimana." "Maksudnya... menurut lo Renara orangnya gimana? Di mata lo dia orang yang seperti apa?" "Gue gak kenal dia. Mana gue tau dia kayak apa. Emang kenapa sih? Bukannya lo yang temenan sama dia ya? Harusnya kan lo tau. Ngapain nanya-nanya gue." "Yah gak papa. Nanya aja. Menurut lo dia cantik?" "Ehm... biasa aja sih." "Serius biasa aja? Semua kagum sama kecantikannya, termasuk gue. Banyak juga cowok yang suka dan ngejar-ngejar dia. Lo gak tertarik sama dia?" "Hah? Lo aneh deh." Dennis benar-benar tampak bingung dengan arah perbincangan ini. "Gue cuma pengen tau aja, Den. Pendapat lo gimana." "Yah buat apa?" tanya Dennis balik. "Soalnya Renata pengen kenalan dan deket sama lo. Makanya gue nanya itu." Aku gugup ketika tiba-tiba suasana menjadi hening. Dennis terdiam sambil menatapku dengan tajam. Laki-laki itu seakan sedang berusaha menerawang isi kepalaku dengan tatapan matanya. "Gue gak tertarik." Dennis tersenyum sinis. "Kenapa?" "Emang harus ada alasannya ya? Emang kalo gue gak mau kenapa?" "Yah gak harus ditolak juga kan, Den. Dia mau kenal lo lebih dekat. Temenan aja dulu." "Abis temenan, terus apa?" "Kalo itu terserah lo." "Lah kalo gitu sekarang terserah gue juga dong. Terserah gue mau apa enggak." "Kalo lo nolak... lo jahat. Sombong." Dennis mengerutkan keningnya. "Bukannya itu namanya pemaksaan? Masa gue harus jawab iya." "Bukannya kalo lo langsung nolak... gak kasih kesempatan buat orang lain... itu namanya jahat ya? Sombong! Renata kan gak punya niat buruk. Dia cuma mau kenal lo lebih dekat." Dennis menghela nafas berat setelah mendengar perkataanku itu. Dia sepertinya lelah beradu argumen denganku. "Baiklah. Lo maunya apa? Gimana caranya bisa kenalan sama tuh manusia?" Aku tersenyum datar. "Ehm... nanti kita jalan bertiga aja. Kalo kalian berdua doang, nanti bakalan canggung. Atau lo mau pergi berdua sama dia?" "Enggaklah! Ngapain gue berduaan doang. Lo harus ikut! Kalo gak... ya gue gak mau lah." "Baiklah." "Emang mau kemana sih?" "Paling kita jalan ke mall aja. Nanti gue kabarin lo kaoan waktu pastinya. Gue juga belum bilang Renata." "Oh... oke." "Gue balik ke kelas dulu ya." "Tumben... biasanya lo ngobrol dulu sama gue. Masih ada dua puluh menit ini." Dennis menunjukan jam tangannya ke arahku. "Gue baru inget. Ada tugas yang belum kelar dikerjain. Gue mau nyelesaiin itu dulu. Gue cabut duluan ya." Aku menepuk bahu Dennis sambil tersenyum. Kemudian bangkit berdiri, lalu berjalan pergi meninggalkannya sendirian. Sebenarnya aku hanya ingin bersembunyi sebentar. Aku tak sanggup lagi memasang topeng wajah baik-baik saja di depannya. Hatiku terasa sakit. Sangat sakit hingga hampir tak sanggup lagi menahan air mata ini untuk tidak keluar. Hal-hal yang aku ucapkan tadi bukan dari kesungguhanku. Kata-kata itu sebenarnya tak rela aku lontarkan dari mulutku. Namun posisiku memang dilema. Aku tak bisa menolak permintaan Renata. Karena itu aku merencanakan pertemuan mereka secara terpaksa. Akan tetapi rasa sakit ini benar-benar terasa nyata. Perasaan luka ini membuatku tersadar bahwa aku benar-benar menyukai Dennis.  *** Aku langsung berjalan menuju kelas Renata ketika bel tanda pulang sekolah telah berbunyi. Sebenarnya aku sangat jarang menghampiri kelas sahabatku itu. Renata cukup populer karena kecantikannya. Aku merasa orang-orang akan merasa heran ketika melihatku dengan berani menghampirinya ke kelas. Mungkin itu hanya persepsi atau pikiran buruk diriku saja. Mungkin juga aku yang memang kurang percaya diri bila bersebelahan dengan Renata. Ketika telah tiba di depan kelasnya, mataku langsung menjelajah ke seluruh sisi ruangan itu. Aku langsung melambaikan tangan setelah menemukan Renata. Dia tampak sedang membereskan buku-buku pelajarannya dan memasukan ke dalam tas. Renata membalas lambaikan tanganku dan langsung menghampiriku sambil membawa tasnya. "Tumben lo nyamperin gue," ucap Renata. "Emang gak boleh?" "Apaan sih, Bon. Ya bolehlah! Lo mau ajak gue main ya?" Aku menggelengkan kepala. "Enggak. Gue mau kasih tau lo sesuatu. Cuma jangan di sini." "Oh oke. Kita sambil jalan aja." Aku menggangguk setuju. Kami mulai berjalan secara berdampingan menuju gerbang sekolah. "Gue udah ngomong sama Dennis." Renata langsung menatapku. Sorot matanya menunjukan antusias setelah mendengar ucapanku itu. Dia mulai penasaran dengan kelanjutan ceritaku. "Terus?!" "Ehm... dia bilang mau. Nanti bakalan jalan bareng, tapi bertiga sama gue. Lo gak papa?" "Yes! Berarti dia tertarik sama gue dong, Bon?"' "Ehm..." Sesaat aku bingung harus menjawab apa pertanyaan itu. Sebenarnya menurutku Dennis tampak tak terlalu berminat untuk bertemu dengan Renata. Aku yang memaksanya untuk mau melakukan ini. "Gak tau gue. Dia cuma bilang kalo dia maunya kita jalan bertiga," jawabku. "Gak papa. Kalo berdua doang, pasti bakalan terasa canggung juga. Kita butuh lo buat cairin suasana." Aku tersenyum datar. Peranku di tengah mereka hanyalah itu. Bila Renata bukanlah sahabatku, pasti aku tidak akan melakukan hal ini. "Bon, Makasih ya! Akhirnya gue bisa punya kesempatan bisa deket sama Dennis!" Renata memegang lenganku sambil menatap dengan raut wajah penuh kegembiraan. Aku bisa merasakan itu. Renata benar-benar senang bisa punya kesempatan untuk lebih dekat dengan Dennis. Aku hanya mengangguk sambil kembali tersenyum datar. Aku hanya diam dan terus berjalan menuju parkiran mobil sambil terus mendengar celotehan sahabatku itu. CONTINUED ********************** Hai guys! ^^ Evolusi Babon kembali update nih! Gimana bab ini? Aku masih terus berjuang nulis dan tamatin cerita ini ^^ Semoga kalian juga terus ikutin ya! Jangan lupa vote dan komen! Biar makin semangat nulisnya :p Oh ya, follow akun w*****d, innovel, dan i********: aku dongs hehehe Usernamnya sama kok @alvera_berliana :) Sampai jumpa di bab berikutnya! ^^ *eh, bab berikutnya udah selesai aku tulis sebenernya. Tinggal aku post :D Salam, Penulis Amatir yang lagi sakit pinggang *hiks :'(
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN